TAJDID.ID || Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqaddas mengingatkan, Muhammadiyah harus berhati-hati, sebab akhir-akhir ini eksistensi organisasi masyarakat sipil mulai diganggu pihak-pihak eksternal dalam setiap perhelatan permusyawaratan seperti Kongres.
“Alhamdulillah, Muhammadiyah hingga saat ini masih tetap solid. Bahkan lebih solid daripada negara. Muktamar Makassar yang kita gelar terakhir, menjadi bukti. Semoga Muktamar pada Juli 2022 nanti, kita bisa mempertahankannya,” ujar Busyro dalam acara Syawalan 1442 Keluarga Besar Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Sabtu (22/5/2021) dikutip dari laman fajar.co.id.
Negara Dikuasai Cukong Politik
Lebih lanjut ia mengatakan pentingnya dakwah politik berbasis akhlak. Sebab Negara sekarang dikuasai para cukong politik.
“Negara ini dikuasai para cukong politik. Dengan model sistem politik kita saat ini, untuk menjadi Bupati butuh sekitar 40 miliar, jadi Gubernur 100 miliar. Untuk ikut Pilpres butuh triliunan,” kata Busyro.
Diungkapkannya, dengan sistem seperti sekarang berlaku, para kandidat tidak mungkin sekadar mengandalkan uang tabungan, melainkan harus bergantung kepada para cukong politik.
“Cukong tersebut akan menagih utang saat orang yang dibiayai menang Pemilu,” ungkap mantan Ketua KPK tersebut.
Busro menjelaskan, UU Parpol, UU Pemilu dan UU Pilkada yang berlaku sekarang merupakan biang kerok korupsi politik. Produk pemilu akhirnya didominasi dibawah cukong.
“Orang Muhammadiyah tidak mungkin ikut Pilkada dengan cara ini. Apalagi harus main suap,” tegas Busyro, yang saat ini merupakan Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM.
Sebagai contoh, kata Busyro, UU Omnibus Law merupakan bukti, bahwa para pemodal itu sudah mulai menagih janji.
“Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar diskusi hingga sembilan kali, dengan mengundang berbagai pakar. Saya harus pulang balik Jakarta-Yogyakarta. Dari hasil diskusi itu, PP Muhammadiyah memutuskan menolak UU Omnibus Law,” terang Busyro.
Sikap tersebut, sambungnya, telah disampaikan kepada Presiden Jokowi. “Ketua Umum, Sekum, dan Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah telah menyampaikan sikap tersebut secara halus, sesuai gaya Muhammadiyah. Namun Presiden memutuskan tetap menjalankannya,” sebutnya. (*)