• Setup menu at Appearance » Menus and assign menu to Top Bar Navigation
Rabu, Juli 2, 2025
TAJDID.ID
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
        • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
        • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
tajdid.id
No Result
View All Result

Cinta Sebening Zamzam

Siti Nur by Siti Nur
2021/05/10
in Cerpen
0
Cinta Sebening Zamzam

Ilustrasi.

Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

Karya: Siti Nur

 

“Sri, kamu kelelahan.” Mbak Asih cemas.
“Nenek …!” Sri berucap lirih ketika pertama kali membuka mata.
“Kamu baik-baik saja, Sri?” Mas Tardi membantu Mbak Asih mendudukkan Sri.
“Ini yang kedua kalinya Sri pingsan, Mas.”
“Mbak, biar aku yang mengantar Sri pulang.”
“Monggo Mas, hati-hati!”

Mas Tardi menuntun Sri ke boncengan sepedanya, melintasi jalan berbatu di antara kebun teh yang menghampar hijau.

Sri, gadis yatim piatu yang tinggal bersama neneknya, kedua orang tuanya tertimbun longsor bersama puluhan warga lainnya ketika Sri masih dalam ayunan. Banjir dan longsor yang meratakan tiga desa di Banjarnegara itu telah membuat puluhan bayi dan anak-anak menjadi yatim, piatu, bahkan yatim piatu.

Sri tidak pernah tahu rasanya duduk di bangku sekolah, ia menjadi buruh petik teh sejak usia 9 tahun dengan upah yang sangat kecil perkilonya. Badannya tidak terlalu besar, Sri tak pernah mengisi keranjangnya sampai penuh.

“Sri, kalau sakit istirahat saja di rumah!”

“Aku baik-baik saja, Mas.”

“Jangan bohong, aku tahu kamu mimisan lagi tadi.”

“Itu biasa terjadi pada siapa saja yang terlampau lelah.”

“Tapi kamu terlalu sering pingsan, Sri, besok kuantar ke dokter, ya? Pak Haryo tadi sudah memberiku upah mencangkul ladangnya selama satu minggu.”

“Sudahlah, Mas, jangan khawatirkan aku!”

Perdebatan mereka berhenti di depan sebuah rumah berdinding kayu di ujung jalan. Mas Tardi menahan Sri yang hampir terjatuh ketika melangkah.

“Kamu belum kuat, Sri, mari kuantar ke dalam!”
“Terima kasih, tapi jangan bilang apa-apa kepada nenek, iya!”

Rumah Sri hanya berpelita lampu minyak, apinya sesekali bergoyang dimainkan angin yang menyusup celah dinding kayu.

Sri sudah tertidur setelah salat Isa, melepas lelahnya karena bekerja seharian tadi. Sebenarnya ia malu setiap kali pingsan ketika memetik teh, tetapi ia harus tetap bekerja untuk sebuah cita-cita.

“Labbaikallaahumma labbaika ….”

Sri terbangun mendengar kalimah talbiyah itu yang meramaikan rumah mungilnya setiap malam. Ia menghampiri kamar sebelah, terlihat nenek sedang duduk di atas sajadahnya.

“Nenek …!” Sri memeluk neneknya, “Tidak lama lagi nenek akan pergi ke Tanah Suci.”

“Nduk, coba lihat!” Nenek menunjukkan kalender bekas bergambar Ka’bah. “Kerinduan Nenek cukup terobati dengan ini dan kalimah talbiyah yang selalu Nenek ucapkan.”

“Nek, aku ….”

“Tidur Nduk, sudah malam!”

Sri mengangguk patuh, “Iya, Nek.” Lantas kembali ke kamarnya, merebahkan tubuh mungil itu ke atas tikar. Matanya menerawang jauh, menembus langit-langit rumah, berkelana bersama doa-doa yang senantiasa ia panjatkan dengan lisan maupun rintihan hati, mengetuk pintu langit. Setelah beberapa lama, mata sayu itu perlahan terpejam, menyandarkan lelahnya untuk semangat baru esok hari.

Meskipun hari ini tidak akan memetik teh, Sri bangun lebih pagi. Seperti biasanya, ia menyalakan tungku kayu untuk menjerang air dan memasak, hanya ada singkong sisa kemarin untuk makanan hari ini. Setelah semua pekerjaannya selesai, ia menyembunyikan sebuah bungkusan ke dalam bajunya dan mengendap pergi tanpa sepengetahuan sang nenek.

“Mas … Mas Tardi!” Sri berlari kecil menyusul lelaki berkulit hitam itu. Hitam karena terbakar semangatnya mencangkul ladang Pak Haryo, untuk ibunya yang menjadi janda karena bencana longsor tempo hari, serta kakak perempuannya yang menderita polio dan gizi buruk.

“Ada apa, Sri?”

“Antar aku ke rumah Pak Kades, mau?”

“Ada keperluan apa?”

“Nanti kamu juga tahu.”

Mas Tardi membonceng Sri, menyusuri jalan menurun menuju rumah Pak Kades. Rumah itu berpagar besi hitam dan berdinding tembok.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Pak Kades sejenak menghentikan kegiatan menyapunya.

“Oh, Tardi dan Sri, mari masuk!” Pak Kades menyambutnya dengan ramah.

Mas Tardi dan Sri canggung, istri Pak Kades menyuguhkan macam-macam kue dan susu.

“Pak Kades, ini uang tabungan saya.” Sri mengulurkan bungkusan yang tadi disembunyikan.

“Hm, iya.” Pak Kades manggut sambil menghitung uang Sri.

“Jadi, berapa cicilan yang sudah masuk, Pak? Dan kapan nenek saya bisa pergi umroh?”

“Insya Allah nenekmu bulan depan pergi umroh bersama warga desa sebelah. Tetapi cicilanmu ke penyedia jasa travel umroh masih kurang tujuh juta rupiah, mereka memberi batas waktu pelunasannya lima belas hari lagi. Jadi bagaimana, Sri?”

Sri menunduk lesu. “Mungkin nenek tidak bisa pergi bulan depan, aku harus bekerja keras lagi.”

“Hehe, tidak usah bersedih, Sri. Ambil uangmu ini! Saya yang akan melunasi kekurangannya, kemarin si Fadil bilang sudah beli motor baru di Banjarmasin, biar saya jual saja motornya yang menganggur di sini.”

“Pak … benarkah?” Sri tak percaya.

“Untuk apa saya bohong? Bersiaplah, beritahu nenekmu, bulan depan ia akan pergi ke Tanah Suci!”

“Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shoolihaat.”

Sri sujud syukur, menangis bahagia dipelukan istri Pak Kades. Mas Tardi ikut menitikkan air mata, tetapi ia segera menyekanya sebelum terjatuh.
_

“Apa yang kamu pikirkan, Sri?”
Sri terhenyak ketika istri Pak Kades menepuk bahunya.
“Dingin, Bu.” Rupanya terlalu lama ia melamun, teringat perjuangannya yang tidak mudah, mengabulkan impian sang nenek.

Hari itu hujan deras belum berhenti sejak pagi. Sri, Mas Tardi dan keluarga Pak Kades telah menunggu di bandara, menyambut kepulangan nenek dari Tanah Suci. Meskipun sempat marah karena diam-diam Sri mendaftarkannya umroh, akhirnya nenek mau pergi juga setelah dibujuk Sri dan para tetangga.

“Nenek …!” Sri berseru melihat nenek berjalan menghampirinya. Ia tidak tahu pesawat mana yang ditumpangi nenek dan kapan mendaratnya, ya … membaca saja ia tidak bisa.

“Sri …, cucuku!” Nenek memeluk Sri sangat erat. Usianya menginjak tujuh dasawarsa, namun nenek terlihat lebih sehat sepulang dari Tanah Suci.

“Nenek, aku sayang Nenek.”

“Sri?” Nenek merasa pelukan Sri makin melemah.

Sri pingsan di pelukan neneknya, hidungnya mengeluarkan darah sangat banyak. Pak Kades membawanya ke Rumah Sakit. Sri dibantu alat ventilator karena organ pernapasannya hampir tak berfungsi.

Dokter yang merawatnya bertanya, apakah Sri selalu berkontaminasi dengan asap. Ya, setiap hari Sri berhadapan dengan tungku kayu bakar di dapur, tanpa ventilasi yang memadai. Udara dingin dataran tinggi dan daya tahan tubuh yang lemah, turut andil mengakibatkan kerusakan paru-paru Sri.

“Nduk …!” Nenek membelai cucunya yang masih menutup mata dan tak bergerak selama beberapa hari.

“Mengapa selalu merahasiakan sakitmu kepada Nenek?”

Air mata nenek jatuh ke wajah Sri, seakan-akan menyentuh naluri, sehingga kelopak matanya perlahan terbuka. Sri menangis, saat merasakan air mata panas membasahi wajahnya.

“Nek …!” panggilnya lemah.

“Iya, Nduk.”

“Aku sayang Nenek.”

“Nenek juga sayang kamu, Nduk.”

“Di mana Mas Tardi?”

“Aku sejak tadi di sini, Sri.” Mas Tardi menggenggam tangan Sri kuat-kuat.

“Nek …, Mas!”

“Iya Nduk.”

“Tugasku sudah selesai, mengantar nenek ke Tanah Suci. Aku mimpi bertemu Ibu dan Bapak, kalau mereka mengajakku pergi, tolong jaga nenekku!” Sri melirik kepada Mas Tardi.

“Sri, apa yang kamu katakan?”

“Tugasku sudah selesai, Mas.”

Semakin lama, cahaya mata Sri kian meredup. Bibir pucat pasi itu bergerak-gerak pelan, saat nenek membisikkan talkin. Seluruh tubuh Sri melemas, seiring embusan napasnya yang penghabisan.

“Innalillahi wainnailaihirojiuun.” Serempak, semua orang mengucapkan kalimat istirja, setelah memastikan tak ada lagi tanda kehidupan pada tubuh mungil Sri.

Pusara itu menyepi di puncak bukit, senantiasa teduh meski kemarau panjang. Setiap hari nenek dan Mas Tardi menziarahinya.

Sri, dialah perempuan bertangan baja, bermata rembulan, berhati sesejuk zamzam. (*)


 

19 Maret 2018.

Tags: cerpen islamiCerpen Siti NurCinta Sebening ZamzamSastra Islami
Previous Post

Ayo Mendaftar! DPN PERADI dan Fakultas Hukum UMSU Kembali Akan Laksanakan PKPA

Next Post

KOKAM Kutuk Tindakan Biadab Polisi Israel terhadap Warga Palestina di Masjid Al-Aqsa

Related Posts

Puisi~puisi Fiana Winata

Puisi~puisi Fiana Winata

22 Desember 2021
433
Kaca yang Berdebu

Kaca yang Berdebu

18 Juli 2021
354
Tamu Jam 1 Dini Hari

Tamu Jam 1 Dini Hari

27 Februari 2020
329
Surga Anak-anak

Surga Anak-anak

7 Agustus 2019
652
Next Post
KOKAM Kutuk Tindakan Biadab Polisi Israel terhadap Warga Palestina di Masjid Al-Aqsa

KOKAM Kutuk Tindakan Biadab Polisi Israel terhadap Warga Palestina di Masjid Al-Aqsa

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TERDEPAN

  • Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    50 shares
    Share 20 Tweet 13
  • Said Didu Ingin Belajar kepada Risma Bagaimana Cara Melapor ke Polisi Biar Cepat Ditindaklanjuti

    42 shares
    Share 17 Tweet 11
  • Din Syamsuddin: Kita Sedang Berhadapan dengan Kemungkaran yang Terorganisir

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
  • Putuskan Sendiri Pembatalan Haji 2020, DPR Sebut Menag Tidak Tahu Undang-undang

    36 shares
    Share 14 Tweet 9
  • Kisah Dokter Ali Mohamed Zaki, Dipecat Usai Temukan Virus Corona

    36 shares
    Share 14 Tweet 9

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Anjungan

  • Profil
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kirim Tulisan
  • Pasang Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In