
Cobaan lembaga anti rasuah tidak hanya berhenti tatkala KPK mengeluarkan SP3 saja, alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pun menjadi polemik. Alih status yang tertuang dalam Instruksi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara menjadi dilemma. Alih status tersebut diduga akan mempersulit kerja pegawai KPK. Sebab, dalam upaya pemberantasan korupsi seringkali bersinggungan dengan ranah eksekutif. Nantinya jika pegawai KPK sudah menjadi ASN, maka akan sangat berat ketika harus mengusut kasus korupsi yang sering melibatkan eksekutif. Sementara pegawai KPK sendiri merupakan bagian dari eksekutif.
Bagaimana mungkin KPK sebagai lembaga negara yang independen yang seharusnya mengelola secara mandiri sistem kepegawaiannya sebagai implementasi dari self regulatory body yang ada pada lembaga negara independen harus ‘tunduk’ dibawah intervesi eksekutif yakni KemenPanRB yang mana merupakan bagian dari pemerintah.
Konsekuensi perubahan status pegawai KPK adalah imbas revisi UU KPK dimana Pasal 1 angka 6 UU No. 19 Tahun 2019 menyatakan bahwa Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara. Sehingga dimungkinkan banyak intervensi di dalam hal kepegawaian baik melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), atau Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Bisa saja, pegawai KPK yang menangani kasus korupsi yang melibatkan orang besar di eksekutif kemungkinan mendapatkan ancaman. Ancamannya dapat berupa mutasi seperti di tempat lain, yang tentunya akan menghambat kinerja KPK.
Banyaknya cobaan dalam tubuh KPK memunculkan stigma negative akan pemberantasan korupsi di negeri ini. Tidak bisa dipungkiri upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi tidak melulu soal substansi hukumnya, melainkan struktur dan budaya hukum sebagai penunjang keberhasilan. Walaupun upaya pelemahan KPK memang telah tampak saat revisi UU KPK lolos tanpa pemberitahuan, namun seharusnya copotnya ‘taring’ KPK tidak diperburuk dengan prilaku oknum penyidik yang ikut terlibat dalam pusaran korupsi.
Begitu pula dengan kinerja KPK dalam menangani kasus-kasus ‘kakap’ korupsi. Meskipun pantas diberi apresiasi adanya prestasi yang dilakukan KPK, akan tetapi ‘sudah berasa panggang tak berapi.’ Perihal SP3 mega korupsi BLBI, harusnya KPK didorong mencari bukti baru dan menginvestigasi secara mendalam agar kejadian serupa tidak terulang lagi di kemudian hari, apalagi informasinya terhadap tersangka belum tuntas diperiksa.
Tidak dapat dipungkiri, menguatnya desakan untuk membubarkan KPK semakin berhembus kencang. Terlebih lagi mengingat merosotnya peringkat Indonesia menurut data Transparency International Indonesia (TII) yang mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 berada di skor 37 dengan keterangan turun sebanyak tiga poin dari tahun sebelumnya.
Kini Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan. Demikian halnya terkait pertanggungjawaban tindak pidana korupsi yang ‘melulu’ menyerang pelaku utama, padahal pertanggung jawaban itu bukanlah tertuju pada pelaku utama saja, tetapi terhadap semua pelaku, baik yang membantu, turut serta, otak dll (Pasal 55, 56 KUHP). Kenyataan hingga hari ini, nyaris tak pernah tuntas diproses, sebahagian kecil cuma diperiksa, tak ada yang dihukum.
Tindakan tebang pilih atau pilih tebang inilah yang patut diduga menjadi ajang itu.Oleh karena itu, dengan sangat dan berharap Bapak Presiden kiranya berkenan memimpin langsung pemberantasan rasuah dengan regulasinya yang sudah darurat ini, bukan mendelegasikan kepada siapa pun tentu membuktikan sebagai contoh dan tauladan lewat cara-cara luar biasa. (*)
Penulis adalah Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumut, Doktor Hukum dengan Pujian (Summa Cumlaude) dari USU dan Dosen Fakultas Hukum UMSU.