Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Berbicara rasuah atau yang dikenal dengan korupsi seolah tiada habisnya. Istilah korupsi berasal dari kata “corruptio” dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjukkan keadaan atau perbuatan yang busuk.
Secara umum melalui UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbagi atas 30 jenis dan digolongkan dalam 7 bagian yaitu yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Akan tetapi yang menjadi tujuan penindakan hanya beberapa diantara golongan tersebut, sementara pungli yang mestinya menjadi bagian dalam tindak pidana korupsi tak juga dijerat hukum korupsi. Operasi Tangkap Tangan (OTT) korupsi kian mencekam, lihat saja OTT pejabat partai politik sekaligus seorang menteri yang awalnya memberi nuansa baru nampaknya sudah mulai rumit dan bahkan untuk memeriksa tempat tertentu saja disempurnakan setelah sidang dakwaan. Malahan jadinya suap-menyuap padahal itu dana bencana yang harusnya menjadi momentum untuk menuntut maksimal yang hingga hari ini hanya terkesan sebagai statement saja. Belum diratifikasinya korupsi di sektor korporasi/swasta menambah kusut makna pemberantasan korupsi.
Kasus-kasus seperti pengalihan hak tagih yang dilakukan oleh Djoko Tjandra dan penyuapan oleh Harun Masiku menambah daftar panjang buruknya penanganan korupsi di Indonesia. Lihat saja data oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan terdapat 169 kasus korupsi selama periode semester satu tahun 2020. 139 kasus di antaranya merupakan kasus korupsi baru. Kemudian, ada 23 pengembangan kasus serta 23 operasi tangkap tangan (OTT). Tersangka yang ditetapkan ada 372 orang dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 18,1 triliun. Tidak hanya perilaku korup yang menjadi sorotan, lembaga yang bertugas memberantas korupsi pun tak pelak ikut ambil bagian, Sehingga menimbulkan tanya, bagaimana membersihkan negeri dari korupsi dengan menggunakan sapu kotor?.
Revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan sekitar satu tahun silam pun dianggap tidak berkontribusi dalam memperbaiki masalah yang ada. Bahkan ICW memberi rapor merah atas kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di tahun 2020. Pemberian angka merah itu berdasarkan laporan hasil pemantauan kinerja penindakan kasus korupsi tahun 2020 oleh ICW. Keterlibatan oknum penyidik KPK pada kasus korupsi kepala daerah baru-baru ini memperburuk citra dan mengamini bahwa lembaga anti rasuah ini sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin pihak yang seharusnya memberantas korupsi malah ikut ‘berkelindan’ dalam pusaran kotor tersebut?. Hal itu menjadi ‘tamparan keras’ pada lembaga anti rasuah ini.