
Usai dikeluarkannya SP3 terhadap tersangka buron kasus mega korupsi BLBI, pemerintah seolah berupaya ‘mempertontonkan’ guna mendapatkan kesan keseriusan dalam menangani mega korupsi ini. Lihat saja, pembentukan Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI melalui Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2021 yang dinilai bak ‘dagelan’ dan hanya sebagai formalitas belaka sebab pendekatan yang digunakan ‘tak bergigi’ yakni hukum perdata yang bersifat ‘bargaining’ bukan malah hukum pidana yang sudah jelas memiliki daya paksa.
Seharusnya jika benar adanya keinginan yang serius dalam perampasan asset BLBI maka rampungkan UU Perampasan Aset. Bukan malah membentuk satuan tugas yang serupa namun tak sama seperti lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1998 dan Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) pada 2004.Tidak terlihat kehadiran KPK dalam Satuan Tugas Hak Tagih BLBI yang seharusnya dilibatkan sebagai lembaga yang paham medan pertempuran BLBI, mendulang tanya kembali, apakah lembaga anti rasuah benar baik-baik saja?.
Berkenaan dengan kontekstual saat ini, terutama pasca dikeluarkannya SP3, rasanya penting bagi KPK untuk segera memanfaatkan Pasal 32 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait gugatan perdata.
Regulasi itu menegaskan bahwa Penyidik dapat menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Pengacara Negara tatkala tidak ditemukan cukup bukti, sedangkan di waktu yang sama telah ada kerugian keuangan negara, untuk selanjutnya dilakukan gugatan perdata. Ini penting untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dari Nursalim atas perbuatannya. Tetapi, jalur perdata yang ditempuh seakan ‘tak bergigi dan memaksa’ bilamana proses pidana saja dapat dihentikan.
Perlahan namun pasti, dampak perubahan regulasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui UU No. 19 Tahun 2019 kian memperburuk situasi. Selain merobohkan independensi kelembagaan, memperlambat laju penindakan, kali ini perkara besar pun dihentikan dengan adanya kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Kewenangan SP3 dalam Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2019 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 lalu. Kala itu, MK menegaskan bahwa larangan pemberian SP3 KPK semata-mata untuk mencegah lembaga antirasuah tersebut melakukan penyalahgunaan wewenangnya. Dengan itu, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana jika KPK sudah menetapkan seseorang sebagai tersangka, namun kemudian hari ditemukan fakta bahwa bukti permulaan tidak terpenuhi?
Terkait ini, MK juga sudah menjawab dalam putusannya beberapa tahun lalu. Jika kondisi demikian, MK mengatakan KPK tetap harus membawa perkaranya ke persidangan dan menuntut bebas pelaku tersebut. Penegasan itu dapat dipahami, sebab, KPK dibentuk sebagai lembaga extraordinary dengan kewenangan yang besar. Sehingga menuntut prinsip kehati-hatian dalam menangani sebuah perkara.
Isu lain yang juga tak kalah penting perihal SP3 KPK adalah adanya pembatasan waktu penyidikan selama dua tahun. Tentu poin ini keliru, sebab, bagaimana mungkin waktu penyidikan perkara korupsi yang sangat kompleks diberikan limitasi waktu. Selain pencarian bukti yang seringkali memakan waktu panjang karena tersebar di dalam atau luar negeri, juga aturan itu seakan menganggap mudah tatkala membongkar praktik korupsi. Padahal, sebagaimana jamak dipahami publik, praktik korupsi kerap menjerat pejabat yang kadangkala sulit diproses hukum.