
Sebelumnya penerbitan Surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh KPK pada kasus mega korupsi terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul dan Itjih Nursalim. yang telah merugikan keuangan negara mendekati ribuan triliun menjadi sesuatu yang tak wajar. Bagaimana tidak tersangka Sjamsul dan Itjih Nursalimyang telah menjadi buronan sebelumnya akhirnya bernafas lega mengingat pencabutan status Daftar Pencarian Orang (DPO) yang semula ditujukan padanya sejak Agustus 2019. Dikeluarkannya SP3 pada kasus mega korupsi BLBI merupakan ‘keanehan’ yang nyata oleh lembaga anti rasuah ini.pemberian SP3 KPK ini akan menjadi kotak pandora bagi pemberantasan korupsi.
Kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 terhadap perkara tindak pidana korupsi yang sedang di tangani tidak boleh secara sewenang-wenang harus ada alasan hukum yang tepat sebagaimana mengacu pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP seperti, perkara tersebut bukanlah suatu tindak pidana korupsi, perkara tersebut tidak cukup bukti, dan lain-lain.
Penerbitan SP3 ini sangat efisien apa bila penerapannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlakutanpa adanya intervensi politik yang bertujuan untuk mengaburkan penegakan hukum, serta integritas para penyidik dan penuntut umum sangat dibutuhkan apabila pasal ini jadi direvisi. Pemberian kewenangan SP3 ini biasa dilakukan pada penanganan perkara pidana biasa (serious crime) bukan pada rana tindak pidana korupsi (extraordinary crime) kejahatan luar biasa yang menuntut kehati-hatian dalam penanganannya. Pertanyaannya apakah SP3 yang diberikan KPK kepada buronan BLBI tersebut sudah sesuai dengan prosedur hukum? Ataukah dikeluarkannya SP3 hanya sebagai bentuk ‘ketidakberdayaan’ KPK?.
Dengan terbitnya SP3 terhadap Sjamsul dan istrinya, kini buron KPK tinggal lima. Menurut data DPO KPK mereka adalah Izin Azhar, penerima gratifikasi Dermaga Sabang 2006-2011; Samin Tan, penyuap anggota DPR RI Eni Maulani Saragih untuk perpanjangan kontrak tambang batu baranya; Kirana Kotama, penyuap dalam kasus korupsi PT PAL; Surya Darmadi, pemberi suap kasus alih fungsi lahan di Riau; dan Harun Masiku, kasus suap PAW anggota DPR RI dari PDIP. Buron terakhir muncul setelah KPK era Firli gagal menangkap Harun dalam operasi tangkap tangan pada 8 Januari 2020. Bila saat ini korupsi BLBI sudah dihentikan, ke depan, bukan tidak mungkin akan ada perkara lain yang mungkin jauh lebih besar kerugian keuangan negaranya akan bernasib sama. Hal tersebut membuat publik bertanya, mungkin saja akan muncul SP3 yang lain, seperti terhadap Harun Masiku misalnya?.
Masih jelas dalam ingatan, Kasus BLBI yang disebut-sebut sebagai salah satu korupsi terbesar di Indonesia karena kerugiannya mencapai Rp140 triliun. Duit talangan dari pemerintah kepada bank yang kolaps akibat krisis moneter di akhir abad ke-20 diduga 95 persen dikorupsi. Terkatung-katung selama lebih dari 10 tahun, pimpinan KPK jilid III di bawah komando Abraham Samad mulai menunjukkan taringnya.
Berawal dari mandeknya pengusutan Sjamsul di tangan Kejaksaan Agung pada 2008, pada 2014 KPK menangkap Urip Tri Gunawan, ketua tim jaksa penyelidik dugaan korupsi BLBI oleh BDNI. Urip menerima suap dari Artalyta Suryani yang disebut orang dekat Sjamsul. Pada pimpinan KPK jilid IV, tepatnya pada 2017, KPK menggeber lagi BLBI. Syafruddin ditetatapkan sebagai tersangka karena mengeluarkan surat keterangan lunas pada BDNI. Lagi-lagi Sjamsul disebut terkait. Sjamsul dan istrinya menjadi tersangka dugaan korupsi BLBI pada 13 Mei 2019. Sebelum itu, Sjamsul selalu mangkir dari lima panggilan pemeriksaan saksi oleh KPK selama 2018.Namun putusan MA pada 2019 yang menganulir dua putusan pengadilan sebelumnya yang memvonis Syafruddin belasan tahun penjara kemudian menjadi alasan KPK menyetop kasus Sjamsul dan istrinya.