Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Untuk alasan efisiensi dalam pemerintahan semestinya yang pertama harus dilakukan adalah peniadaan jabatan Menteri Koordinator. Jabatan menko itu tak cuma pemborosan, tetapi juga menjadi proses birokratisasi yang serius.
Saat klaim era industri 4.0 dikumandangkan, ada paradoks kabinet tambun Indonesia berciri anti efisiensi. Memang terasa amat anachronis.
Tetapi meskipun yang menjadi koordinator sesungguhnya dari sebuah kabinet pemerintahan Indonesia yang presidential adalah presiden, ketika presidennya kurang mampu memang terasa kegunaan jabatan menteri koordinator itu.
Selain karena kemungkinan kurang mampu, sehingga dikhawatirkan pemerintahan lemah, kegunaan membuat jabatan menteri koordinator itu tentu untuk mengadaptasi kadar feodalisme sehingga presiden tak boleh salah (dalam bekerja) di mata rakyat,
Masih ada faktor lain yang meunjukkan pentingnya jabatan menteri koordinator, yakni memenuhi desakan kekuatan politik.
Dalam penyusunan kabinet memang dasarnya adalah UUD 1945 dan UU terkait. Ada jabatan yang secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945, sedangkan dii dalam UU hanya disebutkan prinsip umum, termasuk jumlah maksimal menteri.
Tetapi tidak dengan demikian sebuah masalah yang populer di tengah masyarakat langsung dianggap menjadi dasar bagi pembentukan sebuah kementerian.
Jika jabatan menteri koordinator dibubarkan, maka apa yang harus dilakukan agar kabinet ramping?
Beberapa kementerian perlu dilebur menjadi satu misalnya kementerian pariwisata. Jadikan saja menjadi sebuah Dirjen di kementerian yang relevan.
Malah lembaga seperti KSP itu harusnya juga dububarkan karena berpotensi besar overlapping dengan kementerian lain seperti sekretaris kabinet dan sekretaris negara. Jika KSP mengklaim diri memperlancar urusan presiden, memang menteri itu semua pembantu presiden.
Peleburan Ristek ke Kemendikbud yang baru dilakukan terasa tak berfilosofi. Tanpa harus disebut Kementerian Dikbud itu memang memiliki tugas penelitian. Perkuat saja kelembagaanya dan sediakan budget yang cukup agar aktivitas penelitiannya tak serba prasyarat ada belaka. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU