Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Saya merasa orang-orang di sekitar Walikota yang sangat belia usia ini harus diingatkan agar jangan menginput gagasan-gagasan kurang berfilosofi kepada beliau, yang tujuannya sekadar beroleh pujian dari kalangan tertentu dalam mekanisme agregat dukungan populisme belaka.
Teringat gebrakan pertama terberitakan menertibkan bangunan-bangunan tertentu di bagian inti kota. Orang menjadi sangat heran, mengapa prioritasnya bukan bangunan-bangunan besar bermasalah milik taipan? Warga Medan masih memiliki memori kuat atas bangunan-bangunan besar yang mengundang konflik itu. Kini ada gagasan “The Kitchen of Asia”.
Beberapa hal serius yang harus diperhatikan dari gagasan itu, antara lain ialah:
Pertama, similarity (kesamaan) dengan gagasan serupa dalam kebijakan pariwisata Malaysia yang terkenal dengan motto “Malaysia Truly Asia”. Brand itu mengklaim keunggulan Malaysia di atas komponen-komponen (bangsa dan negara) Asia yang lain, dan saya kira ukuran kualitas yang mereka sajikan dalam promosi pariwisatanya mendukung untuk klaim yang dibuat tahun 1999 itu.
Menteri Pariwisata Marie Elka Pangestu waktu itu bereaksi proporsional meski terkesan sedikit emosional, dan lantas menyodorkan tagline “Wonderful Indonesia”. Tetapi, sebagaimana kita tahu kemudian, brand Indonesia itu berhenti sekadar slogan belaka.
Sebagai perbandingan, kala itu gempuran promosi wisata Malaysia, memang tidak sia-sia, berhasil memosisikan diri menjadi salah satu destinasi wisata yang paling disukai di dunia. Jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Malaysia terus meningkat. Indonesia pada kurun yang sama hanya berhasil meraih pengunjung manca negara sekitar 10 juta orang, sedangkan Malaysia berhasil menembus angka 28 juta orang. Tagline Wonderful Indonesia bertekuk lutut di kaki “Malaysia Truly Asia”.
Tidak hanya harus berpantang membuat terobosan tanpa filosofi, Walikota Medan juga harus dibiarkan berfikir melahirkan gagasan-gagasan original. Dalam dunia persaingan global ini menjadi follower itu sebuah pengakuan moral atas kekalahan. Pada posisi itu saya lihat gagasan “The Kitchen of Asia” sebagai gagasan tiruan yang sudah kehilangan zamannya.
Tidak hanya itu, seyogianya gagasan “The Kitchen of Asia” harus menelaah faktor-faktor strategis lain dalam nilai universal masyarakat dunia, Indonesia dan khususnya kota Medan. Misalnya, aspek halal tourism di Filipina yang meski mayoritas berpenduduk Katholik, atau di Jerman yang juga mayoritas non Muslim, seperti juga di Jepang, sangat mengindahkan aspek halal tourism dan itu mereka anggap dan berlakukan sebagai nilai universal. Ternyata mereka meraih keuntungan besar dari strategi dan kebijakan itu.
Dalam kaitan itu Indonesia harus mampu meyakinkan warganya yang terus menjadi radikal yang amat serius soal halal tourism ini. Ini soal ekonomi. Soal pendapatan nasional dan lokal. Soal kesejahteraan rakyat. Mengapa menjadi sarana melahirkan ancaman serius dari orang-orang radikal di Indonesia? (Lihat: Jaminan Produk Halal)
Kedua, tentu “The Kitchen of Asia” adalah instrumen pariwisata. Covid-19 yang belum teramalkan mereda kapan sangat memukul pariwisata di dunia. Dengan kenyataan itu sangat terasa program “The Kitchen of Asia” gagal memahami aspek supply side dan demand side dari ekonomi kepariwisataan. Hampir seluruh dunia secara berkala memberlakukan penguncian mobilitas (lockdown) warganya di dalam dan apalagi ke luar negeri. Pariwisata negara mana pun mengalami penurunan drastis pendapatan dari sektor ini.
Berdasarkan fakta itu malah saya menganjurkan kepada Presiden Joko Widodo agar melakukan perombakan kabinet untuk efisiensi. Dalam usul perombakan itu saya melihat tak hanya jabatan Menteri Koordinator yang harus dilikuidasi, tetapi jumlah kementerian juga harus diciutkan atau dirampingkan. Menteri Pariwisata misalnya, lebur saja ke Kementerian yang relevan (apakah Kementerian Perdagangan) dan di sana ia ditempatkan sebagai salah satu Dirjen saja.
Efisiensi sangat penting menghadapi Covid-19 ini dan jika dilihat dari jumlah kementerian dan tupoksinya, Indonesia sangat boros. Ini memang risiko politik dari demokrasi yang tidak sehat yang pada intinya lebih mementingkan akomodasi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan oligarki daripada merealisasikan moral obligation kepada rakyat pemberi legitimasi politik.
Struktur dan tupoksi kabinet Indonesia tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat struktur dan tupoksi Kabinet Joe Biden di negara besar dan sangat berpengaruh Amerika Serikat.
Keempat, saat ini data sangat mudah diakses pertambahan jumlah pengangguran yang terus bertambah. Negara menganggap memberi support permodalan UMKM dan pelatihan kepada rakyat melalui program Kartu Prakerja akan menjadi solusi.
Kekeliruan program itu adalah kegagalan memahami mekanisme ekonomi dan transaksi. Di Medan jumlah UMKM yang gulung tikar terus bertambah. Walau UMKM disupport dana, ia hanya akan bisa beroperasi sampai modal yang disuntikkan habis karena cash flow bermasalah. Mengapa? Bukan UMKM itu yang gagal membenahi diri agar lebih canggih, namun daya beli rakyat yang terus merosot. Jika rakyat tidak punya uang, siapa yang akan membeli produk UMKM itu?
Belum lama ini saya baca berita dari Pelabuhan Sibolga ada ekspor kayu ke negara lain. Lihatlah sensitifitas mereka atas masalah dan jerutan rakyat amat kecil. Mestinya jangan ada ekspor kayu ke mana pun, melainkan ekpor bahan jadi. Dengan ekspor bahan jadi Indonesia akan berolah value added process antara lain penyerapan tenaga kerja pengolahan kayu untuk membuat barang jadi.
Beberapa pekan lalu juga ada berita ekspor lidi ke sesama negara Asean. Saya juga bertanya, apakah lidi akan dibuat sebagai tusuk sate di negara tujuan atau untuk korek kuping, misalnya. Mengapa bukan barang jadi yang mereka ekspor sehingga terbuka peluang penyerapan tenaga kerja sembari menanti janji tak pasti dari UU Cipta Kerja yang menghayal akan kehadiran investor asing?
Program Kartu prakerja juga tidak jauh berbeda dalam inefisiensi dan ketidakefektifannya. Program ini malah terkesan sebagai sarana penting untuk oligarki, karena dari nilai transaksi terkesan lebih besar untuk pelaksana, dan siapa mereka yang menjadi pelaksana itu rekrutmennya tidak sesuai dengan nilai-nilai persaingan usaha yang adil.
Pada awal tahun data memastikan Kota Medan mengalami persentasi penurunan pendapatan yang tajam sehingga diprediksi akan mengalami penurunan kemampuan memberi pelayanan publik.
Lihat:
Mau diapakan juga, limit potensi penghasilan atau pendapatan daerah tak bisa dipungkiri. Karena itu harus ada strategi lain. Karena saya mencatat keistimewaan akses Walikota Medan berusia belia ini ke pusat pemerintahan nasional, maka saya usulkan agar kota Medan beroleh kucuran dana dari APBN antara Rp 5 sampai Rp 7 triliun. Dana itu digunakan untuk membangun proyek-proyek infrastruktur padfat karya (tak seperti proyek infrastruktur Tiongkok dalam mekanisme Belt and Road Inisiatif (BRI). Dalam proyek itu diserap tenaga kerja terutama yang berkeluarga. Sekitar 10 % di antaranya mungkin dari kalangan terdidik dengan tanggungjawab manajerial dasar dan menengah.
Multiflier effectnya akan besar. Penyedia bahan akan bergeliat. Pengangguran terserap dan ketika mereka sudah memiliki uang, mereka tidak akan menyimpannya di bawah bantal. Mereka akan bertarnsaksi dengan UMKM. Ketahanan ekonomi akan terwujud. Pada kondisi inilah sedikit kesempatan bicara soal pariwisata atau kuliner menjadi masuk akal.
Kelima, saya tidak tahu dari kota mana dan negara mana Abdillah tempo hari mencopypaste konsep “Kesawan Square”. Kisah penutupannya saya kira menunjukkan dengan jelas bahwa tidak ada kajian sosiologi dan antropologi, hanya kuasa yang menjadi dasar kebijakan. Sepanjang jalan yang dijadikan sebagai lokasi “Medan Square” praktis ditutup total selama jam operasi.
Bisakah ditimbang kerugian sosial ekonomi dari kebijakan itu? Haruskah semua itu disepelakan? Bukankah setiap warga negara berhak atas kebebasan bergerak yang untuk komunitas yang menghuni gedung-gedung di sekitar lokasi Kesawan Square harus tak diindahkan?
Warga kota memang tidak beroleh cukup penjelasan, tetapi ditutupnya Kesawan Square menyusul dibukanya Merdeka Walk terasa berkaitan. Merdeka Walk seakan menjadi titik kompromi bagi kesulitan yang bagi Kesawan Square.
Kini masalahnya bukan sekadar keheranan warga kota ketika Walikota berusia belia ini ingin membangkitkan “mayat” Kesawan Square, tetapi juga pertanyaan serius dari kelompok sipil yang selama bertahun-tahun ingin memerdekakan lapangan merdeka dan menjadikannya sebagai cagar budaya nasional. (*)
Penulis adalah: Dosen FISIP UMSU Medan, Koordinator n’BASIS