Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Semua rezim pemerintahan hanyalah sejumlah orang yang diberi mandat memerintah termasuk mengambil kebijakan membuat utang. Pada dasarnya baik negara penghutang mau pun pemberi utang sadar betul bahwa yang dihitung sebagai potensi utama untuk kesepakatan hutang adalah potensi sumberdaya (alam maupun manusia) di negara penerima hutang.
Karena itu meski pun rezim berganti, tanggung jawab pembayaran utang beralih dan andalannya tetap sama, yakni sumberdaya.
Uutang Indonesia yang disepakati pada perjanjian Meja Bundar (dengan Balanda) dicicil hingga selesai pada tahun 2003 pada zaman Soeharto. Padahal kesepakatan itu dibuat oleh delegasi Indonesia pada tahun 1948.
Temuan Muhammad Ali, Lubna Khan, Amna Sohail dan Chin Hong Puah (2019) dalam penelitian mereka berjudul “The Relationship Between Foreign Aid And Corruption: A Case Of Selected Asian Countries”, FA Bantuan Asing (Foreign Aid, FA) memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index, CPI). Begitu FA meningkat, CPI menurun. Artinya, negara akan semakin korup dengan kehadiran FA.
Hal ini setidaknya dimungkinkan oleh dua hal utama.
Pertama, tata kelola yang buruk dan penyalahgunaan FA di negara penerima, sebagaimana sebelumnya oleh banyak ahli seperti Qayyum (2014) dan lain-lain telah pernah diperingatkan.
Kedua, terdapat kemungkinan luas bahwa uang FA itu selain memang jelas meningkatkan pendapatan pemerintah dan terutama digunakan untuk alasan strategis, tetapi FA itu sendiri mengabaikan jawaban atas kebutuhan nyata. Melalui cara inilah kegagalan pemerintah untuk menyediakan barang publik dapat menjadi penyebab signifikan atas fenomena meningkatnya korupsi.
Investasi dan Korupsi
Ahli lain seperti Tanzi (1998) telah lama memperingatkan bahwa kondisi di negara berkembang memiliki kekhususan tersendiri dalam budaya, demokrasi dan politiknya, yang begitu akrab dengan korupsi. Meningkatkan proyek investasi dan peningkatan ukuran pemerintahan selalu dapat bermakna mendorong lebih banyak korupsi.
Rekomendasi dari Muhammad Ali, Lubna Khan, Amna Sohail dan Chin Hong Puah (2019) adalah agar perwakilan publik memastikan peningkatan kapasitas dan keterbukaan dalam lingkungan kelembagaan dan tata kelola FA (DPR, Organisasi Sosial Kemasyarakatan, LSM, Kampus, dan lain-lain).
Memang, donor selalu mengasosiasikan FA dengan kualitas kelembagaan di negara penerima, tetapi karena motif politik mereka terbukti merasa tidak harus mengatur mekanisme begitu teknis untuk pemantauan uang bantuan dalam hal kinerja dan tata kelola lembaga secara berkala untuk memberantas korupsi.
Dana Moneter Internasional (IMF, 2005) mencatat bahwa kelemahan tata kelola negara-negara penerima FA dalam mempromosikan lebih banyak pembangunan dan infrastruktur adalah masalah besar di negara berkembang. Bank Dunia (2006) kemudian merumuskan indikator tata kelola yang mencakup berbagai variabel untuk mengukur kualitas kelembagaan dengan menggunakan sekitar 350 indikator yang diambil dari sejumlah lembaga di seluruh dunia. Namun perbaikan pengelolaan FA belum sebaik yang diharapkan.
Beberpa catatan lain dari Muhammad Ali, Lubna Khan, Amna Sohail dan Chin Hong Puah (2019) yang perlu diperhatikan ialah kekagalan rezim dalam mempertahankan stabilitas politik, menaikkan upah, mengurangi ketimpangan pendapatan dan menerapkan supremasi hukum untuk mengurangi tingkat korupsi. (*)
Penulis adalah Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut, Dosen FISP UMSU