Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Indonesia sebaiknya tidak alergi berkaca pada kasus Kenya yang belakangan ini seakan berhias diri dengan protes, kerusuhan, dan penindasan pemerintah yang dipicu oleh kebijakan keuangan yang gagal selama beberapa dekade yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga Barat seperti IMF dan Bank Dunia.
Sebagaimana diketahui, Indonesia berencana menaikkan rasio utang dari 39% menjadi 50% dari besaran Produk Dometik Bruto (PDB). Rencana ini disampaikan oleh Hashim Djojohadikusumo, saudara kandung calon Presiden terpilih Indonesia yang akan dilantik Oktober mendatang, Prabowo Subianto.
Menurut Hashim, tujuan peningkatan utang ini akan digunakan untuk mendanai program-program unggulan termasuk program populis yang dijanjikan saat kampanye, yakni makan siang dan susu gratis. Juga untuk membiayai proyek infrastruktur besar.
Menurutnya rencana ini bahkan sudah dilaporkan ke Bank Dunia. “Saya sudah berbicara dengan Bank Dunia dan menurut mereka 50 persen adalah tindakan yang bijaksana,” ujar Hashim saat berbincang dengan Financial Times dikutip di Jakarta, Jumat (12/7/2024).
Tentu saja peningkatan rasio utang ini kelak dapat berisiko terperangkap defisit anggaran yang melampaui ambang toleransi ketentuan regulasi dan tekanan serius atas nilai tukar rupiah.
Secara empiris kebijakan-kebijakan serupa sering kali mencakup langkah-langkah penghematan, penyesuaian struktural, dan reformasi ekonomi yang memprioritaskan pembayaran utang dan disiplin fiskal di atas kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi.
Indonesia memerlukan peningkatan efisiensi pengelolaan utang untuk memastikan bahwa dana yang dipinjam digunakan secara produktif dan tidak membebani anggaran pada masa depan.
Diversifikasi sumber pendapatan seyogyanya memaksa Indonesia untuk mencari jalan terbaik, yakni meningkatkan diversifikasi sumber pendapatan negara yang tak harus selalu bermakna tunggal, yakni melalui pajak. Jika pajak yang akan menjadi andalan dalam pikiran Hashim, mestinya hal itu dirancang dengan filosofi yang lebih adil.
Memikirkan optimalisasi penerimaan dari sektor-sektor produktif mungkin tak begitu dipikirkan cukup serius selama ini. Meminimalisasi pemborosan aparatur juga menjadi jalan brillian. Misalkan, dengan membayangkan konstruk kabinet yang ramping dan efektif.
Misalnya Menko mungkin sebaiknya dibubarkan; antara Mensesneg dan Mensekkab dilakukan rasionalisasi; Wakil Menteri tidak begitu perlu; pembubaran lembaga seperti KSP mungkin beralasan.
Tetapi perilaku koruptif juga harus ditekan seiring pemangkasan raional pembelanjaan aparatur yang elama ini terlena dengan kemewahan dan fasilitas yang amat tak sensitif atas kemiskinan rakyat.
Dalam kasus Kenya kebijakan yang ditempuh telah menyebabkan peningkatan kemiskinan dan ketidaksetaraan. Pengurangan pengeluaran publik untuk layanan-layanan penting seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial telah memperburuk kemiskinan dan ketimpangan itu.
Kebijakan utang Kenya juga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Fokus pada penghematan sering kali menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, yang menyebabkan tingginya pengangguran dan apalagi setengah pengangguran.
Ketidakpuasan publik akhirnya mengekpresikan diri pada bentuk protes karena secara terus menerus tanpa adanya peningkatan yang signifikan dalam standar hidup. Rakyat menilai beralaan melancarkan protes dan kerusuhan setelah frustrasi dan meluasnya ketidakpuasan publik.
Situasi saat ini di Kenya mencerminkan tantangan-tantangan yang lebih luas yang dihadapi oleh banyak negara berkembang di bawah resep-resep keuangan yang serupa, yang menyoroti perlunya kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.
Dalam sebuah analisis berjudul “Why are the US and IMF imposing draconian austerity measures on Kenya?” seorang intelektual publik, Fadhel Kaboub, membahas bagaimana IMF dan AS memberlakukan langkah-langkah penghematan yang ketat di Kenya sebagai bagian dari perjanjian pinjaman tahun 2021.
Langkah-langkah ini termasuk peningkatan pajak, pengurangan subsidi, dan privatisasi perusahaan milik negara. Kebijakan ini telah memicu protes besar-besaran di Kenya karena dianggap memperburuk ketidaksetaraan dan kemiskinan, serta lebih menguntungkan investor asing daripada rakyat Kenya. (*)