TAJDID.ID || Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, bahwa saat Negara akan menerapkan kebijakan strategis untuk melakukan lompatan, ia melihat pada saat itu pula sering terjadinya diskontiunitas atau tidak bersambung secara integratif dengan prinsip konstitusi.
“Soal pendidikan misalkan, sudah niscaya pasal 31 ada 4 diksi tentang iman dan takwa, kemudian tentang akhlak mulia, nilai agama yang memang disebut di situ,” ungkapnya pada Ahad (21/3) dalam diskusi bersama Guru Besar Alumni HMI.
Terkait dengan draft Peta Jalan Pendidikan Indonesia tahun 2020-2035 yang beberapa waktu lalu ramai dibicarakan, Haedar menilai dalam menyusun itu konstruksi berpikirnya terkelupas. Di sisi lain ia menilai kebijakan tersebut merupakan usaha mendongkrak kondisi pendidikan nasional untuk menghadapai perubahan di era abad 21.
“Tetapi saking bersemangatnya lalu tidak terkoneksi dengan identitas Indonesia itu sendiri sebagai Negara yang berbasis pada Pancasila, nilai agama dan budaya luhur bangsa sebagai satu kesatuan,” urainya dikutip dari laman muhammadiyah.or.id
Haedar mengakui, memadukan antara nilai-nilai instrumental-ideal dengan yang bersifat prinsipil dan nilai-nilai strategis sungguh tidak mudah, dan sering sering terjadi reduksi. Karena itu, menurutnya diperlukan proses transformasi yang bisa melakukan negosiasi antara prinsip dan nilai dengan kebutuhan strategis dan konteks.
Meskipun dalam data yang dirilis oleh Global Competitiveeness Index, di kawasan Asia Tenggara peringkat Indonesia berada di posisi 6 di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, Philipina, dan Thailand. Serta, menghadapi tantangan era abad 21, menurutnya tidak serta merta dengan cara mengubah lembaga pendidikan menjadi ‘pabrik’.
“Kita punya akademisi, sarjana, guru besar, dan para ahli, kenapa kita tidak bisa memobilisasi potensi sumber daya ini untuk menjadi gelombang besar?. Merancang bangun Indonesia kedepan agar lebih baik,” tanyanya.
Dirinya kembali menegaskan, bahwa Negara maju itu dimulai dari rancang bangun dunia pendidikan. (*)