Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian SH M.Hum
Istilah buzzer atau influencer pada rezim ini seolah menjadi tidak asing di telinga. Kehadiran buzzer dan influencer kian santer terdengar pasca UU Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan. Pihak-pihak tertentu secara beramai-ramai mendukung UU Ciptaker yang banyak dipertentangkan oleh berbagai pihak. Lewat tangan influencer, pemerintah berusaha membingkai semua pihak yang menolak RUU Ciptaker.
Begitu halnya dengan buzzer yang kerap menjadi ‘bintang’ dalam dunia digital. Apalagi terhadap rezim pemerintah kini yang sangat dekat dengan dunia digital. Fenomena buzzer dan influencer menjadi dilematis tatkala pemerintah memberikan ‘lampu hijau’ bagi masyarakat Indonesia untuk aktif memberikan kritik atas kinerjanya. Apakah pemerintah memang menginginkan kritik sementara di sisi lain buzzer atau influencer kerap membayangi dengan ‘menyerang’ akun pemberi kritik.
Secara epistimologi ‘buzz’ berasal dari bahasa Inggris berarti ‘dengung’. Jadi, ‘buzzer’ bisa dialihbahasakan sebagai ‘pendengung’ di media sosial (medsos).
Adapun influencer berasal dari kata ‘influence’ yang artinya ‘pengaruh’. Dalam bahasa Indonesia, influencer disebut juga sebagai pemengaruh. Berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW) lewat data yang dikumpulkan pada 14 hingga 18 Agustus 2020.
Salah satu metode yang dipakai adalah menelusuri Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), menyatakan pemerintah menggelontorkan anggaran Rp90,45 miliar untuk jasa influencer, baik individu atau kelompok, dengan tujuan memengaruhi opini publik terkait kebijakan. Berdasarkan temuannya, saat itu ada lima paket anggaran belanja dengan nilai Rp17,68 miliar. Angka itu mengalami peningkatan di 2018 yakni 15 paket pengadaan senilai Rp56,55 miliar.
Selanjutnya, di 2019 turun menjadi 13 paket pengadaan dengan total nilai Rp6,67 miliar. Sementara di 2020 hingga saat ini terdapat tujuh paket pengadaan dengan total nilai Rp9,53 miliar. Sungguh nominal yang fantastis, mengingat banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi namun pemerintah masih memikirkan kucuran dana kepada para influencer tanpa adanya seleksi atau standard khusus tentang ini.
Fenomena buzzer atau influencer sebenarnya merupakan penyimpangan yang disengaja bahkan ‘dibiayai’ untuk bertahan, menyerang atau mengkaburkan seolah-olah bahwa itulah cerminan pendapat publik yang tak jarang diramu dari gambaran pandangan ahli, rujukan fakta dan bahkan seolah-olah argumentasinya komprehensip walaupun banyak juga yang langsung menyerang di luar konteks dan bahkan menebar fitnah. Sehingga kemunculan buzzer atau influencer perlu ditertibkan melalui regulasi hukum dengan catatan aparat penegak hukumnya objektif menegakkan hukum bukan menggunakan hukum untuk kepentingan tertentu apalagi untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Sebab munculnya buzzer atau influencer merupakan bukti gagalnya sistem transparansi, akuntabilitas, profesionalisme dengan prinsip bertanggungjawab dan nyata.
Esensi demokrasi menjadi terganggu tatkala buzzer menyebar dalam platform sosial media. Dukungan yang ‘membabi buta’ atas suatu kebijakan pemerintah dinilai tidak wajar begitu pun sebaliknya, karena pada hakekatnya akan selalu ada pendapat pro maupun kontra, apalagi perihal keseriusan pemerintah menanggulangi covid-19 yang telah ‘berulang tahun.’
Bayangkan saja di negara asalnya, Wuhan China virus tersebut dapat ditanggulangi tanpa menunggu hitungan tahun. Sekalipun memang bukanlah pekerjaan yang mudah namun setidaknya mereka tidak dibayangi dengan angka kematian akibat covid yang kian bertambah.
Pantas diberi apresiasi kebesaran hati Presiden untuk membuka ruang kritik atas kinerja pemerintahannya. Akan tetapi, permasalahan selanjutnya adalah mengenai pasal karet UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap mengkriminalisasi para pemberi kritik. Ironisnya banyak pelapor UU ITE yang berasal dari kalangan pejabat, aparat. Aparat negara disinyalir menjadi pelaku kekerasan terkait hak berekspresi warga.
Dalam berbagai sumber, pelapor kasus UU ITE terbanyak, misalnya, justru dari kalangan pejabat negara: 35,92 persen.Pelaporan pejabat negara kepada terlapor awam berbasis ujaran ekspresi dan kritik atas kinerja atau posisi pejabat tersebut.
Namun, kasus cenderung diarahkan kepada materi bermuatan ujaran kebencian. Bukannya melindungi, pasal karet kerap dipakai sebagai alat membungkam masyarakat sendiri.Berdasarkan data Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi mencatat sejak UU ITE diundangkan pada 2008 sampai setelah direvisi 31 Oktober 2018, terdapat sekitar 381 korban UU ITE. Sekitar 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian.Sementara untuk tahun 2020, ada 84 kasus pemidanaan warganet di mana 64 di antaranya terkena jerat UU ITE.
Pasal karet UU ITE menjadi ‘ancaman serius’ terhadap kritik yang merupakan bagian dari hak berpendapat dan kebebasan berekspresi yang diberikan jaminannya langsung melalui Pasal 28Eayat (3) UUD NRI 1945. Namun, jaminan akan kebebasan berpendapat dan berekspresi bukan berarti memberikan ruang sebebas-bebasnya, ada batasan yang sudah ditentukan.
Adapun pembatasan memang diatur tetapi bukan untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat, namun tujuannya untuk mengatur agar kebebasan tersebut berjalan dengan tanggung jawab. Mengemukakan pendapat memang merupakan kebebasan, namun perlu penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang ada di negara dan tempat tertentu. Batasan tersebut muncul dipengaruhi oleh moralitas masyarakat, ketertiban sosial dan politik masyarakat yang demokratis. Moralitas yang hidup di masyarakat juga selain membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi juga ikut menghidupinya, dan peraturan yang ada merupakan norma sebagai bagian menjaga ketertiban sosial dan politik.
Mengacu pada tataran aturan internasional, jaminan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dimuat dalam beberapa instrumen hukum internasional.
Pertama, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 dalam Pasal 19. Pasal 19 DUHAM menyebutkan “setiap orang berhak memiliki pendapat dan juga dapat mengekspresikannya.” “Setiap orang harus mampu membagikan pendapatnya dengan pihak lain melalui cara atau format apa pun, termasuk dengan orang-orang dari negara lain”.
Kedua, jaminan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi diatur dalam Pasal 19 ICCPR, yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pada intinya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang diakui dalam prinsip-prinsip internasional dan juga dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun di sisi lain, kebebasan berpendapat dan berekspresi berpotensi menimbulkan pencemaran reputasi orang lain sehingga perlu diatur pula pembatasannya.
Eksistensi pasal karet dalam UU No. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dinilai tidak memberikan rasa keadilan karena dapat diinterpretasikan secara sepihak. Presiden juga meminta Kapolri melakukan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan Undang-undang tersebut dapat berjalan secara konsisten, akuntabel dan berkeadilan.
Namun yang menjadi pertanyaan, bilamana presiden ‘jengah’ terkait pasal karet dalam UU ITE, mengapa tidak kunjung melakukan revisi dengan mencontoh model ‘omnibus law’ yang dinilai dapat dibuat dalam waktu yang singkat seperti saat membuat UU Cipta Kerja kemarin?.
Anomali pasal karet dalam UU ITE dapat ditemukan dalam Pasal 26 ayat (3) tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan, Pasal 27 ayat (1) tentang Asusila, ayat (3) tentang Defamasi, Pasal 28 ayat (2) tentang Ujaran Kebencian, Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan, Pasal 36 tentang Kerugian, Pasal 40 ayat (2) huruf a tentang Muatan yang Dilarang dan huruf b tentang Pemutusan Akses, Pasal 45 ayat (3) tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi yang digunakan sebagai pembungkam dalam memberi kritik.
Sebelumnya persoalan kebebasan berpendapat dan berekspresi pernah dibahas di Mahkamah Konstitusi. dalam pengujian Pasal 134 dan 136 bis dan 137 KUHP mengenai Penghinaan Kepada Presiden/ Wakil Presiden. Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus pasal tersebut.
Mahkamah berpendapat bahwa Penghinaan Presiden/Wakil Presiden di KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada multitafsir, apakah sebuah tindakan itu berupa kritik atau penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden. Penerapan hukum pidana berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap tatkala pasal penghinaan presiden digunakan aparat hukum terhadap momentummomentum unjuk rasa di lapangan. Pasal tersebut dinyatakan secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, 28D Ayat (1), 28E Ayat (2), dan Ayat (3) UUD 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi, yang dijamin Pasal 28F UUD 1945.
Menyimak beragam kasus hingga lahirnya berbagai putusan baik yang terkesan dipaksakan maupun kasus yang sebenarnya memenuhi unsur tetapi tidak diproses apalagi sampai ke pengadilan maka keberadaan buzzer atau influencer menjadi menarik. Apalagi fungsi media mainstream juga ‘sebelas dua belas’ dengan buzzer atau influencer karena terbawa random oleh motif politik dan bahkan untuk kepentingan pemodal sebab baik media elektronik, cetak termasuk media suara kasat mata sudah memunculkan dominasi kepentingan pemodal/bisnis dan itu artinya juga bermuatan politis.
Maju mundur dan bahkan matinya mereka dipengaruhi oleh iklan dan kepentingan jaringan sehingga pertarungan yang muncul hanyalah terkesan menyalahkan buzzer atau influencer yang layaknya hanya versi kuasa/kepentingan politik padahal keberadaan buzzer atau influencer sudah menjadi kebutuhan dalam berbagai perspektif perhelatan (ekopoleksosbudhankam) dalam lingkup lokal, nasional dan bahkan global.
Untuk itulah sebagai negara hukum harus kita kembalikan bagaimana mengelola dinamika berbagai hal dalam konteks pro-kontra yang sesuai dengan Pancasila, tidak boleh menyimpang maupun melanggar itu. Legislative (pemerintah dan DPR) bertanggungjawab membentuk atau merubah regulasi yang tak kurang kalah pentingnya para aparat penegak hukum, professional dalam hal memproses semua yang terkait dengan pelanggaran hukum sesuai dengan sumpah jabatannya, tidak bermotif politik apalagi karena kepentingan KKN. Dengan kata lain regulasi sebenarnya sudah memadai, namun karena kepentingan politik dan KKN maka muncul lah kekuasaan mulai atas nama tafsir hingga pertarungan yang semua itu merupakan pelanggaran serius terhadap Pancasila khususnya sila kedua yakni “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”
Untuk itulah seluruh pihak terkait khususnya pemangku kuasa dituntut bukti bagaimana mereka mengelola kuasanya dengan tumpuan etik/moral/adab serta professional dalam aktivitasnya. Bahkan spectrum global menurut hemat penulis, Pancasila, etik, moral dan adab yang kita miliki akan menjadi alternative dan solusi menghadapi kondisi pertarungan (ekopoleksosbudhankam) saat ini. Kita mendesak presiden memberikan contoh dan tauladan serta memastikan hanya ada satu visi-misi pemerintahan bukan sebaliknya. (*)
Penulis adalah Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumut, Doktor Hukum dengan Pujian (Summa Cumlaude) dari USU dan Dosen Fakultas Hukum UMSU.