Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Politisasi kemiskinan rakyat Aceh berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis beberapa hari lalu adalah bentuk pemberontakan nasional buzzer dan atau yang selama ini diperhalus dengan istilah influencer.
Semakin menjadi lebih terang benderang karena selain adanya framing opini berskala nasional juga ada mobilisasi pengiriman papan bunga satire ucapan selamat kepada pemerintah Aceh.
Para pemberontak ini sangat sadar bahwa penyebab utama degradasi kualitas kehidupan penduduk dunia saat ini (kemiskinan) adalah wabah COVID-19. Untuk Indonesia penanganannya adalah oleh sebuah organisasi terpusat. Semua daerah hanya mengekor saja.
Menurut regulasi, untuk usul penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), misalnya, daerah tidak memiliki kewenangan kecuali sekadar mengusulkan, dan boleh disetujui atau tidak oleh Jakarta. Padahal Jakarta tidak mungkin selalu faham kondisi daerah.
Secara politik jika semakin banyak daerah yang menerapkan PSBB, Jakarta pasti akan khawatir krisis ekonomi bisa menjurus kepada krisis politik yang sangat menakutkan. Indonesia terkesan kuat dalam posisi itu.
Mereka juga sangat sadar bahwa kegagalan dalam membangun gerakan sosial menanggulangi wabah COVID-19 sangat serius. Mereka tahu pemerintah tak hanya gagap dalam membangun konsepsi yang akan menjadi lead bagi gerakan nasional melawan wabah COVID-19, tetapi juga dalam menempatkan kepentingan prioritas.
Lihat misalnya dana stimulus COVID-19 yang lebih mementingkan korporasi, tidak hanya menunjukkan kegamangan. Melainkan juga rasa ketakutan atas kemungkinan krisis ekonomi berlanjut menjadi krisis politik yang serius.
Hal lain ialah tentang program prakerja. Bayangkan, pada saat pandemik program prakerja dengan perimbangan dana untuk korporasi penyelenggara dan distribusinya untuk rakyat penerima manfaat sangat terbuka dipertanyakan.
Juga wacana nasional mensupport korporasi dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) yang membahana, begitu juga wacana pengembangan bisnis digital. Semua kebijakan itu seakan tak sudi mengindahkan nasib rakyat. Karena korporasi boleh mendapat dana supporting yang besar, begitu juga UMKM.
Pertanyaannya, adakah korporasi dan UMKM yang bisa bertahan jika daya beli rakyat terus menerus tergerus karena kehilangan pekerjaan (PHK) dan mengerucutnya peluang usaha?
Padahal semestinya pemerintahan nasional mengucurkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), misalnya Rp 5-7 triliun untuk setiap Kabupaten dan Kota, serta Rp 10-15 triliun untuk setiap Provinsi. Dana itu digunakan untuk membangun infrastruktur yang mempekerjakan rakyat, tidak seperti model selama ini yang di bawah dikte Belt and Road Inisiative (BRI) China yang pengerahan tenaga kerjanya dengan sama sekali tak mengindahkan keterpurukan Indonesia dalam masalah pengangguran.
Beberapa hari ini viral berita bahwa dalam keadaan susah begini Indonesia tetap tidak memiliki sensitivitas yang wajar. Misalnya, diketahui Indonesia telah menyerahkan bulat-bulat kepada Mister Loo untuk mengelola 25 toilet yang dibangun di kawasan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Danau Toba. Mister Loo adalah perusahaan yang mengurus WC atau toilet pada kancah internasional berbasis di Swiss yang dikendalikan oleh Andreas Wanner dan Dominik Schuler. Bayangkan duka kehilangan kesempatan dari tangan pengusaha Indonesia atas nama international competitiveness.
Mereka tentu sangat sadar bahwa penggantian Menteri Kesehatan adalah salah satu indikasi puncak gunung es yang mencerminkan besaran masalah dan rentetannya di bawah permukaan. Apalagi dengan mendudukkan seorang yang tak faham sama sekali masalah kesehatan dan khususnya masalah pandemik, sebagai pengganti Menteri Kesehatan.
Semua orang heran, Majelis Ulama Indonesia (MUI) buru-buru mematwakan bahwa vaksin yang akan digunakan Indonesia yang berasal dari China itu bersifat suci dan halal. Padahal uji klinis yang diprasyaratkan untuk itu masih sedang akan dimulai oleh institusi yang berkompeten, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Tertangkapnya Menteri Sosial (oleh KPK) dengan berbagai asumsi politisasi anggaran yang sangat sadis semakin memperkuat fenomena puncak gunung es itu yang mengindikasikan kebobrokan nasional. Tentu saja mereka sangat sadar bahwa kebijakan mengakhiri pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan menggantinya dengan penerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berskala Mikro terhitung mulai tanggal 9 Februari 2021, adalah bukti yang semakin memperkuat kegagalan nasional melawan wabah COVID-19. Mereka juga pasti sangat tahu data kekorupsian nasional yang terbuka mau pun yang tertutup di bawah permukaan.
Degradasi kualitas kehidupan karena wabah COVID-19 terjadi di hampir seluruh dunia, dan umumnya dengan sadar hampir semua orang waras berfikir bagaimana menumbuhkan solidaritas menanggulangi bencana.
Lembaga-lembaga internasional khususnya WHO mencurahkan perhatian dan upayanya untuk itu, meski karena kepentingan perang dagang rivalitas yang memuncak juga tidak reda. Vaksin saja diposisikan sebagai komoditas politik berefek tinggi bagi konsekuensi ekonomi, dan ini gagal disikapi oleh banyak negara yang tersubordinasikan secara menyedihkan kepada kekuatan-kekuatan negara pendikte dalam arena politik dan ekonomi perdagangan bebas.
Disadari bahwa dalam struktur dunia yang relatif seakan bersifat anarkis terutama sejak berakhirnya perang dingin sehingga keleluasaan negara predator begitu dahsyat dan Lembaga-lembaga internasional seperti WHO, UNESCO dan bahkan PBB seakan hanya bisa menonton sambil menggerutu.
Mereka pasti sangat faham bahwa Aceh dan Papua adalah provinsi-provinsi yang berada dalam status otonomi khusus dengan kewajiban nasional mengucurkan dana “berlebih” dari APBN. Tetapi nasibnya tidak begitu banyak berubah dengan kucuran dana nasional dari APBN selama bertahun-tahun. Ini mengindikasikan kegagalan konsepsi dan penerapan hubungan pusat dan daerah (otonomi) dalam pemerintahan Indonesia yang lebih bersifat parasitis ketimbang memerdekakan. Sangat banyak dimensi yang mesti dirombak di sini, terutama mentalitas birokrasi dalam sistem politik yang terus-menerus diglorifikasi.
Mengapa mereka memandang politisasi kemiskinan Aceh begitu penting? Aceh itu tak hanya daerah istimewa, tetapi juga memiliki sebuah qanun, dan mereka di sana sangat bergembira dengan upaya membangun masyarakat madani dengan konsep shariah.
Urgensi atau motif mobilisasi opini yang menyudutkan pemerintah Aceh itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyudutkan pemerintah Aceh dan bukanlah sebuah upaya menyembunyikan kegagalan nasional menangani wabah COVID-19 yang antara lain menyebabkan pertambahan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Justru terbalik.
Mereka ingin mempermalukan pemerintah kepada rakyatnya sendiri dan kepada dunia internasional. Bisa saja agitasi semacam ini dapat memicu kemarahan rakyat secara nasional. (*)
Penulis adalah Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut, Dosen FISIP UMSU