Oleh: Zefrizal Kiffung
Biasanya yang berobat ke Rumah Sakit Umum tanjung balai kondisinya sudah koma. Kalau masih sadar dan bisa diajak bicara, ke puskesmas-pun tidak. Paling-paling kebidan atau mantri.
Apalagi cuman panas tubuh 38,5 derjad celcius. Cukup “puyer enambelas bintang tujuh” dan berselimut. Niscaya tiga puluh menit kemudian kelar. Besok sore sudah bisa ke rel kereta api lagi. Main bola atau menonton orang main bola.
Jadi tak adatu cerita dokter dokteran atau rumah sakit-rumah sakitan. Anak-anak Tanjung Balai otot besi tulang baja. Sehat-sehat karena sering makan tongkol, kepiting, kerang, dan sejenisnya. Periksalah, tahun tahun 90 han, persentase penderita tipoyd di tanjung balai sangat rendah. Entah karena benar otot besi tulang baja. Atau Entah karena tak pernah cek darah.
Seperti yang kusebutkan. Kalau hanya demam, maka tak perlu dokter apalagi rumah sakit. Cukup ke warung aroya ja’ar. Cari puyer enam belas bintang tujuh.
Jika Ke Rumah sakit lain lagi ceritanya. Pasti berjarum gantung atau di inpus. Dan bisa gempar kampung baru jalan damai. Apalagi cerita yang sakit dikabarkan Wak Masri, yang sehat dudukpun dibilangnya lemas terkulai. Bagaimana kalau yang belum bisa duduk. Pasti dibilangnya hendak mati.
“Eemmmmhh. Kasian awak. Ondak mati tadi kutengok.”
Memang sudah karakter wak masri manjunah-janah, berlebihan, hiperbola. Kalau pembaca masih ingat. Pernah juga Wak Masri mengkabarkan kaki si leman basalemak patah tiga karena jatuh. Padahal dilihat faktualnya, terkilir sajanya dia. Dan cukup dibalur pakai daun bakung.
Baca Juga: Mendengarkan Tukang Bongak
Selesai isya, di Masjid Tupiq Hidayah biasanya jama’ah masih kumpul-kumpul, saling bercerita peristiwa yang terjadi siang tadi mulai dari gang sehat sampai depan gang sepakat. Semua peristiwa diulas. Termasuk peristiwa Nek Molek yang berjarum gantung.
“Macamano kabar nek molek Wak masri dongar”.
“Maaakkkk… gawat bah malim. udah berjarum gantung kutengok”
Ada kata-kata gawat. Tapi syukur tak ditambahinya dengan kata-kata ondak mati. Segan dia. Karena yang bertanya mu’llim Dahlan imam masjid. Kalau Si Kamal tadi yang bertanya. Entah apa apalah jawab Masritu. Yang jegang jeganglah. Udah mengigau ngigaulah. Macam-macam.
Sambil berdecip dan sedikit menggelengkan kepala, mu’allim dahlan berdo’a.
“Mudah-mudahan copatlah nek molektu sehat yo. Bak datang kito manyonggot karumahnyo…”
“Iyolah.. Bagitupun jadi,” sahut Wak Masri.
Rumah sakit sama dengan kedaruratan, dan sepulang dari rumah sakit biasanya kerabat, tetangga, dan sanak familinya berkunjung. Membawa bale sama kain sarung. Manyonggot istilahnya, mangupah upah atau menjemput tondi.
Kalau puyer enam belas bintang tujuh tak mempan. Dan yang bersangkutan panas badannya tak reda selama seminggu, biasanya orang Tanjung Balai mencari obat keteguran. Mencari Ketempat yang punya kemampuan supranatural secara keturunan. Bukan juga dukun. Tapi hanya pandai mengobati keteguran saja.
Mendeteksi sakit keteguran atau tidak, mudah saja. Cukup dengan membelah dua kunyit. Kemudian kunyit yang dibelah dilemparkan keatas hingga melampauwi kepala. Jika kunyit yang jatuh kelantai satu telentang dan satunya lagi telungkup, maka tak pelak lagi orang tersebut demam karena keteguran.
Keteguran maksudnya ditegur oleh leluhurnya yang telah meninggal dunia karena lupa mendo’akannya. Sehingga ditegurlah salah satu anggota keluarganya.
Ritual berikutnya kunyit yang dibelah dioleskan ketubuhnya. Mulai dari kening. Dioleskan dari kanan ke kiri. Selanjudnya dari lengan kanan ke kiri. Dan terakhir dari kaki kanan ke kiri.
Sembari diberi tahu; “Katoguran mandiang nenek kau ya.. atau mandiang atok dan bisa juga keteguran yang lain. Jangan lasak-lasak lagi. Besok kalo ado razoki omak kau, suruh dio basadokah pisang sesisir”.
Ajaib. Esok hari yang katanya keteguran sembuh dari demamnya. Padahal hanya diolesin kunyit saja.
Aneh memang.. tapi jika dihubung-hubungkan, yang menjadi obat bagi yang demam tadi sesungguhnya adalah sedeqah. Sesuai dengan hadis bahwa obatilah orang-orang yang sakit dengan sedeqah…
Lain hal dengan unde Tuti, adek sepupu ayah kami. Tahu persis kami bahwa tak punya kemampuan supranatural dia. Tapi banyak orang yang minta obat keteguran kerumahnya. Dan itu berulang. Karena yang datang rata-rata sembuh.
Disimbangnya kunyit ke atas kepala. Kemudian dioleskannya dan disuruh bersedeqah. Dan Esoknya yang datang sudah sembuh.
Orang-orang terus berdatangan Minta obat keguran. Sampai pada ketika ulahnya dibongkar oleh tetangganya.
“Buk tuti. Buk tuti… Assalamu’alaikum. Ooooo buk tuti…”
Wa’alaikum salam. Apo Midah..masuk kamu..Masok-masok..Apo carito…??
“Ini buk ha…Si Kuntel…Sudah saminggu domam. Cok ibuk tengokkan dulu.
Antah katogurannyo dio..”
“Abah iyo…kuambek kunyit kadapur dulu yo.Terus dirabanya kening si Kuntel agak panas.. domam uwak yon tel. Sabontar yo wak. Bak uawak tengok kau dulu,”
Sikuntel lemas, matanya sendu, kepalanya sedikit mengkulai kesebelah kiri dan mengangguk-angguk.
Unde tuti membelah kunyit. Mulutnya komat kamit. Kunyit dilemparkan. Dan hasilnya telentang telungkup…
Sambil mengoles Kunyit… unde tuti berfatwa..
“Iyoo pulak..katoguran anak kau ni Midah….”
Si medah penasaran lalu bertanya.
“Katoguran siapo unde tengok..?”
Unde tuti melihat-lihat wajah si Midah yang atara usia 35 sampai 40 tahunan. Sembari berfikir dan berupaya menebak keteguran siapalah cocoknya si Kuntel ini dibilang. Biar tak salah sebut. Sebab kalau salah sebut akan fatal akibatnya.
Rupa-rupanya hari itu bukan harinya unde Tuti. Salah dia menebak. Difikirnya karena si Midah relatif sudah ber-usia, maka sudah meninggal ayahnya. Padahal masih sehat, wal’afiat pula. Kalau merokok jangan ditanya. Satu setengah bungkus perhari.
Diputuskan unde tuti-lah kalau si Kuntel keteguran atoknya.
“Hajab midah. Katoguran atoknya dio ini midah. Udah lamu kamu tak ziarah yo…,”
Wajah si midah merah padam tanda marah. Batinnya tak menerima. Orang Tanjung Balai kalau sudah cerita tentang ayahnya, cepat kali marah.
“Apo ibuk bilang..katoguran atoknya si Kuntel.!! Elok-elok ibuk bacakaptu sikit…Masih hidup lagi ayahku.. Dicabei cocoknya mulut ibuktu. Mangarang sajo karojo ibuk. Manyosal pulak aku datang kasini..Moh Kuntel. Pulang kito.
Tak cocok lagi ibu tutini kutengok. Dibilangnyo atok kau udah mati.
Padahal sehatnyo dio,”
Astaghfirullah.
Si Midah kesal dan membanting pintu rumah undek Tuti.
“Assalamu’laikum,” katusnya sambil berlalu.
Unde Tuti tepuk jidat.
“Hajab. Sudah Ketahuan kito. Hilanglah pancaharian…”
Besoknya, Unde tuti pulak yang demam. Lalu difikir fikirkannya pulak agak-agaknya keteguran siapa dia.
“Oo..fit.. alaaayaah… cok rabokan dulu koning omakni. Agak panas omak raso.,”
“Iyookkk mak. Panas jaaaanggg…Kanapo omak..?” tanya anaknya siftri.
“Antahlah.. yahh.. antah katoguran siaponyo omak ni agaknyo..!!”
Sambil senyum-senyum si Fitri menjawab.
“Di togur si Midah lah mak. Siapo lagi..hehe,”.
“Alahhhmaak.. tambah poning omak raso..,”
Lalu unde tuti menutup wajahnya pakai bantal..hahaha. (*)
Penulis adalah putra Tanjung Balai.