TAJDID.ID~Jakarta || Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra (Alpha) mengatakan, terdapat kesalahan dan sikap inkonsistensi pemerintah terkait persoalan penguasaan lahan HGU di tanah air selama ini.
Hal tersebut disampaikan Azmi saat menanggapi keterkejutan Menko Polhukam Mahfud MD terkait penguasaan ribuan hektar lahan HGU oleh sejumlah grup.
“Ini menunjukkan belum konsistennya penerapan hukum tanah di Indonesia oleh pemerintah, padahal ini adalah kewajiban hukum pemerintah,” kata Azmi kepada awak media, Selasa, (29/12/2020).
Alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini menjelaskan, masalah persoalan penguasaan lahan HGU juga menjadi cermin dan abainya rasa ketidakadilannya.
“Ketika ribuan hektar dikuasai grup bisnis besar tertentu kesannya masih menelusuri, nah giliran rakyat hanya tanami sedikit untuk hidup atau untuk kegiatan sosial reaksinya cepat banget,” kata Azmi.
Menurut Azmi, makna adil itu diantaranya persamaan perlakuan. Dan itulah yang diharapkan rakyat, yakni adanya tindakan konkrit pemerintah terhadap siapapun, untuk kemudian didudukan posisi keberhakannya.
“Jadi proses yang sama dan perlakuan yang sama guna mengatasi masalah penguasaan tanah ini,” tegasnya.
Karena itu, Azmi mendesak pemerintah agar segera membentuk tim khusus yang detail dan teliti dalam menyelesaikan persoalan penguasaan lahan HGU di Indonesia.
“Pemerintah sebaiknya bertindak cepat dan adil,” tegasnya.
Ia menjelaskan, hukum tanah asasnya pemisahan horisontal, dimana bangunan atau yang ada diatas tanah itu bisa dimintakan ganti ruginya.
“Dalam praktiknya biasanya sih akan ada kompensasi( uang kerohiman istilahnya), semacam ganti rugi buat orang- orang yang selama 30 tahun telah menggarap tanah tersebut,” tutur Azmi.
Adapun penyebabnya adanya persoalan lahan HGU ini adalah dikarenakan kesalahan pemerintah masa lalu yang biasanya memberikan kemudahan bila ada permintaaan hak atas tanah dari elit-elit pengusaha, pejabat hingga bos- bos besar tertentu.
Azmi mengungkapkan, hal ini dibiarkan puluhan tahun tanpa pengawasan lebih lanjut oleh pemegang pemerintah selanjutnya, sehingga muncul para penggarap yang merasa seolah olah merekalah pemilik hak garap itu.
“Kini di era terbuka dan pembiaran tanah yang sejak lama tersebut terkuak dan jadi masalah yang akut tentunya,” tutup Azmi. (*)