
Kita hidup di dunia yang penuh benturan hasrat, motif dan keniscayaan politik, kekuasaan dan hukum yang dinamika rivalitasnya lebih bersifat tak berimbang (asimetrik) di antara sesama anak bangsa dan masyarakat dunia.
Tetapi dengan penalaran yang baik sangatlah mendesak merevisi persepsi umat terhadap politik dan kekuasaan itu agar tak terus menjadi maf’ulunbih (pelengkap dan prasyarat penting legitimasi) dalam posisi sebagai mayoritas yang lebih kerap seperti pendorong mobil mogok yang selalu harus membersihkan diri setiap kali kecipratan lumpur.
Agama dan politik (kekuasaan) memang selalu sensitif sepanjang masa, bahkan sebelum perang salib. Itulah sisi lain agama dan keberagamaan dan memang Tuhan pun selalu diperebutkan dalam sejarah agama-agama ini (Karen Amstrong, 1999).
Itulah sebabnya tak perlu dipertanyakan agama mana yang tak hanya dalam pelembagaan dan kelembagaannya mementingkan kekuasaan dan politik? Agama mana yang membiarkan politik mendefinisikan dirinya sesuka kekuasaan yang hadir silih berganti? Agama mana yang tak berpikir uang, kekuasaan kesejahteraan dan eliminasi rival kontestasionalnya (George Thomas Kurian, 2011)?
***
Mentalitas antipodal semu sangat dipentingkan. Maksudnya, jangan lagilah selalu berapologi salah di balik kalimat rahmatan lil alamin dalam kancah yang justru menagih kepeloporan perubahan radikal tatakelola negara dan bangsa serta dunia yang hampir bangkrut. Itu sangat tak indah, karena bukan konsep rahmatan lil alamin yang tak difahami di seluruh dunia, melainkan, sebaliknya, secara ideologis pengejawantahannya sangat ditakuti. Sadari itu dalam-dalam.
Konsep rahmatan lil alamin memiliki sisi utuh yang mungkin kurang tepat disebutkan hegemoni. Tetapi jika tak hegemonik, tidak ada kisah yang bisa menerangkan terwujudnya kondisional yang diinginkan konsep rahmatan lil alamin itu.
Analoginya hegemoni Baratlah yang meniscayakan sekularisasi dan pemaksaan nilai yang bertabrakan di sini dan sayang sekali posisi itulah yang diterangkan sejarah sebagai faktor yang memungkinkan penjajahan dan pemiskinan massal dunia. Konsep rahmatan lil alamin tidak difahamkan seburuk dan serasis itu.
***
Ketika berfikir zuriah (regenerasi), maka mencari sumber pendanaan bagi pendidikan generasi muda untuk merebut ilmu pengetahuan dan teknologi (Abdullah Sahin, 2018) adalah desakan amat penting. Sangatlah tak memadai jika hanya sekadar berkeringat dalam perlombaan membangun lembaga pendidikan termoderen.
Karena sering mengisyaratkan kapitalisasi isu, modal kebangsaan dan agenda pendidikan untuk neoliberalisasi di tengah kesenjangan yang melahirkan mayoritas dhuafa tanpa masa depan.
***
Tentu saja semua itu tak dapat diraih tanpa ukhuwah (Ganjar Widhiyoga, 2019; James Piscatori, 2019). Ikhtilaf harus difahami sebagai rahmat hingga keberadaan mazhab hukum Islam secara egaliter (M. Cherif Bassiouni, 2012) dapat saling mengisi dalam kesetaraan jenius menyertai kehidupan umat berabad-abad.
Ikhtilaf seyogyanya bukanlah pertengkaran dan angkara murka dan masalah furu’iyah (masalah elementer) harus secara dewasa tak mengganggu ukhuwah. Sebahasa dan setindakan sangat diperlukan, meskipun kita tahu residu kebijakan devide et impera (Frigate Ardhito, 2019) masih selalu menunjukkan buruknya kebijakan pemerintahan kolonial itu hingga melampaui zaman yang begitu lama (Sri-Bintang Pamungkas, 2014).
Akan selalu ada orang dan kelompok yang merasa dirinya superior di atas yang lain dan itu adalah data penting bagi pemantaatan pihak tertentu untuk rekayasa penyesatan yang dapat terus-menerus merontokkan ukhuwah (Zafar Ishaq Ansari and Ismaˆil Ibrahim Nawwab, 2016).
Semestinya dijajah selama 350 tahun dan keterpurukan taraf bangsa di atas dikte hegemoni bangsa kuat harus menjadi pelajaran ukhuwah yang besar tak hanya di Indonesia, sekaligus menyadarkan inlanderitas (Sri-Bintang Pamungkas, 2014) yang terabadikan karena kelestarian devide et impera.
Organisasi dakwah kini lazim selalu berbicara ilmu pengetahuan dan teknologi (Christopher A. Furlow, 2005). Apa masalahnya di sini? Banyak yang mungkin lupa urusan mendasar. Hitunglah berapa besar populasi yang semakin menjadi Muslim abangan atau sekular atau bahkan selfhating Muslim, Muslim yang “rajin” menebar sikap dan narasi merendahkan agamanya sendiri (Tanveer Ahmed, 2018), akibat tantangan dakwah yang semakin gencar.
***
Beberapa pertanyaan sederhana akan mengakhiti bagian pertama ini “berapa jumlah al-Quran di setiap rumah tangga, berapa frekuensi membacanya, adakah setiap orang yang membaca memahami maknanya.
Berapa persen dari populasi Muslim yang memakmurkan masjid khususnya di luar jam kerja (Maghrib dan Shubuh), berapa persen yang terus menunaikan shalat 5 waktu, dan berapa yang faham bacaan shalatnya. Ini serius. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut dan Koordinator nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya).