Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Sangat berdosa berdiam diri di hadapan fakta penguasaan sistem sumber yang sangat rasis, intoleran dan kriminalistik. Karena Allah menghendaki, dan konstitusi dirumuskan untuk melenyapkan hal seperti ini.
Isu terbesar umat Islam dunia ialah keterbelakangan (Few Research Center, 2013; Timur Kuran, 2014; Al Jazeera, 2019) yang selalu terbukti sangat rawan ditunggangi berbagai kepentingan tertentu oleh pihak-pihak lain yang pada gilirannya semakin memperburuk keadaan.
Walaupun ketidakadilan sistem dunia terus mengabadikan keterbelakangan banyak negeri di planet ini (The National Academies Press, 2020) yang sebagian terbesarnya adalah mayoritas Muslim, namun isu-isu yang muncul dari negeri-negeri Muslim terbelakang adalah sangat khas.
***
Dibantu oleh media arus utama (Md Fuad Al Mannan & Shamrir Al Af, 2017), dengan sangat mudah isu-isu itu selalu dapat dikemas menjadi bentuk persepsi ancaman global seperti terorisme, radikalisme dan intoleransi yang secara serampangan disematkan menjadi keterangan pada diri umat Islam (Faiza Patel, 2011), bahkan di negeri-negeri yang posisi mereka sebagai mayoritas seperti Indonesia.
Ini amat mengecewakan, dan umumnya pada titik inilah berbagai konsep kunci Islam seperti jihad serta-merta dipersepsikan menjadi terminologi politik Islampophobia yang kini telah diartikulasikan menjadi bentuk rasisme baru yang sangat berbahaya (Ineke Van der Valk, 2016).
Negeri-negeri muslim di Timur Tengah juga tak lepas dari keadaan buruk itu meski di sana kemakmuran ekonomi menjadi salah satu buah bibir yang membanggakan beberapa di antara yang ditakdirkan dengan kelebihan rezeki itu.
Contoh ialah ketakberdayaan diplomasi dan kecemasan berhadapan dengan kekuatan Barat yang berkolaborasi dengan Israel yang beberapa bulan lalu antara lain telah melahirkan Deklarasi Abraham yang dapat dikatakan sebagai salah satu warisan terburuk Presiden AS Donald Trump untuk dunia Islam (Jeffrey Goldberg, 2020).
***
Meski demikian kita di Indonesia memiliki potensi besar memimpin dalam mendorong perubahan tata dunia ke arah lebih adil dan manusiawi.
Harapan itu terasa seperti menggantang asap, apalagi di tengah masalah aktual bidang hukum yang berkelindan dengan politik yang secara langsung atau tidak langsung memiliki keterkaitan dengan tubuh umat Islam sebagaimana menimpa Habib Muhammad Rizieq Shihab (Bilveer Singh, 2020).
Namun tak boleh putus harapan dan berdiam diri. Masalah harus diurai. Tetapi apa gerangan harus dilakukan?
Kita tak dapat menunda pekerjaan penting berjamaah memperbaiki ekonomi umat. Itu pekerjaan sangat sulit dan sudah berlangsung lama, bahkan sejak penjajah masih bercokol di sini.
Tetapi mungkin itulah agenda pertama paling mendesak. Urusan kita pada bidang ini adalah dialog pencerahan terkhusus kepada pemerintah yang terus seakan membiarkan kesenjangan.
Mengapa urusan ini diarahkan kepada pemerintah? Karena masalah kita di sini bersifat struktural yang induknya ada pada kebijakan pemerintah.
Harus disadari, dan berbicara kritis seperti ini tidak dipantangkan dalam negara berdemokrasi, pemerintah itu dari waktu ke waktu dan di mana saja di permukaan bumi ini selalu ditandai kekurangan dan kelemahan yang nyata.
Berlakulah politik dakwah yang cerdas di sini, dengan tak memusuhi terus berusaha getol menuntut hak-hak normatif yang dijamin konstitusi dan akal sehat wal afiah.
Sangat berdosa berdiam diri di hadapan fakta penguasaan sistem sumber yang sangat rasis, intoleran dan kriminalistik.
Karena Allah menghendaki, dan konstitusi dirumuskan untuk melenyapkan hal seperti ini. Perintah Allah jelas, hal ini tidak boleh terus dibiarkan.
Berilah perhatian penuh atas, misalnya, hulu dan hilir ekonomi, perdagangan dan industri sebagaimana dahulu pemerintahan Soekarno pernah melahirkan kebijakan politik Ekonomi Benteng (J. Thomas Lindblad, 2010) yang memberi affirmatif action (mangampini) anak bangsa membangun perekonomian nasional yang adil dan merata serta tidak rasistik, intoleran apalagi kriminalistik.
Begitu pun sistem sumber kelautan yang pernah melambungkan nama nusantara sebagai negeri maritim tersohor sejagat yang terus dikorupsi dan tatakelola agraria yang senantiasa mengingatkan kita atas buruknya kolonialisme yang tak berperikemanusiaan itu.
Tanah kita dikuasai segelintir hanya orang (Sofyan Djalil, 2018), itu tak dapat dibantah. Label negara agraris dengan paradoks parah kondisi malnutrisi anak bangsa serta keabadian keterancaman keamanan pangan, yang kesemuanya menantang makna merdeka dan pengingkarannya atas konstitusi negara, tidak bisa tak dikupas tuntas.
Bersambung (Hal 2)