TAJDID.ID-Medan || Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (KPS FH UMSU) menggelar acara Webinar dengan tema “Pilkada dan Masa Depan Kota Medan”.
Acara yang dilakukan secara virtual pada hari Kamis (26/11) ini diikuti oleh mahasiswa/mahasiswi UMSU dan universitas lainnya juga.
Kegiatan yang dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum Umsu Assoc. Prof. Ida Hanifah SH MHum yang diwakilkan oleh Wakil Dekan III Fakultas Hukum Umsu Zainuddin S.H M.H ini menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Nelly Armayanti, SP, M.SP selaku Aktivis Perempuan dan Drs. Shohibul Ansor Siregar, M.SI selaku Sosiologi.
Kegiatan seminar ini juga dihadiri Pembina KPS FH UMSU Benito Asdhi Khodiat SH MH.
Dalam prolognya, Ketua KPS FH UMSU M. Ali Akbar Panjaitan mengatakan, kegiatan Webinar ini merupakan program dari salahsatu Divisi di KPS FH UMSU, yaitu Divisi Legal Event yang dikepalai oleh Ziana Sintya sekaligus menjadi keua panitia pelaksana kegiatan ini.
Lebih lanjut Ali Akbar menjelaskan, latar belakang dan tujuan kegiatan ini ialah seperti yang kita ketahui hanya tinggal menghitung jari saja pilkada setentak akan dilakukan di beberapa wilayah di Indosenia yang salah satunya pilkada di kota Medan.
Karena itu, kata Ali Akbar, berangkat dari pengalaman Kota Medan sebagai wajah Sumut mempunyai pengalaman pahit dan buruk dalam urusan kepemimpinan yang diwarnai oleh banyak persoalan, mulai dari korupsi, banjir, macet, kriminalitas dan lain sebagainya, maka momentum Pilkada Medan 2020 adalah momentum yang tepat untuk memperbaikinya.
“Dalam momentum Pilkada masyarakat menjadi pemegang hak penuh sebagai pemilih untuk menentukan pemimpin agar lebih baik lagi kedepannya,” ujarnya.
Dalam paparannya, Sosiolog UMSU Shohibul Anshor Siregar mengatakan, bahwa proses demokrasi Indonesia masih sebatas prosedural. Ia mengungkapkan ada empat paradoks dari kehidupan demokrasi Indonesia terkait pelaksanakan Pemilu, termasuk Pilkada yang penting untuk dikritisi.
Pertama, soal kandidasi yang sarat dengan penyimpangan. Dimana, soal kandidasi sayangnya bukan urusan rakyat daerah, dikarenakan monopoli oligarki partai politik.
“Semua orang tahu, yang memutuskan kandidasi adalah Amang Boru dan Nam Boru pemilik partai di Jakarta,” ujarnya.
Kedua, soal kontestasi yang kerap terpaku pada paraktik-paktik machiavellianisme-demokrasi yang menghalalkan segala cara.
“Demokrasi yang dilaksanakan kerap dipahami sekedar persoalan kontestasi kalah-menang, sedangkan oriantasi kemaslahatan rakyat sering dilupakan,” jelasnya.
Ketiga, soal demokratisasi. Menurutnya tentang persoalan ini kita sering alfa, dimana ada anggapan bahwa demokratisasi itu cuma sekedar memberikan suara dan kemudian terpilihlah seorang pemimpin.
“Pada hal sejatinya tidak sessederhana itu. Demokratisasi itu harus berjalan sepanjang masa, tidak hanya pada even-even seperti ini,” katanya.
Keempat, persoalan orientasi kemaslahatan rakyat. Menurutnya ini persoalan yang sangat serius dan harus dihubungkan dengan pertanyaan mendasar, mengapa Indonesia merdeka? Dan apa tujuan Indonesia didirikan?
Kalau keempat paradoks demokrasi di atas dievaluasi, maka kata Shohibul bagi para elit dan parpol, pegelaran Pilkada itu hanyalah cara konstitusional untuk memupuk kekuasan. Sementara bagi sebagian rakyat, ajang pilkada sering dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk memperoleh uang, terlebih dalam kondisi pandemi sekarang ini.
“Kemudian bagi kekuatan global, Pilkada hanyalah cara konstitusional untuk memastikan neo-liberalisme.
Sedangkan bagi para “toke”, kata Shohibul, momentum Pilkada dijadikan instrumen untuk menguasai sumber daya di daerah.
“Hampir tidak ada calon di Pilkada yang tidak disponsori toke-toke. Dan gawatnya usai Pilkada nanti akan menjadi debt-colector menuntut apa yang harus mereka dapatkan dari jasa mereka memberikan support materi dan sebaginya,” sebutnya.
Pada sesi selanjutnya, Nelly Armayanti mengungkapkan bagaimana sampai hari ini demokrasi kita masih defisit masih belum sempurna wujudnya.
“Karena kehidupan politik dan demokrasi kita yang masih didominasi kaum laki-laki,” ujarnya.
Meskipun demikian, Nelly, sekalipun tidak ada calon perempuan pada Pilkada Medan 2020, bukan berarti kaum perempuan di Kota Medan tidak berpartisipasi.
“Bukan berarti kita harus golput ya. Mudah-mudahan saja penyelenggaraan pilkada pada Rabu, 9 Desember 2020 dapat berjalan lancar dan partisipasi masyarakat Kota Medan meningkat karena ini menentukan bagaimana kepentingan-kepentingan perempuan akan diperjuangkan oleh pemerintah yang terpilih nantinya,” ujarnya.
Karena itu ia mengajak calon pemilih, khususnya kaum perempuan, untuk melihat visi-misi para pasangan calon sebagai referensi untuk menentukan pilihan pasangan calon mana yang paling pro terhadap persoalan kaum perempuan di Kota Medan.
Kemudian Zainuddin SH MH dalam paparannya membahas tentang “Janji Politik”. Secara gambalnag ia menjelaskan ikhwal janji politik dari perspektif yuridis.
“Yang terpenting saya sampaikan jangan sampai masyarakat Kota Medan itu ada yang Golput. Datanglah pada Rabu, 9 Desember 2020 dan pilihlah sesuai dengan hati anda,” ujar Zainuddin di akhir paparanya. (*)