Muhammadiyah tidak berpolitik (praktis). “Kiat” itu sudah ditancapkan sejak awal pendiriannya. Dalam konsistensinya seakan membiarkan keberlangsungan hiruk-pikuk perebutan kekuasaan dan maraknya korupsi yang seolah tak lagi menjadi tabu nasional, ia justru menyibukkan diri mengurusi jama’ahnya yang kebanyakan adalah dhu’afa (orang lemah dan miskin). Tekun melakukan kaderisasi dan berdakwah melalui begitu banyak amal usaha dan cabang-cabang kegiatannya hingga perluasan khusus yang kini terdapat di luar negeri.
Tetapi ia bukan tidak perduli dan bukan awam politik sama sekali. Bagaimana mungkin sebuah organisasi yang memiliki cita-cita ideologis yang besar, yakni mewujudkan sebuah negeri yang indah, adil dan makmur, yang tanpa cela, tak faham politik? Dalam bahasa khas organisasi ini cita-cita besar itu digaungkan dengan ungkapan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”.
Tersebab itu ia sangat resah ketika muncul tanda-tanda yang amat mengkhawatirkan tentang diganggunya philosophische grondslag (Belanda) atau weltanschauung philosofi grondslag (Jerman). Iyalah, Muhammadiyah memang sudah lama resah. Bahkan jauh sebelum heboh RUU HIP yang membawa perpecahan nasional yang amat serius itu. Ia pun pastilah akan terus sangat setia dan sangat cermat membaca tanda-tanda yang membahayakan tentang itu, dan dengan caranya sendiri, yang kerap seperti seolah menghindari tujuan, ia akan terus melakukan perlawanan non-violence.
Kisah paling representatif untuk itu adalah ketika Soeharto ingin agar semua organisasi secara formal mencantumkan Pancasila sebagai dasar pendirian.
Dalam non-violence movementnya ia akan akan berterus terang tentang dirinya yang lebih mementingkan bangsa dan jama’ahnya dan tak akan rela berbenturan dengan kekuatan mana pun, apalagi akan membawa korban. Dalam agendanya yang lembut ia ingin tak seorang pun warganya tak tercerahkan dan karena ceroboh menjadi korban sia-sia dalam rangsangan liar gejolak politik yang keras dan penuh tipu muslihat itu.
Bentuk perlawanan non-violencenya yang tak pernah surut sejak zaman penjajahan ialah berdakwah amar makruf dan nahi munkar. Mendirikan banyak sekali amal usaha dan menggerakkan pranata-pranata pemberdayaan adalah bentuk paling murni sebagai alterasi substantif atas negara, meski tak harus disebut sebagai perfect state in the real state. Ia ingin tak diganggu dalam kekayaan amal itu dan di sana dakwahnya menjejaki semua dimensi masalahat hari ini dan masa depan yang bahkan negara bisa benar-benar abai terhadapnya. (Bersambung)