Pilkada Serentak 9 Desember 2020 merupakan panggung kontestasi politik sangat bergensi di Nusa Tenggara Barat, baik Pilwalkot ataupun Pilkada. Kontestasi ini bagian dari agenda besar negara demokrasi manapun termasuk Indonesia.
Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat yang paling seksi dari pesta-pesta demokrasi yang lain, karena pesta ini adalah pesta yang berlangsung menentukan masa depan daerah masing-masing kedepan.
Tentu setiap masyarakat punya hak suara untuk menentukan siapa yang layak duduk di kursi walikota dan siapa yang pantas menjadi bupati dan wakil bupati kedepannya.
Sejak awal, bahkan jauh sebelum masing-masing kandidat mendaftarkan diri di KPU, masalah politik sangat gencar di perbincangkan dikalangan rakyat Indonesia pada umumnya dan rakyat Nusa Tenggara Barat pada khusunya.
Dari kota besar hingga pelosok-pelosok desa, dari kalangan petani hingga pengusaha-pengusaha besar serta dari kalangan rakyat proletatar hingga kaum-kaum borjuis, semua terlibat dalam riuh perbincangan Pilkada.
Tidak ketinggalan pula dari kalangan administrator hingga pelaku birokrasi , dari kalangan media cetak hingga media televisi semua sibuk dan responsif terhadap pesta demokrasi di pilkada 2020 9 Desember mendatang.
Pilkada memang sangat menarik dan cantik diperbincangkan, lebih-lebih hadirnya penantang-penatang baru ataupun bertahannya para petahana untuk merebut kembali kursi masing-masing daerah hingga periode kedua. Ini salah satu hal mendasar yang membuat publik sibuk dan arahkan perbincangannya kesana.
Tentu ini membawa kesegaran dalam berdemokrasi dan berpolitik di Nusa Tenggara Barat. Masyarakat Nusa Tenggara Barat tentu sudah dewasa dalam hal itu walaupun terkadang mereka masih memiliki frekuensi egosentris yang tinggi terhadap pilihan politik mereka.
Dengan hadirnya agenda besar pesta demokrasi 5 tahun sekali tingkat kabupaten di Nusa Tenggara Barat ini tentu membawa angin segar dan respon baik dari masyarakat dari berbagai kalangan. Begitu juga sebaliknya Agenda itu pun akan menghadirkan angin resah dan respon buruk juga untuk masyarakat.
Tak hanya sampai di situ, agenda Pilkada pun telah mampu membuat publik sibuk, dan menggerakkan isu sehingga media menggiring isu menjadi opini publik yang di perbincangkan di mana-mana.
Ini tidak bisa kita pungkiri lagi, karena dari sononya politik itu secara kasat mata termasuk bius ampuh yang mampu membuat jutaan mulut beradu.
Jika ada masyarakat yang bicara politik itu bukan semata-mata karena kebodohan, bukan pula karena sok taunya dan bukan juga karena kepintarannya namun budaya adu mulut itu di sebabkan atas ketidak samaan sudut pandang dalam menilai perilaku atau kinerja sosial bahkan kinerja birokrasi yang terlibat.
Mau jadi apa negri ini kalau rakyat sepih, di kuburan saja rame, apalagi negara ini dihuni oleh jutaan manusia, wajarlah ribut karena perbedaan. Wajarlah adu mulut karena ketidaksamaan.
Dua kubu yang menolak dan yang mendukung sama-sama punya hak untuk bersuara dan menyuarakan sesuai amanat konstitusi Bab x Pasal 28 dengan berbagai keinginan, walau akan ada beberapa pertimbangan menyangkut hal tersebut baik menyakut hukum , politik dan keamanan negara.
Kehawatiran dan ketakutan atas kecurangan dan kebiadaban tentu ada , namun untuk meminimalisir kecurangan dan kebiadaban politik yang membawa bencana dan merusak tatanan demokrasi yang sangat berdampak buruk terhadap nilai dan etika politik.
Oleh karena itu, mahasiswa wajib menjaga adab dan etika politik negara, mahasiswa dan pemuda harus cerdas mengawal dan tidak ikut-ikutan menciptakan hura- hara politik yang tidak sehat.
Sebab di panggung pesta demokrasi menuju Pilkada serentak 2020 tensi emosi masyarakat sangat tinggi untuk berkontestasi. Apa saja bisa terjadi termasuk kejadian yang sangat fatal untuk mengancam wajah politik dan wajah demokrasi di Nusa Tenggara Barat, bahkan di Indonesia. (*)
Ar Yandis Afn, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Djazman Alkindi ,Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi(STIA) Muhammadiyah Selong.