Oleh: Roni Jambak
Gelaran pesta politik di Indonesia selalu diwarnai polemik, tidak terkecuali dalam Pilkada Serentak 2020.
Salah satu yang menjadi pembahasan menarik saat ajang Pilkada ini adalah tentang “politik dinasti”, dimana banyak keluarga pejabat ikut dalam kontestasi ini.
Mahkamah Konstitusi lewat putusannya tahun 2015 menyatakan dinasti politik tidak haram. Setelah putusan itu dibuat, ada kecenderungan kandidat dengan rekam jejak dinasti politik terus meningkat setiap tahun.
Diantara fenomena politik dinasti yang menarik untuk dicermati adalah keterlibatan istri Kepala Daerah.
Berdasarkan laporan penelitian Nagara Institute, sebuah lembaga kajian politik di Jakarta, terdapat 124 calon kepala daerah yang terafiliasi dengan dinasti politik pada pilkada 2020. Dari angka itu, 67 merupakan laki-laki dan 57 perempuan.
Setidaknya 29 dari 57 peserta pilkada perempuan itu merupakan istri kepala daerah yang masih atau pernah menjabat..
Sebagai contoh, diantaranya ialah Herny Agus, Calon Wakil Bupati Pasang Kayu bersama Yaumil Ambo Djiwa. Herny Agus adalah istri dari Agus Ambo Djiwa, Bupati Pasang Kayu yang menjabat dua periode sejak 2010.
Relasi serupa dijumpai di Banyuwangi. Ipuk Fiestiandani, istri Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang sudah menjabat sejak 2010, dicalonkan sebagai Bupati Banyuwangi bersama Sugirah
Ada juga Yunita Asmara. sebagai calon Bupati Batanghari, Jambi. Yunita adalah istri dari Bupati Batanghari yang masih menjabat, Syahirsah.
Selanjutnya, di Labuhanbatu Selatan (Labusel) terdapat Hasnah Harahap istri dari Bupati Wildan Tanjung. Entah apa yang terjadi dengan Bunda Hasnah Harahap, ia tak hadir dalam debat dalam debat publik. Dengan demikian KPU Labusel pun melancarkan berbagai macam sanksi.
Sementara itu di Kota Binjai ada Lisa Andriayani Lubis istri dari Walikota Binjai yang sudah menjabat dua periode. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat(JPPR) Sumatera Utara menduga ada upaya pemanfaatan program Pemko Binjai yang dilakukan oleh Istri Walikota Binjai.
Hal ini tentu menjadi perhatian bersama bahwa dengan mudahnya istri petahana dua periode tersebut memanfaatkan program pemerintah Kota Binjai dalam berkampanye untuk meraih dukungan dari masyarakat.
Dari fakta di atas dapat disimpulkan, para istri pendistribusi politik dinasti cenderung berkontribusi kepada pragmatisme untuk menang karena memanfaatkan popualaritas. Untuk lebih jauh lagi tentu saja melapangkan politik dinasti.
Dan banyak para pakar mesinyalir motif majunya para istri Kepala Daerah ini didasari perhitungan, dimana jika terpilih, maka suami mereka akan tetap “memegang” kekuasaan di daerah itu, walau secara informal.
Melihat fenomena ini, memang ada kejenuhan di masyarakat melihat pola rekrutmen parpol dieksploitasi para petahana, terutama yang berkuasa dengan modal sosial, ekonomi, dan politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Negeri ini sudah saatnya membikin suatu peraturan untuk dijadikan ramuan obat, agar kegiatan nepotisme yang berjudul politik dinasti tak berujung akut.
Penulis adalah Editor TAJDID.ID