Wow! Fantastis, demikian kira-kira yang terbersit dalam pikiran kita ketika mendengar temuan Indonesian Corruption Watch (ICW), bahwa pemerintah mengucurkan anggaran sebesar Rp. 90,45 miliar untuk jasa influencer, baik individu atau kelompok, bertujuan untuk mempengaruhi opini publik terkait kebijakan.
Senada dengan itu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga berpandangan sama bahwa para buzzer dan influencer bekerja sesuai pesanan atau order.
Buzzer maupun Influencer memiliki tujuan yang hampir sama yakni untuk membujuk atau memikat hati para pengguna media sosial. Kedua pegiat ini dalam dunia pemasaran suatu produk barang atau jasa berkonotasi positif, karena aktifitasnya diarahkan untuk membujuk, mempengaruhi konsumen agar tumbuh loyalitas atas barang atau jasa yang akan dan sedang diluncurkan ke pasar.
Namun belakangan terjadi pergesaran makna karena perilaku para buzzer dan influencer sudah memasuki ranah politik, sehingga kelompok yang tidak pro pada kebijakan yang dikeluarkan mendapatkan tanggapan miring baik atas kontennya termasuk perilaku para buzzer dan inflencer.
Terkait dengan pemasaran produk barang dan atau jasa terlebih di era digitalisasi, pelaku usaha melihat salah satu upaya efektif memperkenalkan produknya adalah melalui sosial media. Perusahaan besar telah melihat menggunakan jasa buzzer dan inluencer sangat strategis dalam menanamkan brand produknya agar dikenal, dibeli atau dicoba bahkan sampai menancapkan rasa fanatisme konsumen.
Saat ini secara tidak langsung usaha kecil menengah juga menduplikasi perilaku tersebut, sebagai kebutuhan karena merupakan kebutuhan di era yang serba digital.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UUPK), Pasal 4 huruf (c) menyatakan konsumen berhak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Salah satu fungsi para buzzer dan influencer selain memperkenalkan produk yang akan dan sedang diluncurkan pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur. Pemilihan tokoh publik yang memili banyak followers sebagai sosok yang ditonjolkan untuk memasarkan produk barang dan atau jasa jika tidak hati-hati atau karena ada insiden tertentu bisa menghancurkan produk tersebut.
Misal untuk memasarkan produk yang diklaim halal, sehingga menampilkan sosok figur publik yang baik dan agamais, sekali sosok tersebut terpelesat pada hal negatif akan berdampak pada produk yang diperkenalkannya. Budaya ketimuran kita masih menempatkan sosok figur publik sebagai contoh keteladanan, kepercayaan tersebut digunakan oleh pelaku usaha untuk merebut simpati konsumen.
Produk yang benar, jelas dan jujur
Klaim produk barang dan jasa sebagai produk yang unggul, biasanya ditonjolkan lewat imbuhan “ter” atau diselipkannya kata “paling” yang sering kali justru berbanding terbalik dengan hak konsumen mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jadi, memperkenalkan produk barang atau jasa yang dikenal dengan istilah beriklan menggunakan jasa para buzzer dan influencer sangat berpotensi melanggar undang-undang konsumen.
Jika melihat sanksi yang diatur pada Pasal 60 sampai dengan Pasal 63, dari sanksi administratif sampai sanksi pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak lima milyar rupiah.
Iklan yang didengungkan untuk mempengaruhi konsumen (buzzer/influecer) dalam konteks hak mendapatkan informasi benar, kalau produknya disebut sebagai produk pemutih maka tidak boleh bertentangan dengan yang disebutkan.
Pasal 9 UUPK ayat (1) menyebutkan pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah. Hak konsumen terkait dengan informasi yang jelas dan jujur, produk yang diiklankan dari sisi konten tidak boleh bermakna ganda, tidak boleh seolah-olah, dengan produk yang tersedia. Jujur dimaksud setiap produk yang tersedia harus sesuai dengan informasi yang dicantumkan dalam kemasan, brosur maupun iklan.
Berkaitan dengan hak konsumen yang benar, jelas dan jujur jika memperkenalkannya menggunakan jasa buzzer maupun influncer sangat berkaitan erat dengan Pasal 9 sampai dengan Pasal 17 UUPK, pelaku usaha telah diwanti-wanti agar dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau secara tidak benar dan/atau seolah-olah, membuat pernyataan yang tidak benar apalagi menyesatkan, mengelabui, menawarkan harga khusus dalam waktu dan jumlah tertentu dengan maksud tidak melaksanakannya, menjanjikan pemberian hadiah tapi tidak bermaksud memberikannya, dilarang melakukan pemasaran secara paksaan. Pelanggaran atas larangan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana kurungan maupun denda yang sangat tinggi.
Menggunakan jasa buzzer maupun influencer memiliki sisi positif maupun negatif, yang terpenting dalam era digitalisasi dituntut konsumen memahami hak sekaligus menggunakan haknya membentengi diri agar tidak tersesat atas iklan yang ada.
Bagi pelaku usaha yang menggunakan jasa buzzer dan influencer untuk memperkenalkan produknya harus menjaga loyalitas konsumen dengan memberi informasi secara bertanggungjawab.
Pemerintah harus hadir sebagai regulator untuk kepentingan konsumen dan pelaku usaha dan melaksanakan fungsi pengawasan demi menciptakan perlindungan konsumen yang bertanggungjawab. (*)
Ibrahim Nainggolan, Dosen FH UMSU/ Ketua LAPK