Kali ini seorang jurnalis lokal meminta pandangan tentang pasangan Bobby Nasution dalam pilkada Kota Medan 2020. “Suku suku apa yang pas menjadi pasangannya?”, tanya jurnalis itu.
Tidak Cocok dengan Marga Nasution
Saya merasa jurnalis itu rada kurang referensi sehingga pertanyaannya menjadi terasa terlalu umum. Pilkada Kota Medan 2020 lain dari yang sudah pernah terjadi. Pasangan yang akan bertarung paling banyak hanya dua, itu pun patut diduga jika tak berhasil “digiring” menjadi satu pasangan melawan Kotak Kosong.
Karena itu pertanyaan jurnalis itu terasa terlalu egaliter untuk kondisi sekarang. Lebih sebagai gurauan belaka, maka saya pun memulai pandangan saya dengan berkata “Bobby Nasution cocok berpasangan tidak dengan figur bermarga Nasution. Maksud saya pilahan suku sudah jauh terasa kurang relevan khusus untuk kasus ini.
Polarisasi Lama
Tantangan dia (Bobby Nasution) justru adalah manakala dipersonifikasi sebagai Cebong atau Togok. Karena itu ia sangat tepat didampingi oleh tokoh berjejaring yang merepresentasikan Kampret atau Kadrun.
Maksud saya, jika polarisasi lama masih tetap berlanjut maka akan amat mengkhawatirkan bagi Bobby. Karena itu dicari saja figur kuat dari kalangan organisasi besar seperti Alwashliyah atau Muhammadiyah. Tak pula mungkin mengabaikan potensi jejaring Ikhwan Ritonga atau Aulia Rachman dari Gerindra. Orang berdua ini harus disebut.
Karena itu, pendeknya, jangan dicari lagi pasangan berdasarkan suku. Melainkan berdasarkan pemilahan politik lama (Cebong vs Kampret).
Bobby tentu bisa dibayangkan beroleh resisten yang cukup dahsyat di kalangan PDIP karena secara umum bisa saja 35 persen kader pada tataran grassroot yang diehard terhadap Akhyar Nasution akan terus berjuang bersamanya.
Pilihan Elit dan Pilihan Rakyat
Dalam Pilkada bukan tidak lazim pilihan rakyat tidak selalu identik dengan aspirasi elit partai yang membangun koalisi. Secara oligarkik partai-partai kita memutuskan para calon di Jakarta tanpa kejelian membaca peta politik di daerah. Mereka sudah sangat terbiasa dengan tradisi itu kendati hasilnya sudah sangat kerap mempermalukan elit Jakarta. Karena, misalnya, meski pun pilkada dirancang agar satu pasangan hegemonik berhadapan dengan Kotak Kosong namun tetap saja tak jarang beroleh perlawanan sebagaimana pernah terjadi di Makassar beberapa tahun lalu. Rakyat bersukacita memenangkan kotak kosong.
Komunikasi Politik
Selain itu orang-orang dekat Bobby dalam beberapa bulan ke depan sangat perlu membriefing Bobby agar lebih memiliki wawasan dan image kapasitas sehingga orang dapat diyakinkan bahwa ia maju bukan semata karena menantu Jokowi.
Pada pembicaraan tingkat awam misalnya orang yang pro Bobby sering saya dengar berucap bahwa jika Bobby yang menjadi Walikota tidak akan ada lagi kisah sedih walikota kena OTT KPK. Argumen seperti ini sangat kontraproduktif karena seolah meyakini bahwa seluruh kasus hukum yang dikenakan kepada para walikota Medan adalah kriminalisasi, tak berdasar hukum yang kuat dan jika menantu presiden yang menjadi walikota dianggap penegak hukum mana pun tak akan berani. Itu pendapat yang salah dan kontraproduktif.
Pendukung Bobby juga mungkin berfikir bahwa jika Bobby yang menjadi Walikota maka pembangunan akan pesat karena dana dari pusat akan besar-besaran dikucurkan dari pusat.
Pendapat ini juga sesat karena APBN yang dikucurkan melalui transfer daerah, hibah dan apa pun namanya ditentukan dengan kriteria tertentu misalnya dengan mempertimbangkan kondisi daerah dengan menyertakan variable keluasan wilayah, kemandirian keuangan, jumlah penduduk, persentase kemiskinan dan lain-lain.
APBN itu adalah uang yang diakumulasi dari berbagai sumber termasuk daerah untuk didistribusikan secara adil. Daerah lain akan tersinggung dan marah jika didiskriminasi.
Menurut saya orang-orang terdekat Bobby harus mendisain komunikasi politik yang substantif dan memperbaiki kesalahan-kesalahan para pendukung yang kontraproduktif itu.
Minim Pengalaman
Semua tahu bahwa Bobby minim pengalaman. Karena itu idealnya ia harus didamping oleh orang berpengalaman. Tetapi orang berpengalaman tidak selalu memiliki popolarity dan elektability yang mendukung.
Jika ia mampu memenangkan pillada, dilema ini harus disiasati dengan kebijakan political pointy yang menempatkan orang tangguh, cerdas dan berintegritas untuk mengisi OPD. Kelak merit system wajib diutamakan.
Siapa pun walikota Medan ke depan wajib mempelajari sejarah kota Medan, renstra, capaian periode-periode sebelumnya, kendala-kendala politis, kultural dan demografis.
Dalam banyak hal Medan mirip dengan Jakarta. Banjirnya sukar diselesaikan. Rakyat miskin banyak menghuni pemukiman-pemukiman kumuh. Para elit ekonomi dan politiknya kerap terjebak dalam kolaborasi yang memusuhi lingkungan, disain tata kota, dan meruntuhkan warisan sejarah yang mestinya dijadikan cagar budaya.
Membangun kota memerlukan pembiayaan. Investor atau dunia usaha pun selalu rasional. Jangan dikira mereka tak membaca prospek dengan berhitung cermat berdasarkan data-data valid. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU