Terhadap majunya Bobby menantunya Jokowi di Pilkada Kota Medan saya lebih tertarik untuk mengamati dari sisi “pemikiran strategis” dari pada mencermatinya dari sisi “politik praktis”.
Kenapa?. Ya, karena kalau sudah masuk ke wilayah politik praktis selalu saja ada “pembenaran”! Selalu saja ada “pemakluman”!.
Jika ditinjau dari sudut pandang politik praktis maka pencalonan Bobby tidak melanggar regulasi apapun, baik secara regulasi internal kepartaian, maupun regulasi negara, semuanya sah dan legal!
Tetapi, jika dilihat dari sudut pandang strategis, setidaknya ada 2 (dua) hal yang sangat menyakitkan atas negeri ini:
Pertama. Betapa tidak berdayanya rakyat Indonesia. Adalah salah besar ngomongin pencalonan Bobby hanya dengan melihat sosok Bobby, Pak Jokowi dan PDIP.
Melainkan ada Cukong Penyandang Dana dan Kelompok Oligarki yang telah mengacak-acak Kehidupan Demokrasi di Indonesia.
Ya betul, pemilik kapital, dialah sesungguhnya penguasa negeri ini, sementara rakyat tidak berdaya dan tidak berdaulat atas negerinya sendiri.
Tanya: “Lho, rakyat berdaulat ‘dong, Mereka masih bisa memutuskan memilih atau tidak!”
Jawab : “Gimana bisa dikatakan berdaulat, jika pilihan yang disodorkan (dengan atas nama regulasi) hanya itu?”
Dengan mengambil studi kasus Boby di Kota Medan, coba saja tidak ada ketentuan treshhold. Coba saja PDIP konsisten dengan kredo-nya sebagai Partai Kader (yang lebih memberi kesempatan kepada kader yang sudah menjalani proses berjenjang sebagai Kader), coba saja tidak ada cukong penyandang dana dan entitas oligarki yang “ngombyongi” Bobby.
Maka tentu saja akan menghasilkan Opsi yang lebih baik untuk warga Medan.
Kedua. Kebohongan dan kedustaan sudah menjadi hal lazim dan tanpa punya malu terus dipertontonkan. Mau dibilang “secara langsung ataupun tidak langsung”, Si Bapak jelas-jelas meng-endorse dan jelas-jelas telah turun tangan dengan memprioritaskan Bobby diusung PDIP dari pada Akhyar yang kader murni dan militan PDIP serta mendapat dukungan dari parpol lain di luar parpolnya yakni PKS dan PD sebagai kenderaan Politiknya menuju Pilwakot Kota Medan. Ini jelas-jelas sudah kecenderungan “abuse of power”! Tanpa rakyat bisa berbuat apa-apa (dalam konteks ini adalah Rakyat Medan)
Maka dari itu, selalu saya katakan bahwa perjuangan untuk “Indonesia Lebih Baik” itu membutuhkan proses panjang dan spartan.
Jangan terlalu berharap lebih (over ekspektasi) akan ada perubahan mendasar pada perpolitikan nasional kepada elit-elit politik yang sekarang. Apalagi ketika masyarakat masih mudah goyah oleh kaos dan uang “cepek” saat jelang hari H Pilwakot.
Menyiapkan generasi “Khoiru Ummah” buat masa depan, itulah yang harus diupayakan. (*)
Ariadi Adi Msi, Pemerhati Politik dan Kehidupan Bangsa