Saya termasuk orang yang lebih suka menggunakan kaca mata teologis untuk membahas segala permasalahan yang terjadi di dunia saat ini. Meskipun para pakar dan intelektual lainnya juga banyak yang bermain di area geopolitik geostrategi menggunakan kaca mata perebutan sumber daya dan kepentingan ekonomi sebagai pangkal dari segala konflik terjadi.
Arahnya sebenarnya hampir sama, cuma saya berpikiran, prinsip dan konsepsi teologis seseorang akan menjadi navigasi dan motivasi kehidupannya.
Seorang konservatif dan agamis, akan menjadikan nilai normatif agama sebagai “guidance” yang akan merangsang dan memotivasi gerak kehidupannya, yaitu orientasi kehidupan dunia untuk bekal kehidupan akhirat.
Bagi orang yang berpikiran liberal, komunisme, ateisme yang memisahkan kehidupan agama jauh dari kehidupannya maka jadilah prinsip kehidupan matrealistis, hedonisme, dan kapitalisme menjadi navigasi kehidupannya. Maka jadilah mereka orang-orang yang “economic oriented” dimana dunia adalah puncak dan syurga kehidupannya.
Dua kubu ini yang sejatinya saling bersiteru, saling berebut pengaruh dan ingin saling mengungguli. Cuma anehnya, kadang kala ada juga secara personality pengikut masing kubu ini tak sadar bahwasanya mereka adalah bahagian dari konflik pertarungan teologis itu.
Malah ada yang mengaku agamis, tetapi secara pikiran dan orientasi sejatinya telah bermetamorfosa menjadi liberalis atau oppurtunis. Yaitu mereka yang “berkedok agama” tapi motivasi dan navigasinya adalah untuk oppurtunity pribadi dan kelompok saja.
Biasanya kelompok ini adalah para tokoh, aktifis, pejabat hasil pengkaderan cuci otak sistematis kubu liberalis dalam menghadapi kubu konservatif agamis.
Memang tidak bisa di nafikan bahwasanya ada faktor perebutan sumber daya dan ekonomi dalam setiap konflik di dunia saat ini. Tetapi akar teologis dan ideologis suatu negara akan mempengaruhi corak ekspansi dan motivasi masing negara itu. Karena geopolitik dan geostrategi sebuah negara tergantung basis teologis penguasanya. Negara kapitalis maka akan jadilah mereka negara agresor dan kolonialis. Negara berbasis agama, maka jadilah mereka negara konservatif yang kekeh untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh ideologisnya terhadap dunia.
Didalam era “the new world order” yang sedang berjalan saat ini pasca perang dunia kedua, dua corak teologis ini kadang bercampur aduk mengikuti ritme arus konsepsi “nation state” yang membagi dunia kedalam sekat negara bangsa. Termasuk Indonesia
Cuama para pakar dan ilmuwan sudah memprediksikan kedepan akan terbentuk dua kelompok (kubu) baru yang terdiri dari kubu “religion state” dan “coorporate state”. Karena di prediksi kedepan sekat teritorial negara bangsa ini akan runtuh akibat pengaruh digitalisasi komunikasi tanpa batas dunia informasi teknologi hari ini.
Artinya kalau kita simpulkan, terminologi “religion state” vs “coorporate state” sama juga dengan pengelompokan kubu konservatif versus Liberal.
Ujung-ujungnya kalau kita simpulkan, akan kembali sama dengan pertarungan antara “Haq” dengan yang “Batil”. Dimana konflik ini pun sudah ada sejak zaman para Nabi. Toh ujungnya tetap perebutan pengaruh ideologi, agama, perebutan kekuasaan, sumber daya, dan pengikut.
Konflik China Vs Amerika juga tak lepas dari bahagian dari itu. Cuma bedanya saat ini, muncul raksasa baru bernama Turki yang merepresentasikan kebangkitan Islam yang secara sejarah dunia juga pernah memimpin dunia selama 1333 tahun lamanya.
Dibukanya kembali mesjid Hagia Sofia menjadikan tonggak awal kebangkitan dunia Islam era “the new world order” pasca perang dunia ke dua. Kejadian ini menjadi perhatian dan mengguncang dunia khususnya barat karena Hagia Sofia akan mengingatkan kembali momentum yang sangat monumental sejarah dunia bagaimana Islam berhasil menaklukan eropah pada tahun 1453 di bawah pimpinan Sulthan Mehmed II atau di kenal Muhammad Al Fatih.
Sakralnya lagi, kejatuhan kontantinopel yang ketika itu adalah imperium paling perkasa di dunia sudah di katakan oleh Nabi Muhammad 600 tahun sebelumnya. Dan tentu saja, momentum ini bisa kembali mengembalikan motivasi, inspirasi, ummat Islam se-dunia. Dimana hal inilah yang paling di takutkan barat.
Tampilnya Turkey sebagai raksasa dunia tepat disaat dunia sebahagian lumpuh. Yang secara de facto memperlihatkan mana negara yang tangguh dan mana yang rapuh.
Amerika sebagai super power dunia, memperlihatkan otot negara adi dayanya dengan menggelar kapal induknya di kawasan Asia Pasifik dalam menekan China. China juga menggelar pasukannya di perbatasan India dan pesisir pantai menghadap pasifik.
Semua itu memperlihatkan bagaiamana negara mereka show of force di saat negara lain sedang “merintih” memghadapi badai covid19, tapi para negara raksasa tersebut tetap jumawa mempertontonkan kekuatannya.
Apakah China, Amerika, dan Turkey punya kepentingan basis theologis yang bermuara konflik? Tentu juga dong guys.
China sebagai negara komunis tulen, punya kepentingan untuk memperluas pengaruh, mendapatkan banyak pengikut dan menjadi penguasa baru dunia. Strategi “obligation trap” melalui program BRI dan OBOR adalah implentasi taktisnya. Hasilnya? Sudah banyak negara di dunia yang berhasil China kuasai termasuk Indonesia.
Amerika sebagai symbol imperium barat, tentu juga tetap ingin menjadi penguasa tunggal dunia setelah menang perang dunia ke dua dan menghancurkan Uni Soviet.
Lalu Turki, sebagai symbol Islam sebagai kubu theologis. Sudah mulai berani menampak kan taring kebangkitannya untuk kembali membangun kejayaan masa lalu kekhalifahan Ottoman yang pernah menguasai 1/3 bumi selama 500 tahun.
Nah kalau kita simpulkan lagi, China sebagai kesatuan ras mongolia, Amerika sebagai representasi imperium Romawi, dan Turki sebagai imperium kekhalifahan Utsmani, semuanya adalah “ranji” para pemimpin dunia di eranya, kita kerucutkan lagi, tetap semuanya kembali kepada pertarungan antara friksi teologis juga. Betul bukan?
Hal inilah yang perlu kita pahami sebagai masyarakat Indonesia saat ini. Sudah betul dan tepat Pancasila oleh para funding father kita di jadikan falsafah negara dan KeTuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara.
Karena secara akar budaya dan teologis, nusantara ini adalah terdiri dari kumpulan kerajaan nusantara. Dimana hampir semua kerajaan tersebut menganut prinsip “negara kertagama”. Yaitu negara atau kerajaan yang menganut ajaran agama mayoritas rakyatnya sebagai agama negara. Apakah itu Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Melayu, Samudera Pasai, Demak, dan Ternate-Tidore.
Lalu selanjutnya dengan sadar kita semua karena satu nasib di jajah Belanda, bersepakat membentuk negara bernama Indonesia. Dan sebagai penganut agama mayoritas ummat Islam sudah mau mengalah dan menjadikan Pancasila sebagai bentuk ijtihad keberagaman nusantara.
Namun sayang, saat ini tiba-tiba muncul lagi dengan “pongah” dan sewenang-wenang sekelompok golongan politik ingin merubah Pancasila menjadi Eka Sila yang ujung ujungnya agenda komunisme bermain di belakangnya. Wajar rakyat dan ummat Islam marah dan siap perang angkat senjata kalau Pancasila di ganti.
Parahnya lagi, kerusakan dan kehancuran yang terjadi saat ini terhadap negara, di alihkan seolah yang menjadi biang keroknya adalah narasi radikalisme, terorisme dan khilafah. Ini semua pola dan khas kerja gaya komunis (neo-PKI).
Dimana narasi ini adalah seharusnya narasi basi dan tidak laku lagi setelah Hillary Clinton membongkar bahwa terosisme seperti ISIS adalah bahagian proyek inteligen mereka. Apalagi di Indonesia. Rakyat sudah tahu semua.
Artinya, untuk konteks Indonesia sedang terjadi kesewenang-wenangan yang di lakukan rezim kepada kelompok agamis di Indonesia. Siapa di belakangnya? Siapa lagi kalau bukan para user globalis komunis dan kapitalis, yang tidak ingin Indonesia bangkit berdasarkan nilai Islam seperti Turki saat ini. Karena Indonesia itu adalah masa depan dunia. Apa yang menjadi sumber krisis dan kebutuhan masa depan dunia seperti ; air, energi, pangan, dan mineral semua ada melimpah di Indonesia.
Jadi wajar, saat ini terjadi di Indonesia upaya bumi hangus terbadap ajaran Islam agar hilang dari bumi nusantara. Caranya adalah dengan menjadikan Indonesia menjadi negara dengan paham komunis dan upaya ini sudah terjadi berulang kali di Indonesia ditahun 1948 dan pada tahun 1965 namun gagal. Hal ini yang berbahaya sebenarnya karena sejatinya saat ini ummat Islam sudah tenang dan menerima Pancasila. Tapi gara-gara kelakuan rezim yang boleh di katakan suka ngacak-ngacak kehidupan beragama ummat Islam, akhirnya stigma yang terbentuk dalam pikiran ummat Islam adalah rezim hari ini anti Islam dan terpapar komunisme alias Islamphobia.
Fakta upaya mengganti Pancasila semakin menambah bukti bahwa Indonesia sedang darurat ideologis. Kelompok pengkhianat Pancasila ini tidak sadar bahwa tindakan mereka bisa memancing perang saudara dan kemarahan besar ummat Islam. Karena selama ini jadi korban di tuduh dan di fitnah anti Pancasila. Ternyata mereka yang teriak “saya pancasila” itulah PKI perjuangan sebenarnya. Para antek komunis pengkhianat Pancasila.
Dan kelompok pengkhianat Pancasila ini juga tidak sadar, bahwa tindakan mereka juga justru akan memberikan inspirasi revolusioner kebangkitan Islam di Indonesia seperti Turki. Karena, tekanan dan kesewenang-wenangan berlebihan yang di lakukan rezim terhadap ummat Islam yang mayoritas akan berbahaya dan dahsyat aksi perlawanan baliknya. Hati-hati.
Seharusnya rezim ini buat nyaman, tenang ummat Islam hidup dan beribadah, bukan malah “gatal” mengobok-ngobok dan menyakiti hati ummat Islam Indonesia.
Nah kalau kita simpulkan lagi, ujungnya tetap kembali kepada konflik ideologis teologis. Bagaimana kubu komunis atau liberalis ingin menghancurkan kubu agamis Islam di Indonesia. Dimana kubu neo komunis yang tak hentinya berkolaborasi dengan kelompok sekuler liberalis, syiah, non muslim radikal di tambah kelompok munafik oppurtunis berjubah agama. Bagi saya sebagai muslim, lebih tepatnya adalah pertarungan antara yang HAQ Vs BATIL yang merupakan sunatullah sirkulasinya seperti itu. Sejak zaman para Nabi. Siapa yang menang?
Disitulah hak preogratif Allah SWT dan secara konsepsi ajaran Islam, manusia itu hanya berusaha dan bersikap mau berada di pihak mana. Hasilnya Allah yang menentukan, kita sebagai Khalifah dimuka bumi Allah ini harus
bersikap, berpihak dan bertindak sebagai bentuk pertanggung jawaban kita di akhirat kelak. Wallahu’alam. (*)
Batam, 26 Juli 2020
Anton Permana, Alumni Lemhanas RI PPRA LVIII Tahun 2018