• Profil
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kirim Tulisan
  • Pasang Iklan
Rabu, Mei 14, 2025
TAJDID.ID
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
        • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
        • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
tajdid.id
No Result
View All Result

Tabiat Justifikasi dan Stigmatisasi Rezim Paranoid

M. Risfan Sihaloho by M. Risfan Sihaloho
2020/07/26
in Opini, Tilikan
0
Tabiat Justifikasi dan Stigmatisasi Rezim Paranoid

Ilustrasi stigmatisasi. (foto: tribune news)

Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

Sidney Sheldon dalam salah satu novel best-sellernya “Sands of Time” (1988) mengatakan, bahwa perbedaan antara pemberontak dan seorang patriot tergantung pada siapa yang berkuasa saat ini.

Apa yang katakan penulis AS di atas boleh jadi ada benarnya dan tidak berlebihan. Penguasa dengan segenap hegemoni kekuasaan yang dimilikinya memang berpotensi dan bertendensi untuk merekayasa, menentukan dan mengendalikan sebuah versi “kebenaran” sesuai selera dan kepentingannya. Hal itu sangat mungkin dilakukannya, baik secara persuasif mapun secara kursif.

Secara empiris, setidaknya ada dua upaya hegemonik yang lazim dilakukan secara berbarengan oleh rezim penguasa yang paranoid untuk mengamankan dan mengukuhkan eksistensinya, yakni lewat cara “justifikasi” dan “stigmatisasi”.

Justifikasi
Terkait hal ini, ada sebuah sebuah adagium yang pernah dilontarkan Ilmuan besar dunia Albert Einstain; “bahwa mencari kebenaran itu lebih bernilai dibandingkan menguasainya”.

Bagi dunia filsafat dan ilmu pengetahuan boleh jadi prinsip itu sangat relevan, namun tidak untuk politik dan kekuasaan. Justru dalam politik dan kekuasaan ikhtiar mencari kebenaran bukanlah suatu yang penting dan sama sekali bukan menjadi tujuan. Justru yang paling perlu dalam politik dan kekuasaan itu adalah bagaimana menguasai kebenaran. Karena dengan menguasai kebenaran, tentunya akan memudahkan mereka untuk memenangkan kepentingannya.

Dan biasanya, pihak yang paling potensial untuk menguasai kebenaran adalah mereka yang sedang memegang kekuasaan. Semakin besar kekuasaan yang digenggam, maka semakin besar peluang memenangkan pertarungan untuk menguasai kebenaran.

Maka untuk mengamankan kepentingannya, di satu sisi rezim penguasa akan aktif merancang dan melancarkan propaganda justifikasi dengan menggunakan narasi besar kepentingan bangsa dan negara sebagai bingkainya. Dalam konteks politik dan kekuasaan, makna menguasai kebenaran adalah bagaimana penguasa menggunakan segenap kekuasaan yang dimilikinya secara optimal untuk selalu merasionalisasi dan menjustifikasi setiap perilaku dan kebijakan yang dikeluarkannya.

Di era Orde Baru (Orba), bangsa ini pernah mengalami masa dimana telah terjadi monopoli kebenaran oleh rezim penguasa yang otoriter. Pada zaman itu, atas nama negara penguasa selalu tampil sebagai pembuat sekaligus penafsir tunggal kebenaran politik untuk mengamankan status-quo kekuasaannya.

Dalam segala hal pihak penguasa selalu memaksakan semua yang dilakukannya harus dianggap dan diamini sebagai sesuatu kebenaran yang tidak pernah salah. Dan jika ada pihak-pihak yang berupaya menginterupsi atau mengoreksinya, maka itu akan dianggap sebagai tindakan subversif yang kemudian pantas untuk dibungkam secara represif. Terbukti, tidak sedikit tokoh, kelompok dan media massa yang mencoba nekat menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran pemerintah telah menjadi korban kelaliman penguasa pada waktu itu.

Namun setelah rezim Orba runtuh dan bangsa ini memasuki era reformasi, kondisi pun berubah drastis. Kehadiran gerakan reformasi sebagai antitesa dari Orba telah membawa angin perubahan yang cukup radikal bagi bangsa ini. Salah satu implikasi yang paling menonjol dari kehadiran gerakan reformasi adalah terbukanya kran kebebasan ditengah-tengan kehidupan bernegara, termasuk dalam sektor kehidupan politik.

Tak ayal, eforia pun melanda sebagian besar anak bangsa menyambut era kebebasan tersebut. Tiba-tiba siapapun tidak tabu lagi untuk bersuara memuntahkan aspirasinya. Begitu juga terkait kebenaran politik, negara bukan lagi jadi satu-satunya penguasa tunggal kebenaran politik yang dominan. Setiap orang atau kelompok kepentingan bebas memiliki klaim kebenaran politik masing-masing.

Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun determinasi negara terhadap kebenaran politik sudah berkurang sedemikian rupa, sesungguhnya bukan berarti syahwat penguasa untuk menguasai kebenaran politik mengalami stagnasi.

Seperti yang terlihat belakangan ini, sebenarnya gelagat hasrat pihak penguasa untuk menguasai kebenaran politik masih cukup besar. Namun masalahnya, rezim penguasa di zaman reformasi tidak menguasai kebenaran politik dengan cara kursif seperti yang dipraktikkan oleh rezim penguasa orba. Oleh karenanya pilihan yang paling efektif diambil penguasa adalah dengan cara memaksimalkan hegemoni kekuasaan yang dimilikinya.

Dalam konteks hegemoni, pihak penguasa dengan segenap instrumen kekuasaannya dituntut mampu lebih moderat untuk “memaksakan” versi kebenaran politiknya. Salah satu modus pembenaran politik yang populer dilakukan oleh rezim penguasa adalah lewat “pencitraan”, dan inilah yang kerap dipraktikkan rezim penguasa hari ini. Dengan pecitraan yang dirancang sedemikian rupa dan dipublikasikan secara massif, penguasa berharap apa yang dilakukannya akan selalu mendapat “pembenaran” dan didukung oleh rakyat.

Lihatlah, betapa rezim penguasa hari ini begitu arogannya ingin memonopoli kebenaran. Mereka menganggap paling benar, tak pernah salah dan tak mau disalahkan.

Parahnya lagi kebenaran yang mereka klaim justru kebanyakan bertolak belakang dengan akal sehat dan nalar waras rakyat. Tapi mereka tak pedulikan semua itu. Malah, dengan didukung jaringan media arus utama (mainstream) yang sudah mereka kuasai, klaim kebenaran itu tetap ingin mereka paksakan sebagai sesuatu yang akan memberi kemaslahatan bagi rakyat.

Oleh rezim penguasa, fakta sudah diputarbalikkan menjadi kebohongan, dan kebohongan diputar menjadi kebenaran. Bahkan akal sehat juga sering dijungkirbalikkan. Ini merupakan salahsatu bentuk propaganda politik, di mana kebohongan yang diubah sedikit menjadi kebenaran. Dan anehnya, bila ada yang mengkritik kebijakan penguasa langsung dicap sebagai fitnah, ghibah, tidak move-on dan sebagainya.

Stigmatisasi
Tidak cukup dengan upaya justifikasi, maka kemudian di sisi lain rezim penguasa juga menganggap penting melancarkan agenda stigmatisasi terhadap lawan-lawan politiknya.

Menurut Erving Goffman, stigmatisasi adalah penamaan yang sangat negatif kepada seseorang atau kelompok tertentu sehingga mampu mengubah secara radikal konsep diri dan identitas sosial mereka. Adanya stigma akan membuat seseorang atau sebuah kelompok jadi negatif, sehingga kemudian imbasnya membuat mereka jadi tersudutkan dan tersisihkan.

Sejak republik ini merdeka, sebenarnya setiap rezim penguasa sudah akrab dengan prilaku stigmatisasi. Namun praktik stigmatisasi yang cukup parah terjadi ketika rezim otoriter Orba berkuasa di negara ini. Tentunya masih segar dalam ingatan kita bagaimana rezim Orba begitu vulgarnya mempraktikkan politik stigmatisasi untuk menghancurkan dan melumpuhkan pihak-pihak yang dianggap mengusik status-quonya. Siapapun yang nekat berseberangan dengan pihak penguasa, maka sudah pasti akan dicap sebagai “pengganggu ketertiban dan keamanan”, subversif, komunis, anti Pancasila dan sebagainya.

Belakangan ini, tabiat stigmatisasi yang dilakukan penguasa juga marak terjadi. Lihatlah, sejumlah istilah yang berkonotasi negatif seperti anti demokrasi, anti kemajemukan, anti NKRI, intololeran, teroris dan sebagainya, sengaja dimunculkan untuk menyudutkan mereka yang kebetulan berseberangan dengan pihak penguasa.

Dan anehnya lagi , pihak penguasa pun cenderung melulu berpihak kepada kelompok-kelompok yang berada dalam barisan mereka, tak perduli apakah kelompok-kelompok tersebut selama ini jelas-jelas sangat kontroversial di mata publik.

Bagi mereka yang berada di luar lingkar kekuasaan -terlibih jika memposisikan diri sebagai oposisi – maka sangat rentan untuk dituding sebagai pecundang, pembangkang, teroris dan pembuat kekacauan.

Siapapun yang hari ini memilih jadi oposan, maka siap-siaplah dicap anti kebhinekaan, pemuja sara, produsen sekaligus penikmat berita hoaks, penganut ideologi tertutup, komunis-phobia, anti NKRI, bahkan musuh Pancasila. Lucunya, stigmatisasi rezim penguasa itu justru sering dilakukan atas dasar generalisasi yang jauh dari nilai-nilai objektif dan cenderung beraroma pretensius.

Akan tetapi, mereka yang lagi berada dalam lingkar kekuasaan kiranya bolehlah bangga dan jumawa, karena dipastikan luput dari stigmatisasi dan cenderung akan mendapat perlakuan istemewa (privilege), jaminan proteksi dari tangan sakti penguasa.

Bahkan, dalam kasus tertentu, bukan hal yang musykil bagi penguasa untuk tetap ngotot mendapuk seseorang yang oleh khalayak ramai sudah dianggap sebagai “iblis” menjadi sosok mulia seperti “malaikat”. Sudah pasti mereka tak mungkin jadi sasaran stigmatisasi negatif penguasa. Justru lewat trik justifikasi keberadaan mereka akan terus disublimasi oleh rezim penguasa yang mereka dukung.

Penutup
Begitulah. Selama rezim penguasa masih gemar melakukan justifikasi, maka yakinlah sulit untuk menciptakan perubahan yang berarti bagi republik ini. Karena sejatinya kekuasan harus selalu dijalankan dengan etos kejujuran dan ketulusan dalam rangka memperjuangkan kemaslahatan bersama (bonum commune), bukan dengan aneka pencitraan.

Begitu juga perlu disadari, bahwa tidak selamanya stigmatisasi negatif yang diberikan rezim penguasa adalah sesuatu yang hina. Sejarah mencatat hal itu sesuatu lumrah. Misalnya, bukankah dulu para pahlawan bangsa ini juga dicap sebagai ekstrimis oleh kolonialis yang berkuasa waktu itu? Karenanya, boleh saja sekarang dituding sebagai pemberontak, namun di lain waktu bukan tidak mungkin justru kelak akan dianggap sebagai patriot. (*)


Penulis adalah Pemred TAJDID.ID

Tags: JustifikasiRezim ParanoidStigmatisasi
Previous Post

Kebangkitan Etnis Angkola dalam Pilkada Tapsel 2020

Next Post

Fenomena Bobby dan Bahayanya Politik Dinasti

Related Posts

No Content Available
Next Post

Fenomena Bobby dan Bahayanya Politik Dinasti

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TERDEPAN

  • Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    50 shares
    Share 20 Tweet 13
  • Said Didu Ingin Belajar kepada Risma Bagaimana Cara Melapor ke Polisi Biar Cepat Ditindaklanjuti

    42 shares
    Share 17 Tweet 11
  • Din Syamsuddin: Kita Sedang Berhadapan dengan Kemungkaran yang Terorganisir

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
  • Putuskan Sendiri Pembatalan Haji 2020, DPR Sebut Menag Tidak Tahu Undang-undang

    36 shares
    Share 14 Tweet 9
  • Kisah Dokter Ali Mohamed Zaki, Dipecat Usai Temukan Virus Corona

    36 shares
    Share 14 Tweet 9

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Anjungan

  • Profil
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kirim Tulisan
  • Pasang Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In