Program Organisasi Penggerak (POP) yang diluncurkan pada 10 Maret 2020 bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah di bidang literasi dan numerasi, yang direncanakan berlangsung sejak tahun 2020 sampai dengan tahun 2022. Program ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bernomor 32 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Pemerintah di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Awalnya program ini sangat disambut baik oleh berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat yang memiliki dan konsern dibidang pendidikan, yaitu Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Sebagai dua ormas besar di Indonesia yang mengelola pendidikan berupa Pesantren dan sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi diberbagai daerah di Indonesia.
Anehnya program yang dianggarkan menghabiskan biaya sebesar Rp. 559 miliar dengan target akan menyentuh sebanyak 50 ribu guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan di lima ribu sekolah jenjang pendidikan pendidikan anak usia dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), dan sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak dikelola secara serius.
Lihat saja Lembaga Pendidikan Maarif NU sebagai lembaga yang mengurusi pendidikan di Nahdatul Ulama dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah sama-sama menyatakan menarik diri dari program ini, dengan alasan yang hampir sama Lembaga pendidikan Maarif NU baru diminta mengajukan proposal dua hari menjelang seleksi proposal ditutup. Waktu yang sangat singkat dengan persyaratan yang rumit Lembaga pendidikan Maarif NU sudah tidak berniat ikut namun tetap dibujuk dengan persyaratan menyusul dan pada akhirnya proposalnya ditolak.
Demikian halnya dengan Muhammadiyah melalui Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah juga menolak ikut dalam program ini karena tidak jelasnya standar yang digunakan untuk menilai organisasi masyarakat yang lolos penilaian proposal sebagai penerima bantuan.
Mundurnya dua organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah tentu menjadi tanda tanya tersendiri, karena tidak dapat disangkal NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat yang banyak memiliki dan pengelola sekolah justru tidak lolos dalam seleksi proposal. Adakah sumber daya NU dan Muhammadiyah tidak ada yang bisa menyusun proposal sesuai standar yang dipersyaratkan atau justru memang sejak awal NU dan Muhammadiyah memang tidak dihitung sebagai penerima.
Sorotan publik sedang mengarah pada dua lembaga besar yang berasal dari privat sektor yakni Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation, yang dinyatakan lolos sebagai penerima bantuan dari pemerintah dengan kategori Gajah itu sama artinya sebagai penerima bantuan sebesar Rp. 20 miliar per tahun. Lalu bagaimana nasib sekolah-sekolah yang berada dipelosok maupun sekolah yang ada diperkotaan namun belum mendapatkan perhatian dari pemerintah, keadaan ini dapat semakin memperlebar jarak ketimpangan ketersediaan sumber daya manusia.
Sampoerna Foundation tentu tidak bisa dipisahkan dengan rokok, setiap iklannya selalu mendapat tempat dihati penonntonnya baik perokok aktif maupun perokok pasif. Sebahagian pihak mungkin saja akan berkata tidak ada yang salah dengan Sampoerna Foundation lolos sebagai penerima bantuan POP sepanjang memenuhi persyaratan dan mengikuti seluruh tahapan proses yang telah dibuat.
Sepintas pernyataan ini seakan tidak ada mengandung masalah, namun jika direnungkan lebih dalam kesadaran publik sedang di “bius” karena adanya praktik kampanye rokok secara terselubung langsung. Sampoerna Foundation yang dinyatakan lolos sebagai penerima bantuan akan mengelola program ini, artinya akan dengan mudah seluruh atribut baik spanduk, simbol, souvenir baliho dan media promosi lainnya yang menggunakan kata sampoerna, maka dengan mudah orang berkata rokok.
Sadar atau tidak logika atau opini masyarakat akan digiring pada kesimpulan rokok baik dan tidak dilarang, buktinya ikon perusahaan rokok ikut mengelola program pendidikan. Jika kesadaran seperti ini yang terbangun dalam pikiran semua orang terutama dunia pendidikan yang isinya mayoritas masih kategori anak, layak dipertimbangkan yang dikemukakan oleh koordinator Komunikasi dan Advokasi Pengendalian Tembakau Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Iman Mahaputra Zein.
Ia mengatakan; “iklan rokok memang tidak menampilkan produk, tetapi citra yang dekat pada jati diri anak muda, seperti musik, olahraga dan aktivitas lainnya membuat rokok semakin sulit dikendalikan pecandunya”.
Lebih lanjut Iman menyatakan industri rokok juga dianggap telah berbuat baik melalui beasiswa dan sponsor-sponsor acara, sempurnalah rokok melalui iklannya masuk ke ruang-ruang pribadi setiap orang tanpa disadari.
Berdasarkan ketentuan UU No. 39 Tahun 2007 sebagai perubahan dari UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai, rokok merupakan barang legal namun tidak normal sehingga peredarannya perlu diawasi karena pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 13 menegaskan pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif termasuk konsumsi tembakau diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Bahkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2018 yang dikeluarkan Menteri Kesehatan menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja umur 10-18 tahun dari 7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen di tahun 2018, hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya paparan iklan rokok.
Mungkin saja selama ini kita tidak menyadari betapa iklan rokok telah menyelinap melalui event olah raga, beasiswa pendidikan, kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial lainnya sehingga kesadaran kita tumpul tentang bahaya rokok. Bukti seriusnya bahaya rokok sehingga iklannya harus diatur ekstra ketat yakni melalui Permenkes No 28 Tahun 2013 yang membatasi iklan, promosi, dan sponsorsip rokok. Makanya ditelevisi kita hanya bisa melihat iklan rokok dari jam 21.30 sampai dengan jam 05.00 pagi hal tersebut untuk menghindari anak-anak terpapar dari iklan rokok.
Pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk benar-benar selektif sekaligus taat guna dalam menyalurkan bantuan Program Organisasi Penggerak (POP), agar tidak jadi pertentangan antara menjaga masyarakat dari bahaya rokok dan larangan iklan rokok dengan adanya pembiaran iklan secara tersembunyi. Tidak sepatutnya ruang-ruang pendidikan dimasuki oleh simbol-simbol rokok yang akan semakin mempersulit pemerintah menjaga kesehatan masyarakat dari bahaya merokok.
Aturan yang ketat terkait peredaran rokok dan pembatasan iklan rokok penelitian tidak menunjukkan hasil yang konsisten, bahkan jumlah perokok bukan berkurang justru terus bertambah, konsumennya juga sudah menjangkau anak-anak. Hal tersebut tidak terlepas dari iklan rokok yang diproduksi sangat menarik, kekinian dan kesempatan yang luas bagi industri rokok bermetamorfosis dalam setiap kegiatan yang mendapatkan tempat istimewa disetiap perhelatan masyarakat.
Kebaikan yang ditaburkan oleh industri rokok tentu berkorelasi dengan penjualan rokok yang semakin hari semakin tinggi, tapi disisi lain tingkat gangguan kesehatan masyarakat akibat rokok semakin meningkat dan tentu akan memperberat keuangan negara untuk pemulihan dampak negatif dari rokok. (*)
Ibrahim Nainggolan, Ketua Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK)