TAJDID.ID-Medan || Presiden Joko Widodo marah besar kepada para menterinya dalam rapat paripurna di Istana Negara pada Kamis (18/6/2020) lalu. Peristiwa ini baru diketahui sepuluh hari kemudian melalui video yang diunggah pada kanal youtube Sekretariat Presiden. Video tersebut berjudul “Arahan Tegas Presiden Jokowi pada Sidang Kabinet Paripurna, Istana Negara, 18 Juni 2020.”
Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menilai, amarah Presiden kepada menterinya tersebut merupakan cerminan dari runyamnya dapur Presiden.
Dijelaskannya, menteri merupakan pembantu Presiden dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan dalam konstitusi yang mengatur pembentukan kementerian negara, memberikan kewenangan kepada presiden untuk membentuk kabinet menteri. Presiden mempunyai hak prerogatif dalam menyusun kabinet menterinya.
Dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dinyatakan dalam Pasal 3 bahwa Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
“Oleh sebab itu, yang bertanggung jawab kepada publik terhadap keberhasilan pelaksanaan pemerintahan yang menjadi urusan menteri adalah Presiden,” sebut Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumut ini.
Secara konseptual, kata Abdul Hakim, menteri dalam sistem presidensial adalah sepenuhnya pembantu presiden, artinya menteri dalam kabinet merupakan perpanjangan tangan presiden yang melaksanakan sepenuhnya kebijakan yang telah digariskan oleh presiden.
“Tidak boleh ada campur tangan partai dalam penentuan garis-garis kebijakan dari presiden kepada menterinya, itu yang seharusnya, bagaimana realita?” tegasnya.
Mengingat bahwa dalam sistem presidensial, maka program eksekutif sepenuhnya berpatokan kepada kontrak sosial antara Presiden dengan rakyat. Oleh karena itu, hanya dikenal visi misi Presiden bukan visi misi menteri. Menteri hanya membantu Presiden mewujudkan visi misinya. Tidak dikenal kegagalan menteri, namun resiko hukum nampaknya lebih ditakuti oleh para menteri apalagi Perpres yang menjadi payung extra ordinary dalam menyalurkan anggaran penanggulangan covid melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi UU itu cukup rawan untuk dibatalkan oleh MK. Sehingga Perpres maupun Kepres harusnya jauh hari sudah diterbitkan Presiden agar pembantunya dapat menyesuaikan dengan situasi extra ordinary.
“Nampaknya hingga kini hal itu juga belum keluar, pertanyaannya pembantu mana yang berani ambil risiko karena regulasi juklak dan juknis kebijakan itu hemat saya masih menggunakan cara normal/biasa ditambah panjangnya mata rantai birokrasi yang merupakan proses wajib yang dilalui,” tukas Abdul Hakim.
Harusnya, kata Abdul Hakim, Presiden memotong birokrasi itu dengan regulasi sebab presiden mempunyai kewenangan untuk itu, dalam rangka menegakkan mewujudkan kebijakan extra ordinary bukan lah kewenangan pembantu.
“Oleh karena itu kegagalan para pembantu yang terjadi saat ini sebanarnya adalah kegagalan Presiden. Maka, amarah Presiden kepada menterinya yang dilakukan di depan publik merupakan hal aneh tapi nyata,” kata Abdul Hakim.
Lebih lanjut Abdul Hakim menegaskan, bahwa pada sistem presidensial, eksekutif (pemerintah) non-kolegial. Presiden bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas para menterinya. Semua pejabat di bawah presiden adalah para membantunya. Jadi, kepemimpinan atau kekuasaannya bersifat hierarkis, dan tanggung jawab sepenuhnya berada pada presiden. Dengan kata lain, presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dan tertinggi.
Seperti diketahui, Video ini juga memunculkan isu reshuffle kabinet sebagai ancaman Presiden kepada para menterinya. Menurutnya, berbagai spekulasi yang timbul akan kontraproduktif karena menimbulkan kegaduhan politik, itulah yang menjadi santapan di media bahkan dengan survei saling menjatuhkan dan mengangkat sudah bermunculan.
Bukan cuma itu, kata Abdul Hakim, dikhawatirkan para menteri bukannya memperbaiki kinerja, malah fokus mengamankan posisinya. Ancaman ini bukan isu baru yang diucapkan Jokowi mengingat beliau berulang kali melakukan bongkar pasang menteri pada periode lalu.
“Tapi persamaannya janji awal kabinet ramping professional kemudian faktanya menjadi kabinet gemuk dan bahkan gembrot,” tutupnya. (*)