Tulisan berikut adalah narasi yang dikembangkan dari wawancara yang saya berikan kepada seorang jurnalis yang megajukan pertanyaan seputar dinamika Pilkada Kota Medan 2020, Ahad sore menjelang waktu Ashar.
Jurnalis itu memberi 5 pertanyaan dan pertanyaan-pertanyaan itu menjadi sub-sub judul dalam tulisan ini.
Rivalitas
Pilkada Medan 2020 adalah peragaan lebih nyata konflik internal pendukung Jokowi yang setelah periode ini sudah harus selesai dari “panggung politik” karena konstitusi membatasi masa jabatan Presiden hanya dua periode.
Setahu saya hingga kini belum ada kesepakatan di antara koalisi Jokowi akan memajukan siapa nanti untuk pilpres. Ini sangat sensitif dan berpotensi membelah lagi Indonesia dalam dua pojok semisal Cebong dan Kampret atau pro RUU HIP vs anti RUU HIP.
Tetapi jelas cengkeraman Jokowi itu cukup efektif sehingga PDIP bisa saja memutuskan akan merelakan kadernya yang petahana (Akhyar Nasution) tak didukung demi menantu Jokowi (Bobby Nasution).
Juga diduga keras demi memenuhi hasrat politik Jokowi, Prabowo pun terlihat mulai memberi reward kepada Ikhwan Ritonga (ditunjuk menjadi Ketua Partai Gerindra Kota Medan) yang dapat dimaknai sebagai isyarat agar tak lagi berfikir yang lain kecuali mengerahkan seluruh kekuatan partai untuk memenangkan Bobby Nasution.
Padahal kita harus catat Ikhwan Ritonga sebagai salah satu figur terpenting dengan popularitas dan elektabilitas signifikan untuk Pilkada Kota Medan 2020.
Sebagai partai terbesar PDIP dan Gerindra memiliki kursi dan suara yang cukup untuk mengajukan calon sendiri tanpa koalisi. Jadi tanpa faktor intervensi Jokowi normalnya yang akan bertarung pada Pilkada Kota Medan 2020 itu adalah PDIP dan Gerindra berikut koalisi keduanya ditambah kemungkinan koalisi lain semisal PKS dan PAN atau Partai-partai yang masing-masing beroleh 4 kursi atau lebih kecil pada pemilu 2019 (Golkar, Demokrat, dan lain-lain).
Selain fakta bahwa PDIP dan Gerindra memiliki kursi dan suara yang cukup untuk mengajukan calon sendiri tanpa koalisi, secara ideologis dan khususnya jika merujuk data pemilu 2019, keduanya adalah representasi kekuatan terbesar petahana dan penantang. Latar belakang itu potensil membentuk peta dinamika yang kurang lebih sama di Medan dan Solo pada Pilkada 2020.
Dinamika yang saya gambarkan terakhir itu tidak muncul karena intervensi Jokowi, dan partai-partai yang “mengikut dikte” tetap saja memiliki agenda tersendiri untuk memperbesar peluangnya menguasai politik dan pemerintahan pasca Jokowi.
Ada konflik besar di bawah permukaan yang sengaja disembunyikan dari halayak. Saya yakin ini jugalah gambaran politik di Solo yang dimasuki oleh orang yang selama ini tidak ada dalam peta politik, yakni Gibran Rakabuming.
Kandidat yang akan bertarung
Jika Akhyar Nasution tak berhasil “diganggu” oleh kekuatan eksternal dan berhasil meyakinkan PKS maka bersama PD dia dan figur lain (kemungkinan besar adalah Salman Alfarisi) akan maju dalam satu pasangan. PD di kubu ini kemungkinan besar akan legowo berkoalisi meski tidak dengan reward posisi wakil dalam rivalitas pilkada kali ini. Tetapi jika isyu reshuffle kabinet akan mengikutkan nama Ketum PD, AHY, dalam kabinet baru, maka pasangan ini terancam.
Dalam peta politik terbaru kota Medan, sudah sulit membayangkan adanya partai lain yang bisa bergabung untuk bersama PKS mengajukan Akhyar Nasution dan Salman Alfarisi. Itu sangat memudahkan rivalitas Bobby Nasution melawan Kotak Kosong.
Tetapi harus disadari bahwa Kotak Kosong akan berpotensi beroleh perlawanan besar dari rakyat karena beberapa hal.
Pertama, jika Jokowi salah menentukan siapa pasangan Bobby Nasution. Jika dibayangkan Bobby Nasution akan berpasangan dengan kader Gerindra (kemungkinan besar adalah Aulia Rachman, Ketua salah satu Komisi di DPRD Kota Medan, yang berasal dari komunitas Melayu dan memiliki jaringan di Medan Utara), keihlasan partai pendukung lain pasti terganggu. Di Jakarta pimpinan partai bisa akur, tetapi konstituen di daerah bisa “memberontak”.
Jadi Golkar dengan 4 kursi dengan yang juga berhasrat mengirim kader untuk posisi Wakil akan beroleh kesan tak diindahkan jika Bobby mengabaikannya. Kita sudah beroleh pengalaman dari pilkada terakhir dengan hasil partisipasi politik terendah se Indonesia (di bawah 25 persen) yang menunjukkan wibawa partai dipecundangi oleh konstituennya sendiri. Pengalaman itu bisa terulang.
Jangan dikira harapan untuk direward dengan jatah wakil tak diidamkan oleh partai-partai lain dan yang akhirnya meninggalkan kesan tak diindahkan. Ini cukup serius.
Jadi, sejak sekarang sebaiknya Bobby Nasution dan tim harus mulai menebar kesan adanya opsi tak berpasangan dengan orang partai untuk menghindari rasa cemburu di antara sesamanya.
Kedua, koalisi PDIP dan Gerindra akan difahami sebagai simbol Jokowi (bukan Prabowo) yang dalam dua pilpres tak pernah menang di Medan. Ini sangat krusial. Kotak Kosong bisa disokong dengan penuh kegairahan oleh rakyat yang menganggap pilkada Medan 2020 sebagai pemenuhan hasrat kedinastian Jokowi.
Kotak Kosong Tebing Tinggi Deli dan Kotak Kosong Paluta tidak bermuatan politik sekental ini sehingga tak bisa dijadikan rujukan untuk mengukir optimisme Bobby Nasution menang melawannya.
PAN mungkin tidak akan memiliki keberanian untuk tidak mendukung Bobby Nasution sehingga orang merasa dengan mengikutkan PAN dalam koalisi pendukung Bobby Nasution akan mereduksi resistensi Muhammadiyah karena konstituen PAN itu adalah Muhammadiyah.
Tetapi tokoh elit PAN hari ini di Sumatera Utara termasuk kota Medan bukanlah orang yang terampil berkomunikasi dengan Muhammadiyah apalagi mengakomodasi aspirasi politik Muhammadiyah.
Sekarang ini PAN pasca Kongres 2020 sedang sibuk menyusun pengurus di daerah. Inilah saatnya bagi mereka menentukan sikap untuk menjawab banyak hal seperti memastikan dukungannya untuk Bobby Nasution pada Pilkada Kota Medan dan Solo 2020 tidak sekadar ticket kosong karena tak diikuti oleh konstituen; memastikan tak tereliminasi dalam pemilu mendatang karena pimpinan dan legislatornya tak faham Muhammadiyah dan tak mengerti bagaimana mengakomodasi aspirasi Muhammadiyah. Ini berlaku umum untuk seluruh Indonesia.
Selain Muhammadiyah organisasi Alwashliyah adalah jamaah besar yang juga ikut menentukan politik lokal di Medan. Namun hubungan ideologis dan historisnya dengan partai mana pun tidak pernah sekuat NU dengan PKB dan PAN dengan Muhammadiyah.
Ketiga, figur Bobby Nasution memang terus dipoles tetapi belum sampai menghilangkan persepsi publik bahwa jika bukan karena menantu Jokowi ia tak akan memiliki peluang apa pun terutama karena sama sekali tak memiliki jejak politik dan keterampilan sebagai sosok yang akan memimpin di sebuah kota terbesar ketiga di Indonesia.
Keempat, pilgubsu terakhir juga mencatat kekalahan PDIP karena membawa orang yang relatif tak dikenal oleh rakyat. Meski Bobby Nasution putera asli Medan, tetapi dalam banyak hal ia tidak berbeda posisi politik sebagai “pendatang baru” dengan Djarot Saiful Hidayat yang mencatat kekalahan meski pernah berusaha dan berhasil mendaftar sebagai warga kota Medan menjelang hari H pencoblosan Pilgubsu. Tetapi pasti akan berbeda jika posisi Bobby Nasution hanya sebagai Wakil.
Kelima, komunikasi dari para pendukung Bobby Nasution sejauh ini masih kurang menawan. Antara lain tak jarang terdengar argumen bahwa jika Bobby Nasution yang menjadi Walikota otomatis dana pusat akan mengucur deras. Jika Bobby Nasution menjadi Walikota tidak akan ada lagi perulangan kisah buruk walikota Medan masuk penjara. Jika Bobby Nasution yang menjadi Walikota maka etape selanjutnya adalah menjadi Gubsu melalui suksesi berikut.
Saya tak tahu persis apakah konten komunikasi ini dirancang oleh tim resmi Bobby Nasutuon. Tetapi daya rusaknya sangat dahsyat yang hanya bisa diselesaikan oleh ekspresi politik Bobby Nasution ke depan dengan wacana kebangsaan dan kenegaraan yang lebih masuk akal bagi warga kota Medan yang kadar rasionalitasnya cukup mumpuni.
Kekurangan dan kelebihan dari para kandidat
Tentang Bobby Nasution saya sudah kemukakan dalam jawaban untuk pertanyaan kedua. Ia ditunggu dengan komunikasi politik yang bernas sembari menunggu event Pilkada yang ditunda hingga Desember 2020.
Pola yang harus diadopsi oleh para ahli di sekitar Bobby Nasution adalah membuang jauh-jauh kesan dinasti dengan kapasitas yang harus secara jelas terlihat dan meyakinkan bagi rakyat.
Sedangkan Akhyar Nasution adalah seorang pembelajar dengan tekad yang kuat membawa ruh kota Medan yang dia fahami dan kapitalisasi di dalam dirinya. Pada dasarnya ia bukan orang yang suka pencitraan meski politik kontemporer tak bisa menghindarinya.
Akhyar tidak menempuh cara dan resep seribu janji. Ia memang tidak punya visi dan misi kecuali dokumen yang disampaikan ke KPU saat mendaftar sebagai pasangan bersama Dzulmi Eldin dan yang diperdakan dengan persetujuan DPRD Kota Medan.
Sejumlah celah untuk mencacinya cukup terbuka, namun ia sadar dan ingin semua orang sadar bahwa pundaknya tidak cukup kuat untuk dipersalahkan tentang kekurang beresan wajah kota yang sudah menyejarah.
Siapa pun walikota Medan akan sama dengan nasib gubenur DKI yang tak mungkin serta merta menyelesaikan banjir. Jokowi yang ketika Gubernur merasa akan dengan mudah menyelesaikan banjir Jakarta juga tak merubah Jakata meski seluruh kekuatan birokrasi kini telah ada dalam genggamannya. Jokowi malah memilih pindah dari Jakarta.
Kota Medan dengan banjirnya tak mungkin tak berurusan dengan semua daerah yang dialiri banyak sungai yang melintasi kota dan hutan yang dibabat habis di daerah hulu yang adalah tanggung jawab daerah lain.
Di daerah hulu hingga hilir daerah aliran sungai (DAS) bermukim ratusan ribu keluarga dengan pola pemukiman yang sudah terbentuk bahkan sebelum Akhyar Nasution lahir. Perizinan untuk bangunan kota Medan sudah lama abai tentang RTH dan drainase serta pengamanan limbah industri dan limbah rumah tangga yang terus disalurkan ke sungai bahkan sebelum Akhyar Nasution lahir.
Akhyar Nasution pasti tahu tak mungkin membuat komando yang lantas seketika dapat merubah posisi rumah dan pemukikan DAS berpindah dari membelakangi sungai menjadi menghadap sungai.
Butuh investasi triliunan yang sayangnya investor mana pun tak akan tertarik. Menggusur mereka juga tidak mudah apalagi jika hanya menggusur tanpa merencanakan relokasi yang lebih memartabatkan.
Akhyar Nasution tak mungkin menjalankan resep pembangunan yang berjiwa konstitusi (berkeadilan) karena negara sedang memerankan diri sebagai penyembah setia neoliberalisme yang sama sekali tak perduli kemiskinan struktural.
Pada jawaban untuk pertanyaan sebelumnya juga sudah saya berikan sedikit info yang saya tahu tentang Ikhwan Ritonga yang harus diakui memiliki potensi popularitas dan elektabilitas besar. Juga rekan separtainya Aulia Rachman yang adalah tokoh Medan Utara yang sudah membangun jejaring berupa posko dengan hasrat besar untuk digandeng Bobby Nasution.
Kini tentang Salman Alfarisi. Ia adalah santri yang intelektual dan sangat faham Indonesia mau dibawa seharusnya ke arah mana. Kaderisasinya di PKS melejitkannya dalam posisi terkemuka di antara rekan separtainya untuk Pilkada Kota Medan 2020.
Pilkada Kota Medan baginya menjadi pilihan sulit karena menang atau kalah pasti kehilangan status sebagai legislator dengan jabatan penting pimpinan DPRD Sumatera Utara.
Ia menghitung resiko dan penuh percaya diri memutuskan maju dan direstui PKS.
Rivalitas Akhyar Nasution dan pak Bobby Nasution
Jika boleh disebut ini adalah “perang asimetris” kekuatan politik di Belakang Boby melawan Akhyar Nasution. Akhyar Nasution sama sekali tak berhadapan dengan Bobby Nasution. Itu penting dicatat.
Akhyar kelihatannya sadar betul kekuatan yang dihadapinya. Ia dibesarkan dan ikut membesarkan PDIP dan kini ia merasa harus menentukan sikap.
Kecerdasannya mengkapitalisasi status kepetahanaannya membuat PKS dan PD merasa harus membalas dengan sikap politik yang membawa political benefits untuk semua pihak yang mengamblil keputusan dan rakyat luas.
Politik Uang dan Kampanye Hitam
Sebetulnya dalam demokrasi politik Indonesia politik uang adalah nafas yang inheren dalam tradisi mau pun dalam kelemahan regulasi serta sikap kelembagaan.
Percuma membicarakan politik uang ketika rakyat yang dibiarkan miskin berhadapan dengan etalase paket-paket sembako tak berjuntrungan dan semisalnya.
Bagaimana caranya bicara politik uang jika regulasi memastikan penentuan calon pasangan pilkada ada di Jakarta?
Orang yang ditetapkan Jakarta kerap tak dikenal daerah dan agar bisa menang hanya memiliki satu bahasa: uang?
Kampanye hitam akan efektif atau lebih efektif di kalangan awam. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU