Rekaman video peristiwa seorang polisi kulit putih menekan leher George Floyd, seorang pria kulit hitam dengan lututnya selama hampir 9 menit, sehingga mengakibatkan korban tewas, telah menggemparkan dunia, sekaligus menelanjangi rasisme struktural di AS.
Tindakan brutal terbaru dalam pembunuhan berbau rasis telah memicu protes besar-besaran di banyak kota dan negara AS di seluruh dunia. Akibatnya kampanye Black Lives Matter dengan slogan “Kita tidak bisa bernafas” membahana di seluruh penjuru Negara Adidaya tersebut.
Kendati awalnya Presiden Donald Trump menunjukkan simpati terhadap korban, tetapi kemudian ia justru dituduh sebagai pemicu perpecahan karena retorika yang provokatif yang sebelumnya sering dilontarkannya.
Akibat peristiwa itu, orang-orang kembali membalik lembaran sejarah; apa sebenarnya yang terjadi di Amerika selama ini?
Sulit untuk dipungkiri, bahwa Amerika didirikan sebagai negara kolonial pendatang kulit putih Eropa. Pembersihan etnis yang tidak bermoral dari penduduk asli dan perdagangan budak orang kulit hitam yang diambil secara paksa dari Afrika adalah bagian dari sejarahnya dan tidak boleh dilupakan.
Terlepas dari penghapusan perbudakan sejak dulu, pola pikir hak istimewa kulit putih tetap hidup dan nyata di seluruh dunia, baik melalui kelompok-kelompok kebencian seperti pawai supremasi kulit putih (KKK) atau melalui perlakuan buruk terhadap minoritas kulit hitam dari petugas polisi kulit putih atau orang-orang berwenang lainnya .
Bagaimana Islam mengatasi rasisme?
Komitmen Islam terhadap Tauhid, atau konsep Keesaan Tuhan Yang Mahakuasa, adalah inti dari menabur benih untuk kesetaraan di antara manusia. Menurut Islam dan agama-agama transendental lainnya, khususnya dua agama Ibrahim lainnya, semua manusia berasal dari anak-anak Adam dan, dengan demikian, semuanya secara moral, hukum dan spiritual sama.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujurat:13).
Ketika sampai pada inti ritual Islam dan praktik-praktik dasar lainnya, semua pengikut, terlepas dari latar belakang mereka, dipandang sebagai orang-orang beriman yang setara dan bersaudara. Selama menunaikan shalat wajib, semua berdiri berdampingan sebagai satu dan setara.
Hal yang sama berlaku untuk ritual lainnya, terutama di musim haji, di mana tidak ada ditemukan sedikitpun hambatan rasial pada praktik ibadah tersebut.
Secara praksis, Islam sangat menekankan konsep persaudaraan di antara manusia, terlepas dari karakteristik dan posisi mereka. Hal ini dapat dilihat dari nukilan isi khotbah terakhir Nabi Muhammad SAW di Lembah Uranah, Gunung Arafah, pada 9 Zulhijah tahun 10 Hijrah.
“Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (puith) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan taqwanya”. (HR. Ahmad, 22978).
Pidato komanusian Rasullulah yang sangat monumental itu ternyata telah menginspirasi tokoh hak-hak sipil Amerika Malcolm X, dimana sebagai mantan nasionalis kulit hitam, pada awalnya membenci orang kulit putih karena penderitaan yang ia dan komunitasnya alami.
Tetapi kemudian ia menyadari kesetaraan sejati semua manusia hanya ketika dia melakukan haji di Mekah dengan Muslim dari semua warna, dari keempat penjuru dunia. Dia mengatakan bahwa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia tidak merasakan antagonisme rasial terhadap orang kulit putih juga tidak merasakan adanya pertentangan di pihak mereka terhadapnya.
Rasisme berasal dari kesombongan
Tak bisa dipungkiri, dunia akhir-akhir ini telah kehilangan jangkar moralnya, dikarenakan penguasa otoriter di beberapa negara maju yang kuat berusaha menciptakan mentalitas “kita dan mereka”, berdasarkan sentimen kebangsaan atau warna kulit seseorang.
Hal ini kemudian sering diperburuk lagi oleh dominasi kekayaan yang begitu mencolok di tangan segelintir miliarder istimewa yang kemudian digunakan untuk mengendalikan masyarakat dan konstelasi politik.
Begitulah. Segala bentuk penindasan memang tidak boleh ditolerir. Dan bentuk terlemah dari memerangi penindasan adalah dengan tidak menyetujuinya.
Namun ketika menyangkut rasisme, tentu kita membutuhkan lebih banyak orang untuk menentang secara vokal dan mengambil tindakan konkrit untuk menghadapinya.
Artinya, perjuangan ini tidak bisa dilakukan sendiri. Kita harus bergabung dengan gerakan-gerakan yang komit berjuang memprotes segala bentuk kebijakan dan perilaku rasis, dimanapun dan kapanpun itu. (*)