Oleh: Muhammad Qorib, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumut, Dekan Fakultas Agama Islam UMSU.
Agama menjadi salah satu objek paling menarik untuk dikaji. Tidak saja substansinya yang menyedot atensi para sarjana, perilaku keagamaan pemeluknya juga menjadi fenomena unik, bersifat dinamis dan sering melahirkan model-model keagamaan yang beragam. Agama diyakini berasal dari Tuhan, bersifat suci dan membimbing umat manusia untuk hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Sayangnya, agama tak jarang dipolitisir menjadi pedang paling sadis untuk menumpahkan darah.
Meninggalkan Agama
Di banyak negara maju, agama seperti Katolik dan Protestan, cenderung ditinggalkan orang. Bahkan yang lebih miris, orang memilih hidup senang tanpa embel-embel agama. Di Australia, Perancis, Irlandia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, bahkan Kroasia, secara kuantitatif lebih banyak yang tidak beragama ketimbang yang menganut agama. Mereka lebih taat pada aturan budaya yang mengikat satu sama lain ketimbang norma-norma agama. Mereka memiliki tanggung jawab keduniaan yang bercorak rasional namun tidak memberi ruang untuk urusan akhirat yang terkesan irasional.
Tak terkecuali di Jepang yang didominasi agama Shinto, Vietnam yang didominasi agama Buddha, pengaruh penganut agama juga kalah dibanding dengan yang tidak beragama. Bahkan di Tunisia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, masjid-masjid banyak yang kosong. Jamaah kecewa karena perang saudara atas nama paham agama terus berlanjut. Lebih ironis lagi di Arab Saudi, ateisme secara laten tumbuh subur, padahal negara tersebut menjadi kiblat umat Islam dunia. Tercatat hampir 1.5 juta penduduk Arab Saudi meninggalkan agama. Apakah faktor-faktor penyebab sehingga agama ditinggalkan orang?
Pertama, tidak dapat disangkal bahwa paham antroposentrisme menggerus keyakinan agama. Paham ini menganggap manusia telah dewasa dan dapat menentukan nasib kehidupannya sendiri. Manusia dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi canggih telah dapat menguak berbagai misteri kehidupan yang semula menjadi kawasan kerja-kerja agama. Antroposentrisme juga mengajarkan kekinian dan kedisinian. Dunia diyakini sebagai terminal akhir dari sebuah proses perjalanan kehidupan seseorang.
Antroposentrisme memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap pembongkaran doktrin-doktrin agama. Otoritas agama yang semula tak terbatas diikat dan dipreteli pengaruhnya. Kultur hidup hedonis tumbuh dan berkembang sejurus dengan berbagai penemuan ilmiah yang membuktikan keperkasaan umat manusia terhadap lingkungannya. Bapa-bapa gereja, di masa awal munculnya paham tersebut, menjadi penonton bisu yang tak dapat berbuat banyak.
Kedua, perilaku korup para tokoh agama. Para tokoh agama yang semula dianggap dan diharapkan menjadi pengayom dan pembimbing masyarakat justru berperilaku sebaliknya. Dalam konteks ini terjadi apa yang disebut religious despair (kekecewaan religius), yaitu sebuah kekecewaan yang ditimbulkan salah satunya oleh kelakuan menyimpang para elit agama. Kejujuran, kedamaian, kebersihan, persaudaraan yang dikhutbahkan di mimbar-mimbar ternyata tak berkaitan dengan kenyataan hidup. Jujur diganti dengan dusta, damai diganti dengan iri hati, dengki dan permusuhan, bersih diganti dengan kotor, cinta diganti dengan benci.
Para pengkritik agama seperti Bernard Russel (1872-1970) menyatakan bahwa agama lebih banyak memberikan janji-janji ketimbang bukti. Dengan kata lain, Russel hendak menyatakan bahwa agama seperti sosok pengobral janji manis yang tak dapat diwujudkan secara faktual. Agama hanya memainkan peran secara normatif namun nilai-nilainya tidak menyentuh kehidupan. Agama dalam konteks ini tidak bersifat marketable dan tidak dapat merespons kebutuhan mansyarakat.
Ketiga, agama yang sejatinya menjadi kohesi sosial berubah menjadi faktor disintegrasi sosial. Tak ada dalam kitab suci mana pun yang menyatakan bahwa membunuh menjadi jenis ibadah untuk dekat kepada Tuhan. Bahkan dalam Islam sendiri ditegaskan bahwa menyakiti seseorang sama artinya dengan menyakiti nilai-nilai kemanusiaan. Namun seperti ditegaskan A.N. Wilson bahwa tak ada konflik besar dan panjang di dunia ini dimana agama tidak terlibat di dalamnya. Cinta terhadap uang dapat menjadi pangkal kejahatan, namun cinta terhadap tuhan menjadi sumber berbagai kejahatan. Penegasan Wilson tersebut sesungguhnya berangkat dari perilaku destruktif para penganut agama.
Konflik di Timur Tengah terjadi bukan saja antara Muslim dan Yahudi Zionis namun juga disebabkan perebutan paham antara umat Islam. Di Palestina sendiri, aksi saling sikut antara Partai Fatah dan Partai Hamas sudah sedemikian pelik, ditambah lagi mereka mesti menghadapi kekuatan besar zionis Israel yang didukung total oleh Amerika Serikat. Di Surya, politik berkolaborasi dengan paham Sunni dan Syi’ah. Akibatnya, hujan bom, nyawa melayang, genangan darah, cucuran air mata dan eksodus dalam jumlah ribuan orang ke Benua Eropa terjadi setiap waktu.
Fenomena yang secara substantif sama juga berpotensi terjadi di Indonesia. Bukan tidak mungkin ke depan, jika para penganut agama tidak menyadari secara baik, wajah kelabu eksistensi agama di Eropa dan Amerika serta wajah sedih beberapa wilayah di Timur Tengah juga akan menemui momentumnya. Potensi ke arah itu sangat besar. Gaya hidup hedonis sudah menjadi sajian harian dan disosialisasikan melalui berbagai tayangan media cetak, media elektronika maupun media sosial.
Para koruptor, pelaku sex bebas, para bandar narkoba, para penipu pengelola haji dan umroh, menjadi sosok-sosok yang tidak merasa canggung tampil di layar kaca sembari melempar senyum. Anehnya aktifitas mereka dianggap kewajaran publik. Selain itu, perilaku harian umat beragama, terutama umat Islam, terkadang juga tidak lebih baik dari mereka yang menolak agama. Hal ini dapat dibuktikan dengan mudah. Seorang Muslim yang taat beribadah belum tentu memiliki komitmen untuk melaksanakan etika sosial. Misalnya saja, aksi buang sampah di sembarang tempat dianggap biasa dan tidak ada rasa bersalah sama sekali setelah tindakan biadab itu dilakukan.
Saat ini di Indonesia, ada ribuan orang meninggalkan agama. Mereka tak percaya lagi dan kecewa dengan perilaku penganut agama. Sedihnya, Islam menjadi agama pertama yang ditinggalkan, disusul Kristen, Buddha dan seterusnya. Meskipun bukan negara agama, Indonesia tidak memberi ruang bagi mereka yang tidak mengakui Tuhan. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi sebuah landasan hukum yang kuat betapa Indonesia merupakan negara yang religius. Tapi di sisi lain, baik secara terang-terangan maupun tertutup, paham ateisme tumbuh dengan subur.
Kini di masyarakat berkembang predikat Muslim tanpa masjid, Kristen tanpa gereja, Buddha tanpa wihara, Hindu tanpa kuil, Konghucu tanpa Klenteng. Ini menunjukkan bahwa agama hanya menjadi buah bibir dan hiasan administrasi ketimbang perilaku terpuji. Usulan agar kolom agama tidak dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk menjadi bukti lain bahwa pengaruh agama dipertanyakan. Inilah deretan kejadian pahit dan kritik tajam agar penganut agama mengevaluasi sistem keberagamaannya.
Menghayati Agama
Agama sesungguhnya sarat dengan simbol. Simbol mengandung banyak makna yang harus dipahami. Misalnya saja wudhu’. Wudhu’ mengisyaratkan kebersihan secara totalitas, tidak saja ketika pelaksanaan sholat, namun juga bersih jasmani, ruhani dan lingkungan sekitar. Zakat juga merupakan simbol. Zakat melambangkan respons kepedulian sosial kepada masyarakat yang lemah dan membutuhkan uluran tangan. Zakat tidak tepat dimengerti sebagai aktifitas yang terbatas ruang dan waktu. Semangat zakat tidak boleh berhenti, namun harus ada di setiap waktu. Inilah maksud menghayati ajaran agama itu. Agama akan senantiasa menjadi pilihan utama masyarakat jika fungsi-fungsi sosialnya dirasakan secara langsung. Sebaliknya, agama akan dibenci dan ditinggalkan orang jika hanya berisi janji manis namun kering fungsi sosialnya. Wallaahu a’lam. (*)