TAJDID.ID || Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd mengungkapkan, di dalam draft Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasioal (RUU Sisdiknas) tertulis pendidikan kepercayaan posisinya sama dengan pendidikan agama.
Dalam draf RUU Sisdinas tertulis; “Setiap pelajar, berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,”
Prof Mu’ti mengatakan, dalam salah satu tulisannya di media, dia menyatakan dengan tegas menolak frasa itu. Sebab, dia berargumen, kepercayaan berbeda dengan agama.
Prof Mu’ti lantas mengingatkan, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dulu menganggap kepercayaan sebagai kebudayaan.
“Pembinaan kepercayaan dimaksudkan supaya kepercayaan tidak mengarah kepada pembentukan agama baru. Di sini jelas kepercayaan bukan agama. Maka tidak bisa disamakan!” tegasnya dikutip dari laman PWMU.CO.
Menurutnya, itu hampir sama ketika ada perdebatan soal KTP. Kepercayaan memang dicatat dalam Administrasi Kependudukan tapi tidak dicatat di KTP. Wacananya, kalau ada kolom kepercayaan, maka kolomnya dipisah.
“Jangan agama garis miring kepercayaan! Kalau mau dibuat kolom ya agama sendiri, kepercayaan sendiri. Tapi ternyata sampai sekarang tidak ada perubahan,” ujarnya.
Kepercayaan Jadi Agama
Padahal, kata Prof Mu’ti, di kalangan penganut kepercayaan juga belum ada kesepakatan antara kelompok penghayat dengan kelompok aliran. Sebab, ada orang yang menganut kepercayaan dan juga menganut agama besar. Dia mencontohkan, di salah satu daerah di Jakarta, ada Muslim yang juga bertapa.
Bahkan, kata Prof Mu’ti, di sisi lain,ada keinginan kepercayaan itu menjadi agama. Perhatian ini dia nilai penting karena seakan-akan yang mengurusi kepercayaan hanya orang Islam.
“Padahal kenyataannya tidak, di agama lain juga begitu. Ada pula indigenous religion yang masuk ke agama lain dan masih menjadi perdebatan,” sebutnya.
Lantas ia mengusulkan, kalau memang diadakan, agama dan kepercayaan dipisah. Atau tidak perlu masuk.
“Cukup menggunakan Permendikbud tahun 2016 yang memberikan kewenangan dan kesempatan kepada penganut kepercayaan untuk mendapat pendidikan kepercayaan.” tegasnya.
Diungkapkannya, sekarang baru 12 ribu sekian yang mendapat pendidikan kepercayaan di seluruh Indonesia, itupun tersebar di 15 provinsi
Baca juga:
- Muhammadiyah Sampaikan Sikap dan Kritik terhadap RUU Sisdiknas
- Terkait Dugaan Hilangnya Frasa “Madrasah” dalam Draf RUU Sisdiknas, DPR Akan Segera Panggil Nadiem
Lebih lanjut Prof Mu’ti menegaskan, demikianlah cara Muhammadiyah mengambil sikap dan mengkritisi sebuah UU yang merupakan amanat Muktamar.
“Begitulah sikap Muhammadiyah dan beginilah cara Muhammadiyah mengkritisi suatu UU yang merupakan amanat Mukmatar. Supaya kita melakukan jihad konstitusi dari hulunya. Jangan hanya di hilirnya!” ujarnya.
Adapun yang dimaksud dari hulu yaitu sejak masih berupa naskah akademik juga penyusunan berbagai diskusi di DPR.
“Bahkan pada waktunya, kalau kita anggap nggak cocok juga melakukan judicial review,” katanya lagi.
Dalam beberapa hal, dia menilai langkah itu berhasil. Misal pada UU Omnibus Law. Ada lima UU yang dikeluarkan dari Omnibus Law.
“Itu salah satunya setelah Muhammadiyah diterima Pak Presiden. Kita memberi masukan juga dari yang ada,” katanya.
“Begitu pula ketika UU HIP dibatalkan seluruhnya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. Itu Karena Muhammadiyah kenceng, kemudian yang lain ikut ngencengi!” imbuhnya.