Seorang jurnalis mengajukan pertanyaan, Ahad sore(8/3/2020): “Mohon beri komentar tentang dua kubu di Pemprovsu sehingga terjadi tarik menarik kekuasaan dan pembangunan jalan di tempat”.
Memang waktu masih tersisa cukup panjang untuk diisi dengan prestasi. Tetapi jika kondisi yang dikemukakan oleh jurnalis itu berlanjut, maka kelak akan ada kekecewaan mendalam bagi rakyat.
Begitu pun, soal kedalaman dan keparahan kubu-kubuan yang disebutkan oleh jurnalis itu sebaiknya diposisikan sebagai hal yang menjadi tanggungjawab jurnalis yang mengajukan pertanyaan. Sama halnya dengan sinyalemennya yang mengatakan “pembangunan jalan ditempat” harus ditempatkan sebagai asumsi dasar yang memerlukan faktor prasyarat, yakni “jika kubu-kubuan berlanjut”.
***
Seluruh rakyat Sumatera Utara kelak, pada akhir periode pemerintahan Edy Rahmayadi – Ijeck, tidak akan bisa menerima alasan terkendalanya pembangunan karena perpecahan di tubuh pemerintahan. Tanggung jawab itu sama sekali tidak dapat diubah atau dilemparkan ke pundak siapa pun, melainkan tetap pada pasangan Edy Rahmayadi- Ijeck karena mereka berdualah yang diberi legitimasi memimpinkan pemerintahan, selama lima tahun, oleh rakyat, melalui Pilkada.
Idealnya tidak ada kubu-kubuan dalam pemerintahan dan jika pun tak terhindari, seyogyanya hal itu bersifat alamiah yang justru akan selalu memacu prestasi. Mengapa? Karena seyogyanya strong and smart leadership bisa menyelesaikan kubu-kubuan itu dengan mengubah konflik menjadi potensi rivalitas sehat bertema fastabiqulkhairat (berlomba mempersembahkan kebajikan).
Singkatnya, saat ini bukanlah pengetahuan baru bahwa di seluruh Indonesia rivalitas di antara para pembantu Kepala Daerah adalah hal lumrah, tetapi dengan manajemen konflik yang sehat hal itu selalu dapat dimodifikasi menjadi persaingan sehat dan produktif untuk akselerasi pembangunan yang justru menguntungkan bagi rakyat daerah.
Pengetahuan elementer tentang demokrasi pun sudah sangat luas diketahui oleh rakyat bahwa Edy Rahmayadi-Ijek bertanggungjawab kepada rakyat, baik melalui lembaga legislatif maupun kepada rakyat secara langsung. Kedua figur terpilih melalui Pilkada itu tidak bisa berdalih atau menggusur tanggung jawab baik kepada Sekda maupun jajaran OPD.
***
Adalah hal sangat manusiawi Edy Rahmayadi maupun Ijeck ingin beroleh mandat untuk memerintah selama diberikan kesempatan oleh regulasi yang ada (dua periode). Tetapi dalam sistem demokrasi di Indonesia hal ini menjadi urusan yang hanya bisa dijawab oleh tingkat elektabilitas pada pilkada. Bagaimana mempertahankan elektabilitas jika prestasi alakadarnya saja?
Mudah-mudahan tidak tak disadari oleh Edy Rahmayadi-Ijeck bahwa, sama dengan di DKI, dan di mana-mana kenyataan serupa kerap terjadi, kemenangan satu pasangan tidak serta merta dapat diterima oleh pendukung pasangan yang kalah. Kondisi itu dapat berlanjut hngga akhir pemerintahan.
Jika melihat fakta-fakta sosial di lapangan, Edy Rahmayadi-Ijeck hingga kini tampaknya masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh kalangan pendukung pasangan yang kalah Pilkada, atau setidaknya tak begitusulit menghubungkan resistensi yang masih terus mengental dengan pilkada yang telah berlalu.
Jangan pula pura-pura tak difahami bahwa secara politik kedua figur yang dikalahkan oleh Eramas kini aktif sebagai wakil rakyat di Senayan mewakili Dapil Sumut II (Sihar Sitorus) dan Dapil Sumut III (Djarot Saiful Hidayat). Jika kondisi kubu-kubuan yang melahirkan nihil prestasi akan diteruskan dalam Pemerintahan di Sumatera Utara, maka sebetulnya mereka sedang dalam proses penyerahan mandat secara damai kepada penantang pada Pilkada berikut, terlepas itu pasangan lama Djarot Saiful Hidayat – Sihar Sitorus atau yang lain.
***
Tak ada gunanya menutup kemungkinan kedua pasangan Eramas (Edy Rahmayadi dan Ijeck) pada Pilkada berikut akan menempuh hasrat sendiri-sendiri, sama-sama berusaha menjadi gubernur. Itu biasa dalam demokrasi dan tidak perlu ditangisi oleh siapa pun.
Dalam hal ini catatan nama yang kurang indah tanpa legacy (warisan karya yang dikenang) akan lebih diderita oleh Edy Rahmayadi seagai gubernur, karena menurut regulasi yang ada Wakil Gubernur itu hanya ban serap belaka, sama halnya dengan Wakil Presiden di Indonesia dan di negara mana pun.
Dengan begitu tidak berlebihan jika rakyat Sumatera Utara lebih menagih tanggungjawab kepada Edy Rahmayadi selaku gubernur.
Jangan sempat tertoreh dihati semua kalangan di Sumatera Utara, terutama bagi para pendukung Edy Rahmayadi-Ijeck, bahwa menang Pilkada memang bisa jauh lebih mudah ketimbang mengisi mandat pemerintahan dengan prestasi. Itu tantangan yang lebih dihadapkan kepada Edy Rahmayadi. Ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai “Strong and smart Leadership”.(*)