TAJDID.ID-Medan || Penyelesaian kasus ketenagakerjaan di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) ternyata tidak begitu efektif dalam menyelesaikan masalah dan menghasilkan sebuah kepastian.
Setidaknya itulah yang dirasakan mantan dosen tetap STIE IBBI Medan M. Khairul Ikhwan yang bertahun-tahun berjuang untuk mendapatkan keadilan.
Kepada TAJDID.ID ia menuturkan, walaupun sudah memiliki kekuatan hukum tetap tetapi STIE IBBI tidak kunjung menjalankan putusan Mahkamah Agung Nomor 46 K/Pdt-Sus-PHI/2019 dan Nomor 258/Pdt-Sus-PHI/2017/PN Medan Tanggal 31 Januari 2019.
Dimana dalam Putusannya Mahkamah Agung menolak Kasasi Badan Hukum STIE IBBI Medan, selain itu Mahkamah Agung juga memperbaiki Amar Putusan No. 258/Pdt-Sus-PHI/2017/PN Medan dengan Menolak Eksepsi Badan Hukum STIE IBBI sebagai Tergugat dan Mengabulkan Tuntutan Penggugat (M.Khairul Ikhwan) untuk sebahagian.
Dengan Menghukum Tergugat STIE IBBI Medan untuk membayar secara tunai Hak-Hak Normatif Penggugat sebagai akibat Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh STIE IBBI Medan secara sepihak.
Sebagai Dosen Tetap Yayasan STIE IBBI, ia di PHK secara sepihak oleh STIE-IBBI dengan alasan SP-III, Surat Nomor 089/DM/STIE/KETUA/VI/2016 tanggal 16 Juni 2016 yang menyebutkan kesalahan yang telah dilakukan dengan ketidak hadiran pada tanggal 14 juni 2016, yang ditandatangani oleh Ketua STIE IBBI Prof. Dr. Amrin Fauzi.
Dimana ia tidak mendapatkan penjelasan lengkap terhadap serta upaya klarifikasi terhadap SP-l, SP-ll dan SP-lll yang diberikan serta dinyatakan di PHK oleh STIE-IBBI melalui pertemuan dengan pimpinan STIE-IBBI tanggal 22 Juni 2016 dengan pesangon sebesar Rp. 3.500.000,- padahal beliau telah bekerja sejak tahun 2005 sampai dinyatakan di PHK pada Tanggal 22 Juni 2016.
M.Khairul Ikhwan mengungkapkan, sebagai pekerja hal ini dirasakannya sangat menjadi dilema, padahal ia berani menuntut haknya dalam upaya menimbulkan efek jera bagi institusi pendidikan maupun pengusaha yang dengan sengaja melakukan perbuatan melanggar hukum.
“Panjang nya waktu persidangan sampai keluarnya putusan pengadilan, ditambah upaya banding atau kasasi yang diajukan juga menambah beban dan penderitaan bagi pekerja dalam menuntut haknya yang sesungguhnya sudah jelas dan tegas diatur oleh Undang Undang Ketenagakerjaan itu sendiri,” ujarnya, Senin (9/3/2020).
Dikatakannya, bertahun-tahun menunggu penyelesaian perkara tentu menimbulkan keputus-asaan bagi pekerja dalam menuntut penegakan hukum itu sendiri serta menimbulkan celah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak pekerja.
Selain penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial, Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 juga merupakan dasar dan landasan bagi pekerja untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum melalui penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan.
Secara rinci ia menjelaskan, bahwa Undang Undang Ketenagakerjaan telah menegaskan bahwa institusi yang memiliki kewenangan melakukan penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan (penyelidikan dan penyidikan) adalah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan begitu banyak jenis tindak pidana ketenagakerjaan, dimana pelanggaran atas hak-hak tenagakerja dibagi dalam dua ketegori tindak pidana, yaitu tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran.
Sesuai Amanah Pasal 176 Undang-Undang Ketenagakerjaan, PPK/PPNS mempunyai kompetensi dan independensi menjalankan dan menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan tersebut, maka Undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa pengangkatan PPK ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Kewenangan PPK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) secara khusus adalah melakukan penyidikan di bidang ketenagakerjaan (sama dengan kewenangan dari Penyidik Pejabat POLRI) sebagaimana diatur pada pasal 182 (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu: (1) Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana ketenagakerjaan; (2) Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; (3) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; (4) Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; (5) Melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; (6) Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan (6) Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
M. Khairul Ikhwan menyebutkan, bahwa komitmen PPK/PPNS Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara menjalankan peran dan fungsinya melakukan tugas-tugas pengawasannya mutlak harus dijalankan sebagai upaya penegakan hukum, sehingga terciptanya kepastian hukum.
Lebih lanjut ditegaskannya, peran PPK/PPNS Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara untuk menegakkan pelaksanaan hak-hak tenagakerja yang diabaikan oleh pengusaha selama ini harus benar-benar dilaksanakan, sebab akan begitu banyak pelanggaran hak-hak tenagakerja yang yang akan terjadi dan PPK/PPNS Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara tidak dianggap bermain-mata terhadap pengusaha yang memberikan upah dibawah UMP/UMK,
Tenagakerja yang tidak didaftarkan menjadi peserta Jamsostek, dll.
Sebagai ujung tombak pengawasan ketenagakerjaan, kata Khairul, tentulah tidak berlebihan jika ditujukan kepada PPK/PPNS Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara sebagai pemegang amanah Undang Undang Ketenagakerjaan untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Serta tindakan tegas apabila terjadi penyelewengan wewenang.
“Sehingga upaya menegakkan hukum terhadap tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di bidang ketenagakerjaan tersebut dapat dijadikan sebagai sarana bagi pekerja untuk memperjuangkan hak-haknya dengan menempuh jalur pidana melalui PPK/PPNS ataupun langsung kepada Polri selaku penyidik tindak pidana sesuai dengan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981),” jelasnya.
Untuk itu, M Khairul Ikhwan juga berharap kepada pemerintahan Joko Widodo sebagai penerus tongkat estafet gerakan reformasi dalam menghasilkan birokrasi pemerintahan yang taat hukum dan peraturan perlu mendesak dan melakukan evaluasi terhadap kinerja Kementerian Ketenagakerjaan beserta jajarannya untuk serius melakukan upaya membenahi kinerja PPK/PPNS Disnakertrans diseluruh Indonesia, khususnya Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara dalam menindaklanjuti Laporan dan informasi adanya pelanggaran hak-hak pekerja di perusahaan.
“Seiring dengan rencana pemerintah Joko Widodo melahirkan Rancangan Omnibus Law yang menuai berbagai keritik dalam rangka melindungi pengusaha,” katanya.
Selain itu, kata Khairul, PPK/PPNS Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara sebagai institusi penegak hukum seharusnya bertindak profesional menjalankan komitmen Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.
Diketahui, Laporan Pengaduan tanggal 24 Agustus 2016 yang disampaikan oleh Law Office Banuara & Fartners sebagai Kuasa Hukum pekerja M. Khairul Ikhwan Harahap, yang telah diperiksa melalui BAP dari kedua belah pihak yang berpekara baik M.Khairul Ikhwan Harahap sebagai pekerja dan STIE IBBI sebagai terlapor, kenapa tidak kunjung ada Hasil dan keterangan oleh PPK/PPNS Disnakertrans Provinsi Sumut dalam bentuk apapun.
Tanggal 03 Desember 2018, M.Khairul Ikhwan Harahap sebagai Pekerja kembali melaporkan Keberatan Terhadap Pengaduan yang Tidak Berjalan kepada Kepala Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara dengan tidak adanya Hasil maupun keterangan apapun terhadap proses Penyidikan dan Penyelidikan yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama namun tidak juga mendapat tanggapan.
Tanggal 25 Februari 2020, Kantor Hukum Banuara & Fartners sebagai Pemegang Kuasa Hukum kasus M.Khairul Ikhwan Harahap, kembali melaporkan hal yang sama sebagai laporan ketiga Kepada Kepala Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara dan Penyidik POLDA Sumatera Utara serta Kementerian Tenagakerja sebagai tembusan laporan dengan melampirkan bukti laporan pertama dan laporan kedua yang tak kunjung ada hasil apapun maupun keterangan serta respon.
Terkait hal tersebut, M Khairul Ikhwan mengatakan, kinerja PPK/PPNS Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara menjalankan tugas pengawasan, dengan penyidikan dan penyelidikan atas pelanggaran hak-hak dari pekerja di perusahaan khususnya STIE IBBI sebagai institusi pendidikan dapat dilakukan dengan membangun koordinasi dan kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan apabila tidak mampu, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal penegakan hukum yang telah menjadi wewenangnya.
“Sehingga sangat diharapan PPK/PPNS Disnakertrans Privinsi Sumatera Utara dalam hal ini berani bertindak tegas kepada pengusaha-pengusaha nakal yang selalu melanggar atau melawan ketentuan undang-undang,” tegasnya.
Diharapkan pula dengan laporan ini, kata Khairul, Penyidik Kepolisian Daerah Sumatera Utara sebagai tembusan laporan dapat menindaklanjuti laporan tersebut guna menemukan bukti-bukti guna dilakukannya pengembangan terhadap kasus ini. Karena Panggilan Ketua DPRD Kota Medan saja mampu diabaikan oleh STIE IBBI dalam RDP dengan Komisi B beserta seluruh kelengkapan Dewan guna menindaklanjuti laporan pekerja.
“Pertanyaan besar yang timbul adalah siapa sesungguhnya STIE IBBI ini, sehingga terkesan dilindungi dan tidak ada kekuatan lembaga pemerintah dalam menyelesaikan tuntutan pekerja hingga saat ini.
Lantas kemana lagi pekerja harus mengadu di Pemerintahan Joko Widodo saat ini,” tanya Khairul.
Sebab, kata Khairul, Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 mengatakan bahwa pengusaha dapat dipenjara apabila melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan dan UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi negara juga mengatakan bahwa semua orang sama kedudukannya di hadapan hukum, sehingga PPK/PPNS Disnakertrans Provinsi Sumatera Utara harus mengeluarkan hasil apabila tidak ingin ada dugaan melindungi pengusaha dengan jalan main-mata dan tidak menindaklanjuti laporan pekerja dan Kepala Disnakertrans Provinsi Sumut dapat mengambil langkah tegas dan profesional dengan seperti yang disampaikan dalam laporannya. (*)