Oleh: M. Khairul Ikhwan Harahap
Seiring dengan keinginan pemerintah Joko Widodo yang menginginkan adanya pemangkasan terhadap regulasi yang sudah ada dengan alasan mempermudah investor menanamkan modal di Indonesia melahirkan sebuah draf UU CILAKA yang telah diserahkan kepada DPR untuk dibahas dan disahkan menjadi UU.
Keinginan Pemerintah Joko Widodo tersebut mendapat berbagai kritikan dan penolakan dari berbagai kelompok Serikat Pekerja yang telah ramai dan hangat diberitakan baik media cetak, elektronik maupun media sosial.
Lantas bagaimana sebenarnya, Pekerja itu sendiri memandang draf UU CILAKA yang akan dibahas dan disahkan oleh DPR, terhadap usulkan dan telah diserahkan pemerintah tersebut.
Lantas, bagaimana sebenaranya ikhwal omnibus law ini dalam sudut pandang pekerja?
Profesi Guru dan Dosen yang juga sudah diperkuat dengan Undang Undang Guru dan Dosen No 14 Tahun 2014 dan mengaju pada Undang Undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 dalam menjalankan tugas dan profesi baik dari sisi Hak dan Tanggungjawab sebagai pekerja, maupun Hak dan Tanggungjawab institusi pendidikan sebagai Pemberi atau Penyedia lapangan pekerjaan.
Dimana Undang Undang telah mengatur Hak dan Kewajiban, baik sebagai Pekerja atau Pemberi kerja. Akan tetapi sudah sedemikian jelas dan baku nya peraturan Perundang-Undangan melalui payung Hukum Ketenagakerjaan, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak pemberi kerja atau pengusaha yang masih berbuat semena-mena terhadap para pekerja yang memandang psikologi pekerja membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan Pemberi Kerja terhadap Kewajiban yang harus ditunaikan, Peraturan mengatur tentang Jam Kerja dalam rangka mengikat Pekerja melaksanakan kewajibannya bekerja.
Berdasarkan Peraturan Ketenagakerjaan pengaturan waktu kerja yang terdapat dalam Pasal 77 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, dikatakan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
Waktu kerja itu meliputi (Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan) :
- 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
- 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Didalam dunia pendidikan Kewajiban tersebut setara dengan minimal 12 SKS/semester atau maksimal 16 SKS/semestee dapat berupa pengajaran, penelitian atau pengabdian masyarakat.
UU No 13 Tahun 2003 juga menjelaskan dan mengatur dengan tegas tentang beberapa hal, diantaranya tentang Jam Kerja, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Upah, Pesangon, PHK, Cuti, dan hal lainnya yang berhubungan dengan ketenagakerjaan di Indonesia dan luar negeri.
Dimana Peraturan tersebut dibuat adalah untuk melindungi pekerja dan pengusaha karena mencakup hak dan kewajiban keduanya secara umum dalam rangka menciptakan keteraturan.
Terhadap Hak Normatif berupa Upah ditetapkan berdasarkan UMR dan berlaku mengikat bagi pemberi kerja dalam memberikan imbalan kepada pekerja.
Sehingga UMR/UMP senantiasa berubah setiap tahunnya dengan mengkikuti kebutuhan pokok dasar bagi pekerja yang ditetapkan berdasarkan keputusan pemerintah daerah setempat dalam rangka menjamin dan memastikan terpenuhinya kebutuhan hidup dasar para pekerja.
Sehingga bagi para pemberi kerja yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut diancam perbubuatan Kejahatan melawan hukum dengan hukuman pidana atau denda.
Hukuman pidana itu diberikan atas dasar pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni Pasal 90 Ayat (1) dan Pasal 185 Ayat (1).
Pasal 90 Ayat (1) menyebutkan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
Sementara Pasal 185 Ayat (1) menyebutkan, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.
Mengacu pada pelanggaran terhadap tersebut, Mahkamah Agung telah menjatuhkan hukuman 1 tahun dan denda Rp 100 juta kepada Tjioe Christina Chandra, pengusaha asal Surabaya yang membayar karyawannya di bawah upah minimum regional.
Sanksi pidana kepada pengusaha tersebut yang pertama di Indonesia dengan vonis kasasi yang dipimpin ketua majelis hakim Zaharuddin Utama, dengan anggota majelis Prof Dr Surya Jaya dan Prof Dr Gayus Lumbuun dalam perkara Nomor 687 K/Pid.Sus/2012. (Kompas.com “Bayar Karyawan di Bawah UMR, Pengusaha Dijatuhi Hukuman”) Kamis, 25 April 2013 | 08:21 WIB.
Pengalaman Pribadi
Penulis (M. Khairul Ikhwan Harahap), seorang tenaga pengajar yang berprofesi sebagai Dosen Tetap Yayasan STIE IBBI Medan sejak tahun 2005. Di PHK oleh STIE-IBBI dengan dasar SP-III Nomor 089/DM/STIE/KETUA/VI/2016 tanggal 16 Juni 2016 yang menyebutkan kesalahan yang telah dilakukan atas ketidak hadiran beliau pada tanggal 14 juni 2016 yang ditandatangani oleh Ketua STIE IBBI Prof. Dr. Amrin Fauzi dengan kata lain bahwa beliau di PHK karena tidakhadiran 1 hari.
Dimana saya tidak mendapatkan penjelasan lengkap terhadap SP-l, SP-ll dan SP-lll dan dinyatakan di PHK oleh STIE-IBBI melalui pertemuan dengan pimpinan STIE-IBBI tanggal 22 Juni 2016. Dan mendapatkan pesangon sebesar Rp. 3.500.000,- padahal beliau sudah bekerja sejak 2005 sampai dinyatakan di PHK pada Tanggal 22 Juni 2016.
Kesewenang-wenangan tersebut, saya perjuangkan melalui Laporan-laporan pengaduan ke Disnakertrans Provinsi Sumut berupa Laporan Kekurangan Upah.
Dan Laporan ke Dinas Tenagakerja dan Sosial Kota Medan sebagai bentuk upaya mediasi dalam menyelesaikan Hak-Hak yang harus saya terima terhadap konsekwensi PHK yang dilakukan oleh STIE IBBI Medan.
Hasil Mediasi Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Medan tidak menghasilkan upaya penyelesaian, maka Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Medan mengengluarkan Anjuran kepada STIE IBBI untuk melaksanakan kewajibannya terhadap PHK sepihak yang dilakukan dengan Surat No. 567/7665 DSTKM 2016 tanggal 27 Desember 2016.
Akan tetapi Anjuran tersebut diabaikan oleh STIE IBBI sehingga harus dilanjutkan ke proses Hukum melalui Pengadilan Negeri Medan.
Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 258/Pdt-Sus-PHI/2017/PN Medan, mengabulkan tuntutan saudara M. Khairul Ikhwan Harahap sebagai Penggugat dan Mewajibkan STIE IBBI sebagai tergugat melaksanakan Putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut.
Akan tetapi Putusan Pengadilan Negeri Medan juga diabaikan oleh STIE IBBI Medan dengan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Dan dalam kurun waktu yang cukup lama Mahkamah Agung akhirnya mengeluarkan Putusan Nomor 46 K/Pdt-Sus-PHI/2019
Nomor 258/Pdt-Sus-PHI/2017/PN Medan Tanggal 31 Januari 2019 Dengan menolak Kasasi Badan Hukum STIE IBBI medan, Memperbaiki Amar Putusan No. 258/Pdt-Sus-PHI/2017/PN Medan dengan Menolak Eksepsi Tergugat dan
Mengabulkan Tuntutan Penggugat (M.Khairul Ikhwan) untuk sebahagian.
Dan Menghukum Tergugat Amrin Susilo (STIE IBBI Medan) untuk membayar secara tunai Hak-Hak Normatif Penggugat sebagai akibat Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Yayasan STIE IBBI Medan.
Dimana dalam Amar Putusan disebutkan jumlah Pesangon yang harus beliau peroleh, Uang penghargaan masa kerja, THR selama 9 tahun, BPJS dan Tunjangan Hari Tua, Upah proses 6 bulan. Dan tidak mengabulkan tuntutan lain karena dianggap diluar ranah PHI seperti tuntutan Kekurangan Upah selama bekerja dan masuk kedalam tuntutan Pidana.
Akan tetapi sampai saat ini Putusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut belum juga di laksanakan oleh STIE IBBI sebagai tergugat, walau Putusan telah diterima oleh STIE IBBI Medan dan Pengadilan Negeri Medan belum juga melakukan Penyitaan Aset sesuai Permohonan yang diajukan oleh saudara
M. Khairul Ikhwan sebagai Pemohon melalui Kuasa Hukum Banuara Law Office & Fatner.
Di lain Laporan yang di ajukan saudara M.Khairul Ikhwan kepada Kepala Disnakertrans Provinsi Sumut Cq. Pengawas Ketenagakerjaan dan PPNS tentang Kekurangan Upah, Nomor. 020/BEPART/S-P/VIII/2016 tanggal 24 Agustus 2016 yang diterima dengan stempel Disnakertrans Provinsi Sumut beserta tandatangan tanda terima tanggal 25 Agustus 2016,
telah dilakukan pemeriksaan melalui BAP terhadap saudara M.Khairul Ikhwan Harahap sebagai Pelapor dan STIE IBBI sebagai terlapor dengan berbagai bukti berupa kwitansi slip Pembayaran gaji dan keterangan yang dianggap cukup serta adanya Pemeriksaan oleh Pengawas Disnakertrans Provinsi Sumut ke lokasi kampus STIE IBBI Medan Jl. Sei Deli No. 18 Medan.
Akan tetapi hasil Pemeriksaan terhadap laporan tersebut tidak ada hasil yang saya terima sebagai Pelapor sampai kurun waktu yang dianggap lama.
Sehingga saya melayangkan Laporan kedua Tanggal 03 Desember 2018 kepada Kepala Disnakertrans Provinsi Sumut, Prihal : Keberatan atas Pengaduan yang tidak berjalan yang diterima dengan stempel dan tandaditerima oleh Disnakertrans Provinsi Sumut Nomor 3722 tanggal 4 Desember 2018.
Sehingga dengan kata lain Perjuangan saya sebagai Pekerja mulai dari mediasi, proses Hukum di Pengadilan Negeri Medan sampai Kasasi ke Mahkamah Agung dan Laporan Kekurangan Upah yang beliau sampaikan kepada Disnakertrans Provinsi Sumut Cq. Pengawas Ketenagakerjaan dan PPNS serta Kepala Disnakertrans Provinsi Sumut sampai saat ini belum juga mendapatkan kejelasan dan tanggapan berupa hasil.
Dimana apa yang disampaikan tersebut sudah melalui proses mediasi, proses hukum sampai laporan-laporan yang sudah berulang, menunjukkan adanya pembangkangan terhadap UUD’45 sebagai landasan Hukum tertinggi di Republik ini dimana “setiap warga negara bersamaan kedudukannya dihadapan hukum dan pemerintahan” diduga telah diselewengkan.
Kalau UUD’45 sebagai konstitusi tertinggi yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi oleh semua orang, dalam hal ini adalah pemerintah sebagai upaya melindungi warga negara, sudah tidak dilaksanakan atau dipatuhi oleh Disnakertans Provinsi Sumut melalui Pengawas Ketenagakerjaan & PPNS dan tidak ada upaya seluruh pihak yang bertanggungjawab terhadap kinerja jajaran pemerintah dibawah sebagai sebuah Hak dasar atau Hak Azasi Manusia, beliau menyimphlkan bagaimana zholimnya Pemerintah Joko Widodo dengan kinerja Kementerian Tenagakerja, sehinhga pantas mendapat catatan kelam terhadap proses penegakan hukum itu sendiri.
Saya juga mempertanyakan pula bagaimana kedepan nasib para pekerja dengan disahkannya Omnibus Law CILAKA “Cipta Lapangan Kerja” yang digagas oleh pemerintah Joko Widodo apakah pelaksanaannya akan memudahkan para pekerja memperoleh Hak-haknya atau malah sebaliknya ketika terjadi permasalahan dihadapan hukum dan pemerintahan, sehingga tidak lagi bertele-tele dan memakan waktu yang panjang ?
Dengan ini saya meminta: Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, Kementrian Tenaga Kerja Ida Fauziah dan Presiden Joko Widodo untuk memberi Penjelasan terkait permasalahan serta turun langsung melakukan Pengawasan sebagai fungsi mangerial terhadap pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri, khususnya pada kasus saya (M.Khairul Ikhwan Harahap) sebagai Seorang tenagakerja dalam melaksanakan tugas profesi sebagai Dosen Tetap disebuah Yayasan STIE IBBI dan tenagakerja lain pada umumnya yang secara tegas dan jelas dalam rangka adanya kepastian hukum terhadap setiap permasalahan yang terjadi khususnya bagi tenaga kerja.
Sekaligus saya juga menuntut diberikannya sanksi hukuman terhadap pelanggaran hak-hak pekerja yang sudah nyata dan jelas diatur oleh UU Ketenagakerjaan, serta upaya-upaya melawan hukum yang dilakukan institusi pemerintah sendiri sebagai pelaksana UU dan lembaga-lembaga yang mempekerjakan tenaga kerja manusia, demi tegak nya keadilan bagi setiap warga negara di dalam memperoleh atau memperjuangkan hak-haknya yang sudah diatur oleh Undang Undang Ketenagakerjaan. (*)