Oleh: Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum ‘nBASIS
Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, yang berlangsung tanggal 26-28 Februari 2020, berakhir dengan mengeluarkan 9 pernyataan yang dinamai Deklarasi Bangka Belitung (DBB). Meskipun kesembilan butir DBB dapat dibagi kepada beberapa klasifikasi permasalahan, tetapi induknya ada pada empat hal yang dipandang amat serius. Pertama, krisis pemahaman dan pengamalan Pancasila. Kedua, tuntutan taat asas dan perbaikan kinerja penyelenggara Negara. Ketiga, seruan perbaikan kinerja partai politik. Keempat, seruan internal umat Islam.
Meski tak disebut sebagai mosi tak percaya umat Islam Indonesia kepada pemerintah, namun jelas tak satu pun dari 9 butir masalah serius yang diketengahkan oleh KUII VII dalam DBB yang hulunya tidak di tangan pemerintahan.
Agama dan Pancasila
DBB diawali dengan seruan kepada seluruh warga bangsa, khususnya para pemimpin negara, untuk tidak mempertentangkan pola pikir kebangsaan dengan pola pikir keagamaan. Menurut KUII VII, dikhotomi semacam itu adalah pengingkaran atas kesepakatan nasional (al-mitsaq al-wathani) yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusi negara.
Deklarasi Bangka Belitung menegaskan bahwa Umat Islam Indonesia meyakini bahwa Pancasila sejalan dengan ajaran Islam. Nilai-nilai Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai agama yang ada di Indonesia dan dalam konteks berbangsa dan bernegara, ajaran agama harus diposisikan sebagai sumber hukum, sumber inspirasi, landasan berfikir, dan kaedah penuntun dalam penyusunan peraturan perundang-undangan serta kebijakan negara dan pemerintahan.
Urgensi sorotan KUII VII tentang hubungan Agama dan Pancasila adalah masalah yang bersejarah panjang. Tidak hanya bertalian erat dengan keresahan yang ditimbulkan oleh Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi belum lama ini. Yudian Wahyudi dengan demikian terkesan diposisikan hanyalah pemicu belaka. Karena itu, meski sempat mengundang reaksi beberapa kalangan tertentu agar BPIP dibubarkan dan dalam perbincangan resmi ada suara keras yang meminta BPIP dibubarkan, namuh dokumen DBB tidak menyebutkan seperti itu. Barangkali keberadaan BPIP hanya dianggap masalah hilir belaka. Apalah BPIP itu dan bisa apa ia memperbaiki buruknya keadaan yang akarnya justru ada di tangan kekuasaan pemerintahan?
Taat Asas dan Perbaikan Kinerja Pemerintah
Pada seruan yang diletakkan pada butir ke 2 dinyatakan agar penyelenggara Negara secara konsekuen dan konsisten terus menjalankan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan, menegakkan hukum dan aturan yang berlaku, dan memberikan sanksi yang sangat tegas dan adil terhadap setiap pihak yang melanggar. Pada anak kalimat butir ini DBB juga menginginkan agar penyelenggara negara melaksanakan kewajiban tanpa tebang pilih dalam menghadapi musuh bersama, yakni pelaku praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Keresahan KUII atas praktik penegakan hukum dalam pemberantasan KKN selama ini tercermin kuat dalam butir ke 2 ini.
Seruan butir ke 4 memnita penyelenggara negara meningkatkan keberpihakan pada pengembangan ekonomi kerakyatan dan menghilangkan seluruh dominasi kekuatan pasar melalui peraturan perundang-undangan, layanan publik, subsidi dan insentif yang tepat sasaran, serta membangun iklim perekonomian nasional yang adil dan beradab, demi terwujudnya sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nada kritik pada butir ke 4 ini sebetulnya dapat menjadi sebuah narasi tanpa solusi, atau keluhan tanpa penyelesaian. Bahwa jika dibandingkan dengan pemahaman almarhum Hasyim Muzadi (2012), masalahnya justru terdapat pada software kenegaraan yang dihancurkan. Ketika itu ia menuding amandemen I hingga IV UUD 1945 sebagai keterlanjuran besar yang menjebol pertahanan rakyat jelata dalam pengelolaan sistem sumber. Tidak realistis lagi memperjuangkan nasib rakyat di tengah sistem neoliberalisasi yang beroleh jaminan pada konstitusi baru pasca amandemen.
Butir ke 7 menyeru Pemerintah agar dalam menyusun kebijakan Pendidikan nasional diarahkan pada terbentuknya generasi muda yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, produktif, kompetitif, berjiwa merdeka, berdaulat, percaya diri, dan berkepribadian luhur, tidak terpengaruh dengan faham-faham sekularisme, hedonisme, konsumerisme, dan liberalisme, serta mempunyai wawasan kebangsaan dan keagamaan yang moderat.
Memang pendidikan yang hanya bertujuan untuk menciptakan tenaga kerja robotik yang akan teralineasi dalam sistem perburuhan industrial tidak perlu filosofi. Dalam mekanisme seperti ini nilai yang seharusnya ditempatkan pada ketinggian terasa telah direduksi tajam oleh cita-cita yang dianggap menjadi paling suci oleh masyarakat perburuhan industrial yang tak lain adalah bentuk perbudakan canggih berasumsi efisiensi kebendaan atau materi. Terkadang di Indonesia hal-hal seperti ini diperjelas dengan kedangkalan kamuflase isu industri 4.0.
Seruan ke 9 meminta Pemerintah secara istiqomah menjalankan kebijakan luar negeri yang bebas aktif dengan berkontribusi lebih besar dalam menyelesaikan konflik yang melanda umat Islam di berbagai belahan dunia, menjaga perdamaian dunia dengan menjadi juru runding bagi negara-negara yang berkonflik, dan mensosialisasikan dan mengkampanyekan nilai-nilai Pancasila dalam menata harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara kepada masyarakat internasional, khususnya negara-negara yang dilanda konflik.
Banyak kejadian yang menyangkut kesulitan dunia Islam dan komunitasnya di berbagai belahan dunia yang tak direspon sepatutnya oleh pemerintah, termasuk kejadian terakhir yang sangat memilukan di India seiring diberlakukannya UU kewarganegaraan yang diskriminatif beserta kejadian-kejadian buruk yang menyusulnya hingga kini.
Peran Partai Politik
Pokok sorotan DBB terhadap partai politik ialah ketidakkonsekuenan dan ketidakkonsisten mengedepankan tanggung jawab kebangsaan dalam menjalankan fungsinya menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat terlebih dalam melakukan fungsi checks and balances. Pendidikan dan kaderisasi politik yang berkelanjutan tidak luput dari sorotan. Begitu juga peran aktif dalam membentuk budaya politik yang demokratis, modern, partisipastif, akuntabel dan menjunjung tinggi hak-hak rakyat. DBD tidak melewatkan sorotan atas oligarki politik dan orientasi kekuasaan dan politik praktis yang mengabaikan nilai-nilai luhur demokrasi.
Sinergitas Umat Islam
Butir ke 5 merekomendasikan dorongan terhadap segitiga strategis (penyelenggara negara dan umat Islam serta dunia usaha) untuk secara bersama-sama terus mengembangkan ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi dan keuangan syariah. Bahkan terdapat penekanan yang kuat untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai penyangga perekonomian nasional, melalui pengembangan industri halal, keuangan syariah, social fund (ziswaf), dan bisnis Syariah.
Sejak reformasi masalah kesyariahan di Indonesia kerap menjadi sorotan penuh curiga dari dalam dan luar negeri yang betapapun terus diusahakan untuk diredam tetap saja mengemuka. Upaya untuk melindungi umat Islam sebagai konsumen terbesar di Indonesia dengan UU Jaminan Produk Halal yang diterbitkan pada masa jabatan Presiden SBY (2014) adalah salah satu bukti. Pemerintahan Joko Widodo–JK terbukti sangat lambat atau malah acuh tak acuh dalam menjalankan kewajiban memenuhi tuntutan yang tertuang di dalam UU ini.
Persatuan umat Islam begitu penting. Karena itu KUII VII berusaha menarasikan ajakan kepada seluruh umat Islam untuk lebih mengedepankan semangat persatuan sesama umat Islam, mengembangkan pemahaman keagamaan moderat (wasathiyat al-Islam). Dipandang penting oleh KUII VII untuk menghindarkan diri dari praktik-praktik keagamaan yang mengarah pada liberalisme, sinkretisme, sekularisme dan pluralisme agama. Kerjasama secara sinergis, terkoordinasi, berkesinambungan antarormas Islam dan lembaga Islam dalam meningkatkan kualitas kehidupan umat Islam di berbagai bidang beroleh perhatian DBD.
KUII VII yang diharapkan dibuka oleh Presiden Joko Widodo ini dengan tegas mengajukan dorongan terhadap ormas dan kelembagaan Islam agar lebih mengoptimalkan perkembangan teknologi informasi untuk kepentingan dakwah, pendidikan Islam, ekonomi, dan membentuk big data umat yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pembangunan umat Islam dan kehidupan beragama, serta mencegah berbagai upaya pembelokan isu atau penggiringan opini yang tidak menguntungkan umat Islam.
Big data adalah istilah yang menggambarkan volume besar data yang membanjiri kehidupan sehari-hari. Istilah “big data” mengacu pada data yang sangat besar, cepat, atau kompleks sehingga sulit atau tidak mungkin untuk diproses menggunakan metode tradisional. Tindakan mengakses dan menyimpan sejumlah besar informasi untuk analitik sudah ada sejak lama.
Kebutuhan atas pendayagunaan big data, betapa pun begitu mendesaknya saat ini, jelas sangat tak mnudah untuk direalisasi meski dengan slogan menyusul era industri 4.0.
Masalah Serius Lainnya
KUII VII, kata Ketua Panitia Pengarah Anwar Abbas, juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi penting lainnya. Karena masalah teknis persidangan dalam KUII VII rekomendasi yang, mendorong legislator agar menolak dengan tegas RUU Omnibus Law tentang Cipta Kerja jika RUU tersebut tidak berkesesuaian dengan kemaslahatan umat dan kemajuan bangsa serta jika bertentangan dengan asas-asas hukum yang ada, akhirnya tidak mengemuka.
Begitu pun rekomendasi yang menyatakan dukungan terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU PKS, RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU KUHP selama RUU tersebut berkesesuaian dengan ajaran agama, kemaslahatan umat dan bangsa, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Harapan Pemerintah
KUII VII mengusung tema “Strategi perjuangan umat Islam untuk mewujudkan NKRI yang maju, adil dan beradab”. Dalam pidato pembukaan Wakil Presiden RI KH Ma’aruf Amin mereview sejarah perjuangan Rasulullah Muhammad dengan mengatakan “Ketika Rasul membangun umat dari jahiliyah menjadi ‘khaira ummah’ (umat terbaik) tidak membutuhkan waktu relatif lama, 23 tahun. Sekarang predikat ini sudah lama hilang, tercabik-cabik. Di Timur tengah malah terjadi saling berperang. Padahal mestinya umat Islam ini bagaikan satu tubuh. Jika satu sakit, bagian tubuh yang lain merasakannya.”. (*)