Melayu harus bangkit. Audit semua kendala struktural dan kultural masa lalu dan songsong masa depan yang cerah. Inherent di dalamnya adalah kewajiban bagi pemerintah untuk memberi affirmasi untuk strategi akselerasi Melayu.
Kini konsep Melayu berkembang tak hanya Melayu dalam arti puak-puak yang umumnya berdomisili di sekitar pesisir pantai di seluruh kepulauan Indonesia dan lebih khusus bukan saja kalangan yang pada tahun 1946 mengalami perlakuan buruk dalam politik.
Beberapa bulan lalu saya ke Kuala Lumpur mengikuti sebuah forum antar bangsa berupa Seminar Etnosains Dunia Melayu. Di sana disajikan data-data yang merujuk pada kejayaan masa silam dalam lapangan sains, termasuk dalam hal farmasi dan ketabiban. Hadir wakil-wakil lembaga akademik dari seluruh dunia dalam forum itu, termasuk dari Madagaskar.
Melayu adalah sebuah konsep yang ditolak oleh penjajah karena identitasnya. Melayu adalah muslim dan begitu sebaliknya bahwa jika sudah bukan muslim (lagi) dikategorikan bukan lagi Melayu. Dalam pemahaman sejarah Melayu bukanlah hanya Indonesia dan Malaysia, tetapi juga Singapura, Mindanao, Burma, Champa dan lain-lain. Kecuali Indonesia dan Malaysia, boleh disebut Kemelayuan di tempat-tempat itu mengalami krisis yang tajam saat mereka persintuhan dengan dahsyatnya penjajahan yang menistakan dari Barat,
Doeloe ada konsep penjajah Barat menamai wilayah yang didiami Melayu sebagai Dvipantara. Lalu bergeser menjadi Nuswantara, Melanesia, Melayunesia dan kemudian Indonesia. Dari karakteristiknya, Indonesia lebih tepat sebagai Melayunesi. Itu penjelasan sejarah. (*)
Artikel ini disarikan dari makalah yang paparkan pada acara “Dialog Sejarah Napak Tilas Kejayaan dan Keruntuhan Kesultanan Langkat, Menguak Tabir Revolusi Sosial Kekejaman Partai Komunis Indonesia Tahun 1946” di Tanjung Pura , November 2019.
Shohibul Anshor Siregar: Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (n’BASIS)