Tetapi kota itu bukan ruang hampa yang dipenuhi robot yang remotenya ada di tangan seseorang.
Kerap bicara Medan secara tak disadari dibatasi sendiri oleh pembicaranya ke dua arah berbeda.
Arah pertama tarikan hasrat membanding dengan masa lalu dengan kadar melankolisme. Akan selalu ada sebutan Parijs van Sumatra. “Hedonisme” Belanda memang tak menyebut “Holland van Sumatra”, entah mengapa ya Angku Jaya Arjuna (pemerhati lingkungan Sumut) pasti punya data akurat untuk menjelaskannya. Itu juga yang terjadi ketika Parijs lainnya dinobatkan sebelumnya, yakni Parijs van Java.
Keterpukauan masa lalu itu sedikit melankolis juga rasanya. Tetapi itu sudah bagian dari sikap yang dilazimkan ketika bicara Medan.
Oktober lalu sejumlah jurnalis mengajak saya ke sebuah seminar di Tanjungpura. Seru.
Seorang narasumber pembicara buka arsif yang diperolehnya dari Leiden berupa sebuah peta. Semangat ia berucap, doeloe kota ini dibagi beberapa wilayah pemukiman. Di sini orang Melayu. Di sini orang Tionghoa dan Tìmur Asing, di sini, di sini dan seterusnya.
Saya terkekeh dan meminta dengan hormat “marilah kita teteskan air mata mengenang kejahatan itu”.
Jika masih ada yang ingin mereplikasi segmentasi spatial itu, saya anggap ia belum ihlas proklamasi 17 Agustus 1945.
Sekarang kembali jurang sosial, politik dan èkonomi diperkokoh seolah keniscayaan pembangunan. Kita ini ingin adil. Kita ini ingin makmur. Tentu tidak dengan cara Belanda lagi dan Belanda lagi.

Seminar itu selesai dan saya mencatat mentalitas yang mengemuka atas kegilaan merogoh recehan dari tourism. Itu tak salah, tetapi agar betul jangan sampai menjadi kegilaan.
Di sinilah saya teringat tulisan seseorang tentang bagaimana sebuah komunitas kota dirampas memori dan kepribadiannya oleh kolaborasi kekuatan dominan yang secara niscaya bisa mendikte pembijaksana.
Arah kedua ialah membanding dengan kota di dalam dan di luar negeri. Mereka tanpa sadar merasa benar sekali menyebut Bandung, Jogja, Surabaya dan nama-nama Kamil, Risma dan lain-lain. Mereka juga bercerita kota-kota di Barat (Eropa dan Amerika). Ya, Titok cukup tipikal dalam kekonyolan ini ketika ia bilang Jakarta itu kampungan dibanding kota-kota di China yang baru ia kunjungi (sayang Tito tak sebut pejabat korup China banyak ditembak mati meski di negara lain mereka menyogoki pejabat agar mudah disubordinasi).
Medan sarat dengan bebannya sendiri dan kekuatan-kekuatan kelas elit adalah keniscayaan bagi siapa saja. Belasan rumah ibadah diruntuhkan ke bumi tanpa sebuah rasa bersalah.
Mungkin massifikasi pola ini terjadi juga di mana-mana di seluruh Indonesia.
Tetapi kita di Medan adalah sebuah entitas rumit dan pelik yang susah diurai karena sebuah rencana baru disebut rencana jika ia kebijakan yang menguntungkan elit ekonomi yang tentu saja dengan memperbudak penguasa dan politisi pemburu recehan.
Katua, bukan tak penting mereview sejarah. Sangat penting. Juga bukan tak perlu mengambil pelajaran dari kota-kota lain di dalam dan luar negeri.
Tetapi kota itu bukan ruang hampa yang dipenuhi robot yang remotenya ada di tangan seseorang.
Di sinilah sebuah kesadaran perlu hadir. Atas dasar apa kota ini akan dibangun. Jawabnya konstitusi. Kita coba sedikit mereview pembukaan UUD 1945.
Mungkin kita bisa mengambil 5 gagasan pokok:
Pertama, kemutlakan kemerdekaan. Arti merdeka bukan proklamasi katua, dan juga bukan lapangan merdeka. Merdeka itu tak terjajah dalam segala bentuk. Baik oleh negara asing maupun oleh bangsa sendiri.
Kedua, melindungi. Apa yang harus dilindungi katua? Segenap tumpah darah dan seluruh bangsa. Pekan lalu seorang jurnalis bertanya tentang ditemukannya mayat di depan sebuah minimarket. Saya bilang apa pun penyebab kematiannya negara harus merasa gagal karena manusia bukan statistik. Kita wajib mengembangkan cara berfikir negara dengan sikap melindungi.
Ketiga, memajukan kesejahteraan umum. Katua, secara copy-paste ada juga model-model yang dikembangkan untuk mengukur keberhasilan memajukan dan mensejahterakan.
Kalau katua ingat soal tengkar dua pejabat dari level berbeda bulan lalu, inti masalah adalah subjektivisme pengukuran.
Betapa tidak, indeks demokrasi indonesia misalnya tak memerlukan keterkaitan demokrasi dan politik dengan ekonomi. Model pengukuran itu hanya perlu, gamblangnya, pilkada dan pilpres, pileg dan sebagainya dengan tak hirau rakyat melarat dalam derita kolektif kemiskinan struktural karena pertumbuhan (growth) adalah di atas segalanya. Si Gellok pernah bertengkar dengan si Sordak soal ini.
Kata Sordak jika cuma membawa negara asing berusaha di Indonesia dan hasilnya, termasuk pekerja dan ahlinya, dibawa dari negaranya, apalah perlunya berperang dan mati karena mengusir penjajahan?
Baru kemaren kalian bikin pengganti bnadar polonia, pelabuhan belawan dan jalan serta jalur kretaapi sepanjang lintasan pulau memanjang ini disediakan Belanda dengan syarat jangan ganggu dia merampok Indonesia sesuka hati. Kebanggaan apa?
Pertengkaran Gellok dan Sordak seru, dan teman-teman mereka segera kelihatan mana Cebong mana Kampret dan mana yang kehilangan nalar serta yang rendah tak ketulungan kadar literasi.
Keempat, mencerdaskan kehidupan bangsa. Mungkin kita şegera teringat pendidikan. Jadi industri ijazah atau jadi kawah candradimuka? Di Medan ada 21 Kecamatan, 151 Kelurahan dan 2001 Lingkungan. Katua tahu Kecamatan mana yang belum punya SMÀ Negeri? Itu elementer sekali masalahnya katua. Negara membiarkan pendudikan jadi komoditas.
Di mana hampir setiap kabupaten ada perguruan tinggi katua? Di Sumut, milik Kemenduobud cuma USU, Politeknik dan Unimed. Rakyat harus membayar banyak agar bisa pintar dan negara menonton tragedi itu.
Sama halnya dengan kesehatan, komersialisasi dan pengukuhannya sebagai komoditi adalah kiamat nyata.
Kelima, ikut menertibkan dunia. Andil apa yang bisa duberikan? Perasaan ingin punya andil itu perlu diasah secara peka pada setiap warga negara agar ia tahu sebagai warga dunia tak boleh tak adil dan tak boleh menjadi predator bagi yang lain.
Berita tentang Natuna misalnya, disebut Jokowi datang kapal China dan Pengawalnya menghilang. Juga disebut paranormal bisa melakukan sesuatu atas arogansi China di sana. Sebetulnya bisa juga orang-orang bodoh ini dinstruksikan agar melenyaokan China dari permukaan bumi. Ha ha.
Sebelumnya duberitakan Mahfud MD kerahkan ratusan nelayan ke Natuna.
Entah untuk maksud memberitahu Xi Jing Ping bahaw Natuna itu ada pemiliknya yakni Indonesia atau untuk menjadi tameng hidup, tak jelas.
Warga negara tak beroleh informasi yang benar dan pendidikan kewarganegaraan yang benar agar dapat aktif berpartisipasi dalam menjaga perdamaian abadi termasuk mengeritik pemerintah jika sudah rada tak peduli dengan perdamaian abadi dan penertiban dunia.(*)
Shohibul Anshor Siregar, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)