Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Salah satu masalah yang selalu dipergunjingkan di dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah soal kelahiran. Ada yang menggugat bahwa IMM lahir hanya sekadar menjaga-jaga (antisipasi) jika sewaktu-waktu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan oleh rezim, harus ada wadah penampungan untuk melanjutkan perjuangan.
Almarhum Djaginduang Dalimunthe tidak pernah menanggapinya secara emosional. Di front perjuangan sesama angkatan muda di Medan ia berteman dengan tokoh-tokoh seperti Fanani Lubis, Zakaria Siregar, Dalmi Iskandar, OK Kamil Hisyam, Usman Pelly dan lain-lain.
Menurutnya wacana itu tak pernah ia dengar dan rasakan. Saya hanya tahu dan terus melakoni bahwa saat itu ada dua poros besar gerakan. Pertamayang berafiliasi dengan PKI dan kami menentangnya. HMI, IMM, Pemuda Muhammadiyah dan lain-lain sama di hadapan musuh.
Mungkin secara kalkulasi jumlah kader HMI waktu itu jauh lebih besar dibanding IMM dan jika sasaran pertama untuk diberangus bukan organisasi yang lebih kecil ya itu sah-sah saja dan masuk akal secara politik. Tetapi harus tetap dibayangkan semua yang berfront satu nafas perjuangan menentang PKI datanya pastilah jelas di pihak sana (ia tak merinci maksud pihak sana itu) dan jika malapetaka terjadi itu pastilah seperti gempa yang akan meluluhlantakkan semua benda dalam radius episentrum kekuatan gepa, tak perduli pemberani, penakut, mayoritas, minoritas, yang baik budi mau pun yang jelek budi.
“Bagaimana mungkin kami mendirikan sebuah organisasi hanya untuk cadangan saja?” tanya Djaginduang Dalimunthe sembari menjelaskan bahwa Muhammadiyah sebagai induk organisasi telah sejak lama dalam mekanisme perkaderannya mementingkan generasi penerus dan jika komponen mahasiswa (IMM) belakangan terbentuk itu hanya menjelaskan bahwa salah satu komponen elit terpenting Indonesia saat itu ialah kaum terdidik bernama mahasiswa berhubung kampus saja masih sangat langka waktu itu
Bayangkanlah, kata Djaginduang Dalimunthe, Muhammadiyah sebelumnya sudah memiliki organ-organ jenjang kaderisasi seperti Pemuda Muhammadiyah, Hizbul Wathon dan Nasyi’atul Aisyiyah. Di Medan saja cikal bakal perguruan tinggi Muhammadiyah baru lahir pada tahun 1957 meski pun pada Muktamar Muhammadiyah ke-25 di Jakarta (1936) keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi itu sudah dicetuskan. Di dalam Muktamar yang berlangsung pada periode kepemimpinan KH. Hisyam (1933-1937) inilah juga telah dibahas pemikiran mengenai perlunya membina secara khusus mahasiswa yang sehaluan dengan tujuan Muhammadiyah.
Namun itu tak berarti Muhammadiyah tidak merasa memiliki dan ikut membesarkan HMI. Malah pada waktu itu tak jarang image yang memosisikan HMI sebagai adalah anak Muhammadiyah yang diberi tugas khusus untuk membawa mahasiswa dalam misi dan visi yang dimiliki oleh Muhammadiyah, sebab di dalam HMI itu terdapat tokoh-tokoh Muhammadiyah yang secara aktif mengelola HMI. Sebaliknya melalui kaderisasi di dalam HMI, Muhammadiyah pun beroleh manfaat sebab tak sedikit tokoh Muhammadiyah memiliki sejarah kekaderan di dalam HMI.
Kita tahu, kata Djaginduang Dalimunthe, baru pada tanggal 18 Nopember 1955 keinginan Muhammadiyah mendirikan PTM ini, PP Muhammadiyah melalui struktur kepemimpinannya membentuk departemen pelajar dan mahasiswa yang menampung aspirasi aktif dari para pelajar dan mahasiswa. Karena itu, tegasnya, IMM lahir memang merupakan suatu kebutuhan Muhammadiyah dalam mengembangkan sayap dakwahnya dan sekaligus merupakan suatu aset bangsa untuk berpartisipasi aktif dalam kemerdekaan ini. (*)
Penulis adalah Ketua DPD IMM Sumut Periode 1986-1988, Dosen FISIP UMSU dan KoordinatorUmum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)