TAJDID.ID-Medan || Pengamat sosial-politik FISIP UMSU Shohibul Anshor Siregar mengungkapkan, bahwa dirinya tidak terlalu terkejut dengan pernyataan Walikota Medan Dzulmi Eldin yang menegaskan tidak akan maju pada pilkada 2020. Keraguan (Eldin) itu sudah kelihatan sejak usai pilpres.
“Ramadhan lalu misalnya, ia minta kepada saya agar tidak usah ada arah pembicaraan tentang apakah ia akan masih maju atau tidak pada pilkada 2020. Tetapi waktu itu ia hanya ingin dicatat bahwa haknya untuk maju masih ada sesuai regulasi yang ada,” ujar Shohibul.
Namun, kata Shohibul, terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dan layak jadi cataatan.
Pertama, ini merupakan bagian dari perkuatan resentralisasi yang ditindaklanjuti dari sifat oligarki partai politik. Demokrasi kita telah dimatikan sejak UU Pemilun No 17 tahun 2017 diundangkan karena presidential threahold 20 persen, tiadanya klausul calon perseorangan, tiadanya cuti petahana dan sebagainya.
Kedua, bahwa demokratisasi Indonesia bermasalah terus karena telah digiring ke tradisi tunggal hegemoni Jakarta. Pengabaian hak rakyat dan tokoh daerah sudah dimulai sejak zaman SBY.
Shohibul memeberikan beberapa contoh, misalnya Denny Ilham Panggabean yang kehilangan legitimasi sebagai politisi daerah sejak dilarang mrnjadi calon walikota Medan 2010 oleh pimpinan partainya di Jakarta, meski dalam kapasitas sebagai Ketua partai dan Ketua DPRD Kota Medan.
kemudian Rudolf M Pardede yang Gubsu dan Ketua DPD PDIP Sumut namun tak diberi kesempatan oleh pimpinan partainya di Jakarta, malah menunjuk mantan PangdamTri Tamtomo Panggabean-Benny Pasaribu yang kalah dalam pilkada itu berhadapan dengan Syamsul Arifin-Gatot.
Begitu juga HT Erry Nuriadi yang mestinya petahana pilgubsu 2018, namun dalam kapasitasnya sebagai ketua Nasdem Sumut yang sudah mendeklarasikan diri sebagai calon berpasangan dengan ketua Golkar Ngogesa Sitepu, malah wajib ikut membawa dan mendaftarkan calon usungan partainya ke KPU.
“Jadi pengalaman Eldin tidak beģitu spesifik dalam cerita demokratisasi politik Indonesia yang begitu buruk dan secara meyakinkan terus mengalami kekeroposan,” sebutnya.
Shohibul mengatakan, tidak akan ada orang di Indonesia yang akan bertanya mengapa para korban itu (Denny Ilham Panggabean, Rudolf M Pardede, HT Erry Nuradi dan lain-lain) tak melawan. Kita semua sangat merasakan, meski tak seorang pun bisa dan berani membuktikannya secara hukum, bagaimana kekuasaan eksekutif memaksakan keinginannya untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf. “Kita sedang dihadapkan pada tradisi baru demokrasi politik sentralisme yang tidak sehat.” kata Koordinator n’BASIS ini.
Sayangnya, lanjut Shohibul, kewarasan di luar institusi politik pun ikut merosot tajam. Terbukti adanya lembaga yang mestinya berporos pada nilai akademik malah ikut mendorong hegemoni arah baru resentralisasi demokrasi politik ini. Adalah momentum yang memperjelas identifikasi kekuatan politik sentralisme nasional yang dilihat oleh sebuah perguruan tinggi hingga dalam survey mereka ada wacana putera Jokowi akan maju Pilkada 2020.
“Betapa tak masuk akalnya, namun terbaca dalam hasil sebuah survey di Medan bahwa Kahiyang Ayu puteri Jokowi pun punya peluang maju dalam pilkada Kota Medan 2020,” katanya.
Kembali soal pernyataan Eldin, Shohibul menilai bahwa Eldin kurang faham bahwa ia tak boleh hanya bekerja. Eldin perlu juga mengikuti mesin popularisme dan mesin pasar elektorasi untuk memanipulasi opini. Disebutnya, sepanjang sejarah mungkin Eldinlah Walikota yang paling banyak dicaci dan ia memilih diam dan membiarkan dirinya diterpa opini caci maki.
“Padahal ia tak seburuk yang digambarkan opini yang terbentuk. Eldin terlalu jujur untuk menjadi politisi dalam pentas politik yang menjadi trend saat ini,” tegasnya..
Shohibul menuturkan, bahwa tahun 2015 ia datang ke pimpinan PDIP untuk meminta Akhyar Nasution menjadi wakilnya dan menyatakan jika bukan dengan kader PDIP ini ia tak akan maju Pilkada. Saat itu Eldin sudah beroleh dukungan yang secara jumlah sudah lebih dari cukup meski tanpa PDIP.
Kemudian secara umum, Shohibul melihat saat ini ada dua profil figur pemimpin daerah dan figur calon pimpinan daerah yang akan tampil melalui arena pilkada 2020.
Pertama, yang berdiri pada wilayah politik real atau imaginatif Cebong baik yang telah mau pun akan menjadi cabang kekuasaan Jokowi di daerah.
Kedua, yang pernah tercatat berdiri pada wilayah politik jejaring Kampret atau wilayah persepsi atau imaginatif Kampret.
Menurut Shohibul, realitas politik ini bisa diperbaiki jika rujuk politik Jokowi-Prabowo berlangsung konsolidatif hanya dengan rumus: Prabowo diberi jabatan setara menteri besar yang membawahi para Menteri Koordinator.
“Kemudian, seluruh partai yang lolos parliamentary threshold diberi jatah menteri dengan basis perhitungan jumlah berdasarkan persentase perolehan suara pemilu 2019 yang sekarang sedang dipeetengkarkan di mahkamah konstitusi,” tutupnya. (*)