Saya tidak begitu tahu bagaimana bisa ada ISIS, Al-qaeda dan gerakan-gerakan berjuluk teror lainnya di Indonesia. Ada pula cerita tentang orang-orang bodoh yang membuat bom dan mati dengan bom itu. Apakah Anda tahu bahwa sekarang orang-orang di Indonesia mulai tahu bahwa sebelum Belanda dan orang Eropa lainnya datang untuk menjajah, pulau-pulau kaya di Nusantara adalah negara-negara Islam yang diperintah oleh para sultan? Itu telah dilenyapkan oleh sejarah. Tetapi itu bukan sebuah alasan bagi mereka untuk tak mengakui Pancasila yang beberapa insti substantifnya telah dihapus untuk prinsip Indonesia satu.
Bagaimana sejarah dapat melupakan bahwa orang Eropa yang menjajah itu juga datang dengan membawa agama yang kelak akan menjadi rival karena dengan kelebihan modal dan teknologi serta jaringan internasionalnya setiap hari mereka mampu menjalankan program pemurtadan di tengah-tengah kemiskinan struktural yang diwarisi dari kekejaman orang Eropa yang merampas martabat mereka?
Sekarang dunia telah menutup mata tentang kemiskinan struktural itu. Undang-undang dasar negara dan sejumlah undang-undang turunannya melegalkan pengabaian kemiskinan besar-besaran (kemiskinan struktural), karena ternyata negara agraris itu telah dengan diam-diam menguasakan 74% dari tanahnya untuk dikendalikan oleh hanya 2% dari kelompok yang mendapat hak istimewa, termasuk karena faktor sejarah pengistimewaan oleh Belanda ketika masih menjajah di sini. Bisakah sebuah persatuan digembar-gemborkan dalam sistem sosial yang menindas?
Saya meragukan apa yang selalu dimaksudkan di balik kata toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia, karena sejauh yang saya tahu hal yang sama dilakukan di wilayah-wilayah Timur Tengah seperti dilaporkan oleh Saba Mahmood dalam beberapa hasil kajiannya. Dia sangat yakin bahwa toleransi dan kebebasan beragama dalam kasus yang dia teliti hanyalah upaya untuk melindungi program pemurtadan di tengah-tengah komunitas dan bangsa-bangsa Muslim.
Jika sekarang ada riak-riak kecil yang secara sekelebatan tertangkap oleh mata yang paling terang, ternyata, sayangnya, itu telah dianggap layak disebut sebagai intoleransi dan bahkan ekstrimisme. Semua itu hanyalah akibat, karena siapa pun jangan pernah sekali-kali melupakan pepatah Indonesia “Tidak ada asap tanpa api”.
Secara obyektif menyelidik dan belajar tentang Indonesia menurut saya harus dianggap sebagai bagian integral dari peradaban universal, oleh siapapun, bangsa manapun, dan negara manapun. Mereka harus menghargai revolusi martabat bagi negara-negara eks-jajahan yang, lucunya, sering, jika tidak selalu, dilupakan bahwa dengan cara penjajahan itu pula jelas satu bangsa dinistakan atas nama kesakralan nama Tuhan (yang lain) pula.
Ketika marak pemberitaan pro dan kontra tentang reuni 212, segala macam tuduhan bermunculan. Blow up pemberitaan tentang hasil studi semberono yang memojokkan umat Islam Indonesia dengan mengatakan sejumlah masjid terpapar radikalisme, menjadi bumbu pelengkap yang pahit setelah sejumlah kampus dinyatakan juga terpapar radikalisme.
Apa yang mau dicari dan kemana sebetulnya arah mau dituju? Bangsa ini sudah harus mampu menghitung jaraknya dengan tepi jurang. Tuduhan-tuduhan radikal, tak Pancasilais, sudah harus diakhiri. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).