Kualitas Manusia
Bagi Muhammadiyah, salah satu agenda gerakan pencerahan yang harus terus menerus diikhtiarkan secara lebih masif dan bersifat transformatif ialah mengembangkan kualitas manusia Indonesia agar menjadi insan yang berkemajuan. Yaitu insan atau manusia yang memiliki jiwa, pikiran, sikap, dan tindakan-tindakan yang maju dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama dan kebudayaan yang hidup di tubuh bangsa Indonesia.
Khusus bagi umat Islam tentu saja kemajuan itu didasari, dibingkai, dibimbing, diarahkan, dan diaktualisasika dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam, yang mengandung niali-nilai kemajuan dan pencerahan. Islam sebagai agama yang mencerahkan (din al-tanwir) dan memajukan peradaban (din al-hadlarah) harus melekat menjadi bagian penting dari pandangan hidup setiap muslim baik individual maupun kolektif. Dari pandangan hidup muslim yang mencerahkan dan berkemajuan itulah lahir atau terbentuk kehidupan masyarakat Indonesia yang berkemajuan di segala bidang.
Lebih jauh lagi, akan lahir atau terwujud peradaban Indonesia yang utama. Karenanya diperlukan strategi pencerahan dengan melakukan tranformasi kebudayaan untuk membangun atau mengembangkan kualitas manusia Indoneisa yang berkemajuan. Manusia Indonesia harus tumbuh menjadi insan yang berkualitas maju seperti gemar membaca, mencari ilmu, cerdas, kritis, kreatif, inovatif, disiplin, mandiri, tanggungjawab, dan sifat-sifat berkemajuan lainnya agar mampu dari berbagai ketertinggalan menuju pada kemajuan hidup yang berkeunggulan.
Karakter manusia Indonesia yang berkemajuan tersebut harus disertai dengan nilai-nilai kemajuan (keunggulan) moral-spiritual seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat moral utama lainnya. Dalam konteks kehidupan kolektif bemasyarakat dan berbangsa sifat-sifat maju tersebut juga harus diimbangi atau disertai dengan nilai-nilai sosial yang utama seperti solidaritas, toleransi, empati, harmoni, dan lainlain. Keunggulan moral-spiritual dan sosial tersebut harus benar-benar autentik, tidak bersifat kulitluar (pesona lahiriah) dan sekadar menjadi jargon seperti selama ini sering ditampilkan, tetapi teraktualisasikan dalam konsistensi kata dan laku. Apalagi sekadar jadi komoditi politik murahan. Warga bangsa harus terus dicerahkan kualitas dirinya agar tumbuh menjadi manusia Indonesia yang cerdas dan maju sebagaimana spirit dan cita-cita nasinoal yang dikehendaki para pendiri negara ini.
Bukan menjadi manusia yang hipokrit dan penuh topeng pesona, kata tak sejalan tindakan, tidak bertanggungjawab atau mudah melepaskan amanat, tidak berdisiplin murni, malas, menerabas, jiwa budak, bebal, dan sifat-sifat lemah karakter lainnya sebagaimana pernah ditulis oleh antropolog Koentjaraningrat dan budayawan Mohtar Lubis. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana dalam polemic kebudayaan tahun 1933, bahwa jika bangsa Indonesia ingin maju sejajar dengan bangsa-bangsa barat harus mampu menunjukkan diri sebagai manusia modern dan membuang alam pikiran dan sikap mental yang “pra-Indinesia”.
Dalam transformasi manusia Indonesia yang berkemajuan tersebut meniscayakan strategi kebudayaan, termasuk pendidikan, yang mencerahkan. Dalam mengembangkan kebudayaan diarahkan pada pembentukan kebudayaan Indonesia yang modern atau berkemajuan sesuai nilainilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, termasuk nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional yang dikembangkan bersifat integratif antara kemampuan merawat nilai-nilai lama yang baik dan mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik, termasuk kesediaaan untuk mengadopsi nilai-nilai budaya luar sejauh hal itu baik dan positif untuk kemajuan. Nilai-nilai budaya khas Indonesia yang dikembangkan jangan kembali ke belakang yang sifatnya lapuk, yang oleh WS Rendra disebut kebudayaan “kasur tua”.
Dalam buku “Indonesia Berkemajuan” (2014) Muhammadiyah memandang bahwa sebagai bagian dari strategi kebudayaan, ikhtiar membangun Indonesia Berkemajuan menuntut dikembangkannya pendidikan yang mencerahkan. Kutipan lemgkap dari pemikiran dalam buku tersebut bahwa, Indonesia Berkemajuan meniscayakan dukungan sumberdaya manusia yang cerdas dan berkarakter utama. Manusia yang cerdas adalah manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki kekuatan akal budi, moral, dan ilmu pengetahuan yang unggul untuk memahami realitas persoalan serta mampu membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna bagi terwujudnya cita-cita nasional. Manusia Indonesia yang cerdas memiliki fondasi iman dan taqwa yang kokoh, kekuatan intelektual yang berkualitas, kepribadian yang utama, dan menjadi pelaku kehidupan kebangsaan yang positif sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sumberdaya manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter utama hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pendidikan tersebut dalam prosesnya tidak hanya menekankan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi sekaligus sebagai proses aktualisasi diri yang mendorong peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan berkeadaban mulia.
Karenanya, pendidikan nasional yang selama ini berlaku harus direkonstruksi menjadi system pendidikan yang mencerahkan, dengan visi terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia, dan berkemajuan. Sedangka misinya ialah: (1) Mendidik manusia agar memiliki kesadaran ilahiah, jujur, dan berkepribadian mulia; (2) Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki jiwa pembaruan, berfikir cerdas, kreatif, inovatif, dan berwawasan luas; (3) Mengembangkan potensi manusia berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wirausaha, dan kompetetif; (4) Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan ketrampilan sosial, teknologi, informasi, dan komunikasi; (5) Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, daya-cipta, dan kemampuan mengapresiasi karya seni-budaya; dan (6) Membentuk kader bangsa yang ikhlas, bermoral, peka, peduli, serta bertanggungjawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
Pendidikan nasional yang holistik tersebut melibatkan seluruh elemen bangsa sehingga menjadi gerakan dan strategi kebudayaan nasional yang menyeluruh menuju kemajuan hidup bangsa yang bermartabat. Jumlah penduduk Indonesia yang besar memiliki arti strategis bagi pengembangan sumberdaya manusia yang unggul dan berfungsinya lembaga pendidikan holistik menuju Indonesia berkemajuan.
Oleh karena itu, kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi setiap warga Negara harus menjadi tanggungjawab pemerintah secara mutlak. Masyarakat perlu menyadari bahwa jumlah yang besar tanpa didukung dengan kualitas yang tinggi tidak akan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa-bangsa lain di Asia seperti Cina, Jepang, dan India berkembang menjadi kekuatan baru di dunia, yang berpeluang menggantikan kekuatan ekonomi Barat. Itu semua dimungkinkan karena ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas unggul.
Pendidikan nasional selain mampu menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas juga dapat membentuk watak perilaku utama. Dalam kehidupan masyarakat, karakter utama itu muncul dalam sifat keteladanan, keadilan, kejujuran, kebenaran, keberanian, kemerdekaan, kedisiplinan, dan tanggungjawab. Nilai-nilai utama tersebut harus melekat menjadi karakter bangsa untuk melawan penyakit mental yang cenderung hedonis, konsumtif, dan menerabas, yang menyebabkan bangsa Indonesia tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
Dalam transformasi kebangsaan itu tidak kalah penting transformasi elite pemimpinnya di seluruh lapisan struktur, karena baik dan buruknya rakyat tergantung para pemimpinnya. Di sinilah Muhammadiyah mengedepankan pentingnya kepemimpinan profetik. Dalam buku “Indonesia Bekemajuan (2014) dideskripsikan tentang urgensi dan kualitas kepemimpinan profetik. Bahwa Indonesia Berkemajuan sangat ditentukan oleh karakter kepemimpinan dalam seluruh struktur kehidupan kebangsaan.
Negara dan bangsa berkemajuan memerlukan karakter kepemimpinan yang progresif, reformatif, inspiratif dan berakhlak mulia yang mampu menyerap aspirasi masyarakat dan mengkristalisasikan nilai-nilai etika keagamaan sebagai landasan kebijakan di pelbagai sektor kehidupan kebangsaan. Dalam konteks kehidupan kebangsaan, kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang memiliki komitmen terhadap kebenaran, mendorong terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi, berpihak kepada hak-hak masyarakat, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya.
Kepemimpinan profetik memiliki kualitas ruhaniah yang memadukan keseimbangan hubungan dengan Tuhan dan dengan sesama umat manusia serta lingkungannya untuk membangun peradaban hidup yang utama. Kepemimpinan profetik merupakan perpaduan antara kualitas kenegarawanan dengan kemampuan transformatif, yakni kepemimpinan yang berkarakter dan berkepribadian kuat, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, mampu melakukan mobilisasi potensi, mengagendakan perubahan, dan memproyeksikan masa depan. Kepemimpinan yang dimaksud mampu memadukan kekuatan visi, pengambilan keputusan, memiliki kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas yang kuat sebagai manifestasi kenegarawanan, serta mampu memecahkan persoalan-persoalan bangsa.
Kepimpinan profetik dalam sebuah sistem pemerintahan dibangun di atas tonggak wawasan yang visioner. Yakni, kepemimpinan yang memberikan keteladanan dan bersikap adil terhadap semua golongan, bisa menumbuhkan potensi masyarakat untuk bersama-sama membangun negara yang adil makmur dan bermakna bagi setiap warga negaranya.
Kepemimpinan yang adil akan menghilangkan fanatisme sempit kelompok dan golongan. Kepemimpinan seperti ini akan bisa memobilisasi warga masyarakat untuk berjuang, berkorban dan bahkan rela mati demi pembangunan dan kemajuan. Tiadanya keteladanan pimpinan dan hilangnya sosok pemimpin yang amanah sangat berpengaruh bagi penegakan nilai-nilai seperti yang disebutkan di atas.
Kepemimpinan profetik memiliki kriteria sebagai berikut: (a) relijius, kata sejalan dengan tindakan, dan bertanggungjawab; (b) visi dan karakter kuat sebagai negarawan, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang diri sendiri, partai politik, dan kroni; (c) berani mengambil berbagai keputusan strategis dan memecahkan masalah-masalah krusial bangsa; (d) mewujudkan good governance, tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi, penegakan hukum, serta penyelamatan aset dan kekayaan negara; (e) menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri; (f) melepaskan jabatan partai politik dan fungsifungsi lain yang dapat menimbulkan konflik-kepentingan serta mengganggu jalannya pemerintahan dalam memimpin bangsa dan negara; dan (g) memiliki strategi perubahan yang membawa pada kemajuan bangsa.
Para pemimpin di berbagai sektor dan tingkatan harus memiliki dan menjunjung tinggi kebenaran (sidiq), kejujuran (amanah), menyampaikan kebenaran dan kejujuran (tabligh), dan cerdas dalam mengelola aset negara (fathanah). Demikian juga, para pemimpin harus menunjukkan keteladanan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keteladanan elite menjadi kunci penting bagi tumbuhnya kepercayaan, sebagai pusat identifikasi diri bagi rakyat, serta menjadi modal sosial dan ruhaniah yang berharga untuk kemajuan bangsa.
Khusus untuk membingkai kualitas kepemimpinan Indonesia lima tahun ke depan, kepemimpinan profetik itu dalam Tanwir 2014 di Samarinda kemudian dioperasionalkan ke dalam tujuh criteria pemimpin nasional khususnya calon presiden dan wakil presiden yaitu: (1) berjiwa relijius, taat beribadah, berintegritas tinggi, serta sejalan antara kata dan perilaku; (2) memiliki visi dan karakter kuat sebagai negarawan, yang mampu membangun solidaritas kebangsaan, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas diri sendiri, partai politik, dan kroni; (3) berani mengambil keputusan strategis dalam memecahkan masalah-masalah krusial bangsa dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab; (4) mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, tegas dalam memberantas korupsi, menegakkan hukum, menyelamatkan aset dan kekayaan negara; (5) menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman dari dalam dan luar negeri; (6) memiliki strategi perubahan yang membawa pada kemajuan bangsa; dan (7) berkomitmen pada aspirasi politik umat Islam serta mewujudkan Indonesia berkemajuan.
Penutup
Gerakan pencerahan memerlukan langkah pendakian yang terjal dan seringkali tidak populer. Gerakan ini memerlukan fondasi ideologi yang dibangun dengan keyakinan, pemikiran, dan praksis transformatif yang kokoh. Memilih gerakan pencerahan yang bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan umat dan bangsa sebagaimana sejarah Muhammadiyah generasi awal, akan berhadapan dengan sangkar-besi kekuatan tradisionalisme dan pragmatism yang terbiasa dengan raihan-raihan nilai-guna yang selama ini membuat dirinya nyaman, sehingga setiap perubahan berarti ancaman dan kehilangan.
Bagi gerakan sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah, gerakan pencerahan yang berat dan mendaki itu harus berhadapan dengan realitas alam pikiran yang hedonistik, materialistik, pragmatik, dan oportunustik yang selalu mengedepankan hal-hal yang bersifat sesaat. Selain itu, gerakan pencerahan juga meniscayakan konsistensi dari para pelaku perubahan itu sendiri, bahwa Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan mengubah keadaan suatu kaum atau bangsa apabila mereka sendiri tidak mau mengubah nasibnya (QS Ar-Ra’d [13]: 11).
Dengan pesan Al-Quran tersebut, berarti gerakan pencerahan dari Muhammadiyah untuk Indonesia berkemajuan hanya akan kahir manakala Muhammadiyah sendiri terlebih dulu harus cerah dan mencerahkan! Maukah dan mampukah para anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah berkomitmen kuat menghadapi rintangan dan tantangan yang terjal seperti itu demi mengusung gerakan pencerahan? Nashrun min Allah wa Fathun Qarib. (*)
Sumber: muhammadiyah.or.id
Comments 1