TAJDID.ID~Jakarta || Propam Polri bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap penyidik berinisial SR penyidik KPK dari Polri berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) Stefanus Robin Pattaju diduga memeras Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial, Rabu (21/4/2021), Diketahui, hal ini terkait perkara suap jual jabatan di pemerintahan Kota Tanjung Balai 2019,
Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi HUkum Indonesia ( Alpha) Azmi Syahputra mengungkapkan keheranannya, dimana KPK belum menentukan tersangkanya, malah keburu KPK sendiri mentersangkakan penyidiknya .
“Mengamankan perkara kok malah dirinya diamankan . Ini .senjata makan tuan,” kata Azmi Syahputra, Kamis (22/4).
Menurut Azmi, sekarang KPK berada pada titik nadir batas kepercayaan publik. Patriotisme KPK runtuh, dimana saat ini selalu diwarnai dengan perilaku problematika di tubuh organisasinya sendiri, mulai dari kasus pencurian barang bukti, gagal menggeledah, belum berhasil meringkus buronan Harun Masiku, hilangnya nama politisi dalam surat dakwaan, terakhir adanya dugaan oknum penyidik jadi makelar kasus sekaligus pemerasan kepada kepala daerah.
“Ini suatu ironi dan menambah catatan dalam sejarah KPK, dimana seorang penyidik jatuh terbalik jadi tersangka , dimana penyidik sudah tidak lagi menjaga citra, harkat dan martabat KPK.” kata Azmi.
“Tetapi demikianlah adanya KPK saaat ini, menjadi tidak terarah, kurang solid, personil di dalamnya sedang berhadap hadapan dengan masalah yang dibuatnya sendiri,” imbuh Azmi.
Azmi menilai, penyidik KPK yang ditangkap ini jelas melanggar kode etik sebagaimana peraturan Dewan Pengawas Nomor 01 Tahun 2020 tentang kode etik dan pedoman perilaku KPK dan sekaligus melanggar Hukum Pidana.
“Jadi tidak hanya sidang etik yang diterapkan pada pelaku, namun harus dihukum secara pidana. Dan ancamannya bagi pelaku wajib ancaman maksimal,” tegas Azmi.
Padahal, kata Azmi, sesbenarnya sudah ada larangan tegas bagi penyidik untuk tidak melakukan hubungan langsung atau tidak langsung atas sebuah perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangi.
Malah menurt Azmi dalam kasus Ini diperparah penyidik tega melakukan cara-cara ancaman bagi orang yang diperiksannya.
“Setelah ada rasa takut, ia meminta uang sebagai kompensasi penyelesaikan masalahnya. Penyidik Ini benar-benar meremukkan jiwa dan mental penyidik,” ujar Azmi.

Azmi menjelaskan, biasanya kasus seperti ini bermula dari penyimpangan prosedur Kemudian penyimpangan prosedur menghasilkan kolusi, runtuhnya etik hukum penyidik, dijual kewenangannya sehingga keadilan dijungkirbalikkan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
“Karenanya, ini harus ditindak tegas. Terpakan Pasal 12 Huruf E UU Tipikor 20 tahun penjara,” tegasnya.
Kemudian, lanjut Azmi, mengingat oknum penyidik ini melakukan perbuatannnya tersebut masih mengatasnamakan dalam menjalankan tugas jabatannya , maka tidak hanya personal penyidik yang dkenakan sanksi, maka harus diperluas pertanggungjawaban.
“Harus diminta pula pertanggungjawaban atasan langsung dan pimpinan KPK juga semestinya bertanggung jawab penuh menyelesaikan masalah ini,” kata Azmi.
Apapun argumentasinya, Azmi melihat pasca revisi UU KPK terbaru, secara kelembagaan dan personil internal KPK semakin kocar-kacir.
“Ini alarm buat pimpinan KPK, bahwa ada pengawasan leadership yang tidak tepat, sehingga anak buah (penyidik) berani menjual kewenangannnya dengan cara yang meruntuhkan integritas dan nama besar KPK yang ditakuti oleh koruptor selama ini,” tutup Azmi. (*)
Liputan: MRS