TAJDID.ID~Medan || Transformasi institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam dua dekade terakhir dinilai semakin bergeser dari spirit pelayanan publik menuju instrumen yang melayani kepentingan pasar dan elite. Hal ini disoroti dalam sebuah analisis kritisdari perspektif sosiologi politik.
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), menyatakan bahwa perubahan tersebut tidak lepas dari pengaruh kuat paham neoliberalisme yang mendorong negara untuk berperan sebagai “negara pidana” (penal state) dibanding “negara kesejahteraan” (welfare state).
“Dalam kerangka neoliberal, negara tidak lagi bertugas menyediakan kesejahteraan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial yang layak. Sebaliknya, peran negara direduksi menjadi hanya menjaga stabilitas untuk kepentingan investasi dan akumulasi kapital. Di sinilah polisi menjadi ujung tombaknya,” ujar Siregar, Jumat (01/9/2025), merujuk pada artikel analisisnya yang diterbitkan di blog pribadinya.
Siregar memaparkan, dalam negara kesejahteraan, polisi berfungsi melayani dan melindungi masyarakat secara luas. Namun, dalam logika neoliberal, fungsi kepolisian bergeser menjadi pengawas dan penghukum bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan oleh sistem ekonomi itu sendiri.
“Yang kita lihat adalah komodifikasi atau pemaknaan terhadap keamanan. Keamanan menjadi barang dagangan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal. Polisi lebih banyak diamankan di wilayah-wilayah elit dan korporasi, sementara di daerah kumuh dan area konflik agraria, pendekatannya justru represif,” jelasnya.
Lebih lanjut, akademisi yang aktif menulis isu-isu sosial politik ini mencontohkan kebijakan seperti public-private partnership (Kemitraan Pemerintah-Swasta) di sektor keamanan. Menurutnya, praktik ini mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan swasta.
“Ketika polisi disewa oleh korporasi untuk mengamankan proyeknya, yang mungkin bermasalah secara sosial dan lingkungan, loyalitasnya bisa terbelah. Dia tidak lagi berhadapan dengan ‘warga negara’ yang harus dilindungi, tetapi pada ‘ancaman’ terhadap investasi. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi,” tegas Siregar.
Ia juga menyoroti maraknya kebijakan yang bersifat law and order dengan pendekatan penal ketimbang menyelesaikan akar masalah sosial, seperti kemiskinan dan ketimpangan.
“Daripada membangun lapangan kerja atau menyediakan perumahan layak, negara seolah-olah memilih membangun penjara yang lebih banyak dan yang untuk itu mengalihkan anggaran untuk kepentingan memberlakukan hukum yang keras. Polisi menjadi aktor utama dalam skema ini. Disadari atau tidak, ini adalah bentuk kegagalan negara dalam memenuhi hak-hak dasar warganya,” pungkasnya.
Siregar mengajak semua pihak, termasuk civitas akademika dan masyarakat sipil, untuk terus mengawasi dan mengkritisi transformasi institusi kepolisian agar tetap sejalan dengan cita-cita negara kesejahteraan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. (*)