TAJDID.ID~Medan || Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr. Alpi Sahari, SH. M.Hum menemukan hal yang cukup menarik dari pemikiran Irjen. Pol. Prof. Dr. Dedi Prasetyo MSi MM, yakni tentang adanya pembadanan yang maknanya ditujukan dalam implementasi keadilan restoratif sebagai nucleus transformasi menuju Polri PRESISI, sehingga Polri dicintai dan dihati masyarakat.
“Pemikiran ini tentunya didasarkan pada pondasi ius constituendum, ius operatum dan ius constitum menuju Indonesia yang berkemajuan dan generasi emas di tubuh Polri,” jelas Dr Alpi, Rabu (4/10).
“Keadilan restoratif yang dibadankan dengan transformasi menuju Polri PRESISI akan melahirkan keadilan transformatif yang berbasis pada sustainable problem solving dalam konteks welfare state (negara kesejahteraan) sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945,” imbuh akademisi yang sering diminta Polri untuk menjadi saksi ahli dalam beberapa kasus yang menjadi perhatian publik ini.
Lebih lanjut Dr. Alpi yang juga ditunjuk sebagai pembimbing Mahasiswa Program Doktor (S3) di UNISULLA Semarang dan beberapa Universitas lainnya di Indonesia menyatakan, bahwa salah satu pemikiran excellent Irjen Pol. Prof. Dr. Dedi Prasetyo di dalam pemaknaan aliran progresif pada bidang hukum dengan mengimplementasikan keadilan restoratif tidak harus didasarkan pada text books namun memperhatikan customary law.
Menurut Dr Alpi, di negara-negara maju di Eropa Continental dan Anglo Saxon konsep ini mampu memberikan hadirnya hukum ditengah-tengah masyarakat sebagai kebutuhan masyarakat akan kesadaran ketertiban dan keteraturan, sehinga negara ini keluar dari paradoks black letter rule.
“Pemikiran Irjen. Pol. Prof. Dr. Dedi Prasetyo dapat ditemukan dalam buku nya bahwa ‘Keadilan restoratif bisa dengan pendekatan yang mengikutsertakan konsep budaya dan aspek ketradisionalan, serta keseharian masing-masing daerah,” ungkapnya.
Di samping itu, Dr Alpi menilai, penerapan keadilan restoratif merupakan bentuk komitmen Polri dalam memenuhi prinsip rasa keadilan. “Polri menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan berpedoman pada Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang keadilan restoratif.” kata Dr Alpi.
Di dalam hukum pidana, lanjut Dr. Alpi, bahwa customary law sering dipahami sebagai living law dalam ajaran materile wederrechtelijkheid dalam fungsinya yang negatif dan positif dengan menitiberatkan pada pencelaan yang diformulasikan dalam arrest norm, namun dalam proses penegakan hukum pada sistem peradilan pidana yang menempatkan penyidik sebagai prime mover terbiasa dengan teks books (legalitas formal) yang berbasis pada formile wederrechtelijkheid.
Bahkan, kata Dr Alpi, Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri yang menguji undang-undang dengan konstitusi lebih bersandar pada ajaran formile wederrechtelijkheid. Hal ini dapat dilihat dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang memaknai frasa “melawan hukum” dalam undang-undang.
Materile wederrechtelijkheid dalam fungsinya yang negative, berarti meskipun perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Sedangkan materile wederrechtelijkheid dalam fungsinya yang positif mengandung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
“Dapat disimpulkan bahwa materile wederrechtelijkheid dalam fungsinya yang negatif merupakan alasan pembenar, sementara materile wederrechtelijkheid dalam fungsinya yang positif pada dasarnya bertentangan dengan asas legalitas Crote rechtsongelijkheid is immers daarvan te vrezen: de ene rechter zal al seen behoorlijk doel en juiste meiddelen aanvaarden, wat de andere verwerpt (Dikhawatirkan timbul ketidaksamaan hukum yang besar; karena hakim yang satu menerima sebagai alasan pembenar, sementara hakim yang lain menolak)”. jelasnya.
Dr Alpi mengungkapkan, materile wederrechtelijkheid dalam fungsinya yang negatif tergambar dalam pemikiran progresif implementatif Irjen. Pol. Prof. Dr. Dedi Prasetyo yakni “keadilan restorative strategi transformasi menuju Polri PRESISI”.
“Sehingga menurut saya dapat dijadikan rujukan bagi seluruh Mahasiwa Ilmu Hukum di Indonesia dan Personil Polri dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,” pungkasnya. (*)