Oleh: Dr Faisal SH MHum
Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH PTM) Se-Indonesia/Dekan FH UMSU
Fenomena hukum di Indonesia belakangan ini bikin geleng kepala. Di satu sisi, penguasa terlihat super agresif saat berhadapan dengan oposisi: cepat ditangkap, cepat diproses, cepat divonis. Tapi di sisi lain, bila menyangkut orang dekat kekuasaan, aparat bisa tiba-tiba sangat protektif, bahkan sampai “pasang badan” untuk menahan eksekusi.
Itu artinya, hukum sering kali tajam ke lawan, tumpul ke kawan. Dan inilah bentuk nyata impunitas—praktik di mana orang tertentu bisa lolos dari hukuman meski sudah jelas-jelas bersalah.
Mengapa “impunitas” berbahaya?
Impunitas—ketika pelanggar hukum lolos dari konsekuensi—merusak tiga pilar negara hukum: kepastian hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan kepercayaan publik. Begitu aparat terlihat over-protektif terhadap “orang sendiri” namun agresif kepada oposisi, pesan yang terbaca sederhana: hukum bisa dinegosiasikan, kekuasaanlah yang menentukan hasil.
Contoh paling gamblang dan sekarang lagi ramai jadi sorotan publik adalah kasus Silvester Matutina. Tahun 2019, ia sudah divonis 1,6 tahun penjara karena terbukti mencemarkan nama baik Jusuf Kalla. Putusannya sudah inkrah alias final dan mengikat. Secara aturan, sesuai Pasal 270 KUHAP, jaksa wajib segera melakukan eksekusi begitu salinan putusan diterima.
Tapi faktanya? Sampai 2025 ini, enam tahun berlalu, Silvester masih bebas. Alasannya macam-macam: ada pengajuan Peninjauan Kembali (PK), administrasi, dan lain-lain. Padahal, dalam hukum acara, PK tidak otomatis menunda eksekusi. Jadi publik wajar curiga—ada apa di balik mandeknya eksekusi ini?
Penundaan seperti ini bikin publik kehilangan kepercayaan. Orang jadi berpikir: kalau rakyat biasa yang salah, eksekusinya bisa kilat. Tapi kalau dekat dengan kekuasaan, hukum bisa ditunda, ditawar, bahkan dilupakan.
Jika dibiarkan, hukum kehilangan wibawanya. Tidak ada lagi efek jera. Dan yang lebih berbahaya: masyarakat jadi terbiasa melihat hukum sebagai alat politik, bukan pelindung keadilan.
Bukan cuma itu, impunitas juga berpotensi menimbulkan dampak sistemik bila dibiarkan.
Pertama, Erosi efek jera (deterrent effect). Hukuman kehilangan daya cegah jika publik melihat “jalur aman” bagi yang dekat kekuasaan.
Kedua, delegitimasi institusi. Kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan kehilangan otoritas moral ketika putusan yang sudah final tak dijalankan.
Ketiga, normalisasi kriminalisasi oposisi: Penegakan hukum yang terasa tebang pilih mendorong oposisi mencari perlindungan politik alih-alih jalur hukum—siklus tidak sehat bagi demokrasi.
Lantas, apa yang harus dilakukan?
Untuk melawan impunitas, ada beberapa langkah sederhana tapi penting untuk dilakukan:
- Eksekusi tepat waktu. Semua putusan inkrah harus dieksekusi maksimal 14 hari sejak diterima jaksa. Tidak ada alasan berlarut-larut.
- Buka ke publik. Buat dashboard publik berbasis data real-time berisi daftar putusan pidana inkrah lengkap dengan status eksekusi, batas waktu administratif, dan kakau ada penundaan sebutkan alasan hukumnya, bukan sekadar “prosedur”. Standar publikasi penanganan perkara politis juga penting dibuat. Setiap perkara berprofil politik tinggi wajib rencana penanganan tertulis dan juru bicara tunggal untuk mencegah narasi saling lempar.
- Edukasi publik. Intensifkan kampanye literasi hukum soal “inkrah ≠ selesai”. Ingatkan masyarakat bahwa vonis bukanlah akhir. Eksekusi adalah kunci agar keadilan benar-benar hadir. Ini sejalan dengan doktrin Pasal 270 KUHAP.
- Pengawasan ketat. Komisi Kejaksaan, Ombudsman, DPR, bahkan masyarakat sipil harus ikut mengawasi eksekusi agar tidak bisa diintervensi. Kalau perlu, bentuk Tim Pengawas Eksekusi lintas lembaga (Kejaksaan, Komisi Kejaksaan, Ombudsman, Komnas HAM) dengan kewenangan audit mendadak dan rekomendasi mengikat. Selain itu, penting juga dilakukan evaluasi berkala oleh Komisi III DPR melalui rapat terbuka untuk perkara yang tertunda eksekusinya lebih dari 90 hari.
- Sanksi tegas. Tegakkan pelanggaran etik berat bagi jaksa/pejabat yang menunda tanpa dasar hukum; jika terbukti ada obstruction of justice, proses pidana. Kalau ada jaksa atau pejabat yang sengaja menunda eksekusi tanpa dasar hukum harus dikenai sanksi etik, bahkan pidana bila ada unsur menghalangi keadilan. Sembari dengan itu, sediakan saluran aduan yang melindungi pelapor (whistleblower) untuk dugaan intervensi eksekusi.
Penutup
Gerakan “Lawan Impunitas” bukan sekadar jargon. Ini adalah tuntutan nyata agar hukum tidak lagi pilih kasih. Kasus Silvester yang menggantung sejak 2019 adalah alarm keras: negara tak boleh terus membiarkan hukum jadi alat kekuasaan.
Jika kita ingin Indonesia benar-benar jadi negara hukum, maka pesan ini harus tegas: tidak ada yang kebal, semua sama di hadapan hukum. (*)