Oleh: Dr Faisal SH MHum
Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH PTM) Se-Indonesia/Dekan FH UMSU
Dalam hiruk-pikuk perdebatan hukum yang kerap kali beraroma politik, satu hal sering luput dari perhatian publik, yakni peran dunia akademik dalam membangun peradaban hukum yang adil dan beradab. Kampus—yang idealnya menjadi ruang refleksi, kritik, dan pencipta gagasan—justru sering terjebak dalam menara gading, menjauh dari denyut persoalan hukum yang dihadapi masyarakat sehari-hari.
Padahal, sejarah mencatat bahwa kemajuan peradaban hukum di berbagai negara tidak lahir dari ruang kekuasaan semata, melainkan tumbuh dari perdebatan ilmiah yang jujur, pendidikan hukum yang progresif, dan keberanian moral kaum intelektual untuk bersuara.
Hukum Bukan Sekadar Peraturan
Di banyak fakultas hukum, hukum masih diajarkan sebatas teks normatif: pasal-pasal, doktrin, dan yurisprudensi. Mahasiswa dibentuk untuk menjadi legal technician, bukan pemikir hukum. Padahal, hukum sejatinya adalah produk dari relasi kuasa, struktur sosial, dan nilai-nilai moral. Ketika aspek sosiologis dan filosofis dari hukum ditinggalkan, maka hukum tak lagi berperan sebagai alat keadilan, melainkan hanya jadi instrumen kekuasaan.
Di sinilah kampus punya peran vital. Kampus harus menjadi laboratorium pemikiran hukum yang kritis, terbuka, dan humanistik. Dosen bukan hanya pengajar, tetapi juga jadi penjaga nurani hukum. Mahasiswa bukan hanya pemburu nilai, tetapi calon intelektual yang harus dibentuk untuk berpikir independen dan memiliki integritas moral.
Kritik, Advokasi, dan Keberpihakan
Ketika hukum berjalan pincang—ketika koruptor diberi keringanan, aktivis ditangkap karena menyuarakan kebenaran, atau ketika rakyat kecil diusir atas nama investasi—kampus tidak boleh diam. Dunia akademik harus berani turun gunung. Melalui riset, opini publik, hingga advokasi berbasis ilmu, kampus sejatinya bisa dan harus menjadi pengontrol moral jalannya hukum di negeri ini.
Apakah ini berarti kampus harus menjadi oposisi? Tidak. Kampus harus menjadi penjaga akal sehat. Menjadi pengganggu status quo yang tidak adil. Menjadi suara nalar ketika hukum digunakan untuk membungkam, bukan melindungi.
Mengembalikan Fungsi Transformasional Pendidikan Hukum
Sudah waktunya pendidikan hukum direformasi. Kurikulum harus memasukkan kajian kritis, interdisipliner, dan berbasis konteks lokal. Mahasiswa hukum harus akrab dengan realitas masyarakat, bukan hanya dengan buku tebal dan ujian kasus hipotetis. Klinik hukum, kerja lapangan, hingga kolaborasi dengan komunitas sipil adalah cara konkret membumikan teori hukum menjadi praksis sosial.
Lebih dari itu, kampus harus menumbuhkan etika akademik yang kokoh: keberanian berpikir berbeda, integritas dalam riset, dan komitmen pada keadilan. Tanpa ini, dunia akademik akan terjebak dalam rutinitas administratif belaka, sementara hukum terus diseret ke meja kekuasaan.
Menutup Kesunyian Akademik
Jika kampus terus memilih diam dalam kegaduhan hukum yang sarat kepentingan, maka ia bukan lagi pusat peradaban, melainkan hanya menjadi penonton pasif dari kehancuran etika bernegara.
Sebaliknya, bila kampus mau kembali mengambil peran strategisnya sebagai pengawal moral, maka harapan akan hadirnya peradaban hukum yang adil, manusiawi, dan berakar kuat akan tetap menyala.
Karena peradaban hukum yang sejati tidak hanya dibentuk oleh hakim dan legislator, tetapi juga oleh para pemikir, pendidik, dan mahasiswa yang tak takut berdiri di sisi yang benar—meski kadang sunyi dan sepi. (*)