TAJDID.ID~Deliserdang || Pada Pilkada 2024 ini, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Deliserdang menjadi salah satu daerah yang Istimewa di Sumatera Utara karena memiliki seorang kader yang ikut dalam perhelatan ini. Dia adalah kader muda persyarikatan yang pernah menakhodai Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Deliserdang periode 2014-2018.
“Kini, politisi kita yang sebetulnya terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Deliserdang, itu, setelah sholat istikharah berulang kali, memutuskan ikut sebagai Calon Wakil Bupati mendampingi petahana Ali Yusuf Siregar. Namanya Bayu Sumantri Agung, yang saat ini juga berada di tengah-tengah kita. Mereka berdua bernomor urut 3. Mendukung mereka sangat bersesuaian dengan program persyarikatan Satu Daerah Satu Calon Kepala Daerah yang didukung, diringkas dengan “Satu Daerah Satu CakadaMu)”.
Penegasan itu disampaikan oleh Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (LKHP-PWMSU) dalam paparannya pada acara shilaturrahim warga Muhammadiyah Deliserdang di Tanjung Morawa, Sabtu (16/11/24).
Menurutnya, tidak banyak politisi seberani kader kita ini yang menganggap capaian politik sebagai anggota DPRD sebagai sebuah finalitas.
“Bayu Sumantri Agung memiliki visi yang jauh ke depan. Selama menjadi politisi Muhammadiyah telah banyak berbuat untuk persyarikatan, dan tekad untuk berbuat lebih banyak ditancapkan lagi dengan keberanian berlebih. Karena jika kita menangkan dalam Pilkada 2024, insha Allah akan lebih besarlah darmabaktinya untuk umat dan bangsa”, jelas Shohibul Anshor Siregar.
Pakem Politik Muhammadiyah
Lebih lanjut Shohibul menjelaskan, Muhammadiyah sebagai organisasi besar yang menjunjung tinggi nilai-nilai independensi dan moralitas, terus berupaya menghadapi tantangan politik di Indonesia, termasuk dalam Pilkada Serentak 2024.
Dalam dokumen strategis yang diputuskan melalui serangkaian permusyawaratan pada Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, ditegaskan bagaimana Muhammadiyah merumuskan pendekatan yang berorientasi pada pengembangan kader tanpa mengorbankan prinsip netralitasnya.
Sejak Khittah Ujung Pandang 1971, Muhammadiyah telah menegaskan untuk tidak berafiliasi dengan partai politik. Keputusan ini diperkuat dalam berbagai muktamar berikutnya, menjadikan Muhammadiyah sebagai kekuatan moral yang independen.
“Meski begitu, tantangan era modern membuat organisasi ini melihat pentingnya menyiapkan kader-kadernya untuk terlibat di ruang-ruang strategis, termasuk pemerintahan. Maka, pada 2024, Muhammadiyah tetap memilih posisi independen dalam Pilpres, tetapi membuka peluang besar bagi kadernya untuk maju sebagai calon kepala daerah (Cakada), terang Shohibul Anshor Siregar.

Gagasan Program Satu Daerah Satu CakadaMu
Dalam Rakernas LHKP 2023 di Yogyakarta, sebuah inisiatif lahir: “Satu Daerah Satu CakadaMu.” Program ini dirancang untuk mendorong kader Muhammadiyah terlibat langsung dalam politik praktis tanpa membawa nama organisasi.
Di sini, kata Shohibul, kader diharapkan menjadi “petugas misi Muhammadiyah,” bukan “petugas partai,” sehingga tetap menjaga citra organisasi sebagai entitas moral.
Komunikasi intensif dengan berbagai partai politik menjadi bagian penting strategi ini. Namun, Muhammadiyah menegaskan, komunikasi dilakukan secara profesional tanpa melibatkan simbol-simbol organisasi.
Menurut Shohibul, bukan sembarang kader yang dapat maju dalam program ini. Mereka harus menunjukkan integritas tinggi, kapasitas memadai, dan komitmen kuat terhadap agenda Muhammadiyah.
“Selain itu, elektabilitas menjadi pertimbangan utama, memastikan kader mampu diterima masyarakat luas. Dengan pendekatan ilmiah, Muhammadiyah berupaya menjaga transparansi dan akuntabilitas proses seleksi ini,” ujar Shohibul.
Shohibul Anshor Siregar mengatakan, Muhammadiyah menawarkan dua jenis dukungan: dukungan wajib dan dukungan kondisional. Dukungan wajib meliputi mobilisasi suara dari anggota internal, sedangkan dukungan kondisional bisa berupa bantuan finansial yang disepakati bersama. “Pendekatan ini fleksibel, memungkinkan Muhammadiyah mendukung tanpa melanggar prinsipnya yang kokoh,” katanya.
Dirinci oleh Shohibul, strategi Muhammadiyah mencakup berbagai tahapan, mulai dari pemetaan kader potensial hingga pembentukan tim adhoc di tingkat kelurahan dan desa. Semua langkah ini dirancang untuk memastikan suara kader yang maju terjaga, baik melalui pengawasan TPS maupun penempatan saksi dari anggota Muhammadiyah.
Tidak berhenti di situ, gerakan “Awasi Pilkada-Mu” juga digagas untuk meningkatkan pengawasan proses demokrasi. Ortom seperti Aisyiyah diajak berperan aktif, menunjukkan kolaborasi lintas organisasi dalam Muhammadiyah.
Keputusan tentang siapa yang akan didukung, Shohibul menjelaskan dilakukan melalui mekanisme musyawarah dari tingkat ranting (PRM) hingga wilayah (PWM).
“Proses ini mencerminkan semangat demokrasi dalam organisasi, meski tantangan berupa perbedaan pendapat tetap harus dikelola dengan bijaksana,” ungkapnya.

Mengatasi Isu Politik Uang dan Calon Tunggal
Menyikapi penyakit demokrasi yang mewabah saat ini, menurut Shohibul, Muhammadiyah juga menunjukkan kepeduliannya.
Shohibul mengatakan, fenomena politik uang yang merusak integritas demokrasi itu pada dasarnya adalah bentuk kekerasan struktural dan kekerasan kultural yang bertujuan mengabadikan ketidak adilan sosial dan penderitaan rakyat yang sejak zaman penjajahan 350 tahun terus ditimpa kemiskinan. Melalui diskusi publik dan pendidikan politik serta pengawasan strategis, Muhammadiyah mengingatkan anggotanya untuk menolak segala bentuk praktik tidak etis ini.
Selain itu, potensi calon tunggal dalam Pilkada menjadi perhatian.
“Organisasi ini (Muhammadiyah) mendorong pengkajian untuk mencari solusi yang sesuai dengan prinsip demokrasi.
Refleksi dan Tantangan ke Depan
Strategi yang dirumuskan Muhammadiyah, menurut Shohibul Anshor Siregar, adalah kombinasi dari keberanian, inovasi, dan kehati-hatian. Namun, ada tantangan besar dalam menjaga netralitas organisasi, terutama jika kader yang didukung menjadi sorotan publik.
“Transparansi dalam setiap langkah dan pengawasan internal menjadi kunci keberhasilan strategi ini,” ungkapnya.
Dalam menghadapi Pilkada 2024, lanjut Shohibul, Muhammadiyah tak hanya ingin menjadi penonton, tetapi juga aktor perubahan, dengan tetap memegang teguh prinsip moral dan independensi.
“Narasi ini memperlihatkan betapa strategisnya peran organisasi dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan berintegritas,” tegasnya.
Selain itu, kata Shohibul, salah satu tantangan besar lainnya dalam demokratisasi di Indonesia ialah politik dinasti.
Menurutnya, politik dinasti itu sangat berbahaya karena mematangkan sirkulasi politik dengan mempersempit peluang terlaksananya meritokrasi.
“Juga buruk dalam penegakan hukum karena para pengagum dinasti memprasyaratkan dirinya kebal hukum yang selanjutnya berdampak luas pada penurunan kualitas pemerintahan,” ujar Shohibul.
Memaparkan kisah beberapa tokoh merit sistem Muhammadiyah, Shohibul Anshor Siregar menyebut Soedirman, guru Muhammadiyah, yang lahir tahun 1916 terpilih menjadi pemimpin Tentara Keamanan Rakyat (Sekarang Tentara Nasional Indonesia) dalam usia 29 tahun. Ia tak berjejak dinasti dalam perjuangan membela Indonesia.
Kader Muhammadiyah yang lain, Djuanda, dalam umur sekitar 35 tahun menduduki jabatan Kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia yang menjadi Menteri Perhubungan Republik Indonesia tak lama kemudian. “Guru Muhammadiyah ini menjadi Perdana Menteri saat berusia 46 tahun dan tak digendong oleh ayah atau pamannya ke posisi itu.
Kita bangga kekuatan merit system yang akan menuntun Indonesia ke kemajuan yang terus-menerus kita perjuangkan,” tegas
Shohibul mengutip beberapa contoh Pilkada 2024 yang hanya diikuti oleh satu keluarga inti seperti Kabupaten Tapanuli Selatan.
“Tapanuli Selatan sebetulnya tak pernah krisis kepemimpinan. Masalah utama adalah buruknya sistim politik di tangan oligarki yang merendahkan nilai merit system dan seleksi kepemimpinan yang dieliminasi hingga demikian sempit sebatas perebutan di antara ponakan dan bapak uda (paman). Muhammadiyah di Tapanuli Selatan tentu sadar pilihan terbaik. Jika akan memilih Bapa Uda (Gus Irawan Pasaribu) akan berisiko menikmati pemerintahan yang potensil tak beralih dari tangan keluarga besar bermarga Pasaribu itu setidaknya untuk 4 (empat) periode ke depan”, terang Shohibul.
“Sedangkan jika memilih petahana Dolly Pasaribu yang adalah pewaris dinasti Pasaribu (Syahrul M Pasaribu, paman kandung Dolly Pasaribu, abang kandung Gus Irawan Pasaribu) Muhammadiyah dapat berharap berkesempatan berdemokrasi bersama rakyat Tapanuli Selatan dengan peluang besar beroleh pemimpin yang bukan trah dinasti,” imbuhnya.
Menurut Shohibul Anshor Siregar, menangkan Dolly Pasaribu adalah membuka jalan bagi Tapanuli Selatan untuk keluar dari dinasti Pasaribu”.
Soal Pilgubsu
Tentang Pilgubsu Shohibul Anshor Siregar memesankan, temukan datanya, bahwa di antara dua pasangan calon Gubernur Sumatera Utara itu pasti ada ukuran untuk mengatakan jarak dan kedekatan mereka kepada Muhammadiyah. Itu didasarkan pada kepemimpinan mereka selama ini.
“Selain itu, figur yang paling kuat cerminan tauhid dan ibadahnya harus dipertimbangkan secara ketat di samping potensi kemudaratan yang dapat diperhitungkan akan lebih kecil ke depan,” pungkasnya. (*)