TAJDID.ID~Medan || Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 melakukan pembatasan promosi dan peredaran Susu Formula Bayi. Beberapa pembatasan pemerintah dilakukan pada produsen atau distributor susu formula meliputi, pemberian contoh produk susu formula bayi secara cuma-cuma kepada fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga medis, tenaga kesehatan, kader kesehatan, ibu hamil atau ibu baru melahirkan.
Kemudian, produsen atau distributor susu formula dilarang melakukan penawaran atau penjualan langsung susu formula bayi ke rumah.
Produsen atau distributor susu formula juga dilarang memberikan potongan harga atau tambahan apa pun atas pembelian susu formula.
Menggunakan tenaga medis, tenaga kesehatan atau influencer di media sosial untuk memberikan informasi mengenai susu formula juga dilarang.
Mengiklankan produk susu formula di media massa, media luar ruang, dan media sosial termasuk yang dilarang.
Menanggapi kebijakan tersebut,
Ketua Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Padian Adi S. Siregar mengatakan,
Pembatasan konsumsi susu formula sejalan dengan panduan “Ending the Inappropriate Promotion of Foods for Infants and Young Children” yang diterbitkan WHO pada 2017 yang menyoroti masalah pelabelan produk makanan untuk bayi dan anak kecil yang seringkali tidak memuat peringatan yang diperlukan seperti usia penggunaan yang tepat, ukuran porsi, atau frekuensi.
Padian membeberkan, data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat pasien diabetes anak umumnya berusia 10-14 tahun. Jumlahnya, sekitar 46 persen dari total angka yang dilaporkan. Sementara anak usia 5-9 persen ditemukan berkontribusi terhadap 31,5 persen dari keseluruhan kasus. Sementara anak yang usianya 0-4 tahun terkena diabetes sekitar 19 persen.
“Susu formula bisa menjadi salah satu pemicu diabetes. Utamanya, jika dikonsumsi dengan penyebab lain seperti gula berlebih atau makanan cepat saji,” ungkapnya, Rabu (14/8).
Padian menyebut, selama ini banyak aturan yang membatasi pada sektor hilir atau pengawasan peredaran seringkali dianggap tidak efektif, karena pengawasan dan pembatasan yang dilakukan berbeda-beda efektivitasnya, tergantung daerah dan pola pengawasan yang dilakukan.
“Peraturan banyak diterbitkan, tetapi tidak kalah penting adalah upaya pengawasan pelaksanaan oleh pemerintah dan lembaga terkait untuk bisa memastikan apakah regulasi tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan semestinya,” kata Padian.
“Maka, pengawasan perlu dilakukan untuk memastikan apakah pola konsumsi masyarakat dan produk barang yang beredar di pasaran sudah sesuai aturan yang ada atau belum. Hal ini untuk mencegah angka kejadian diabetes yang semakin tinggi,” imbuhnya.
LAPK menilai, tingginya konsumsi MBDK khususnya pada produk susu yang dipersepsikan minuman sehat patut diduga disebabkan oleh ketersediaannya yang terus meningkat, harga yang murah, dan kampanye pemasaran yang agresif.
“Masyarakat Indonesia, terutama anak-anak dan para remaja, sering kali menjadi target iklan dan promosi produk-produk tersebut,” pungkasnya.
Dikarenakan harga turut mempengaruhi keputusan pembelian makanan atau minuman sehari-hari, menurut Padian ada harapan pengenaan cukai menjadi alat yang ampuh mengurangi konsumsi produk-produk yang tidak sehat.
“Berbagai riset yang dilakukan pemberlakuan cukai untuk produk MBDK minimal 20% berdasarkan kandungan gula untuk menurunkan konsumsi MBDK masyarakat hingga 17,5%.” pungkasnya. (*)