Bagi anda yang biasa menggunakan jalan tol Belmera (Belawan, Medan Tanjung Morawa) bisa jadi anda masih melihat spanduk pengumuman yang berisi “dalam waktu dekat akan diberlakukan penyesuaian tarif”, merujuk pada keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1246/KPTS/M/2020.
Tapi apakah anda sudah tahu bahwa tertanggal 13 Agustus 2020, tarif baru tol Belmera resmi berlaku?. Sebagai konsumen pengguna jalan tol anda belum tahu di bulan Agustus ini ada kenaikan tarif, berarti ada kebijakan yang tidak melibatkan anda sebagai warga negara.
Keinginan menaikkan tarif tol Belmera di bulan Agustus sepertinya tidak akan terbendung, perhatikan pernyataan pelaksana harian anggota (Badan Pengatur Jalan Tol) BPJT Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Mahbullah Nurdin yang menegaskan bahwa menaikkan tarif diambil bukan berarti tak mempertimbangkan kondisi ekonomi Indonesia kala pandemi. Keputusan menaikkan tarif sudah terbit, kenaikan tarif Tol Belmera sudah tak mungkin ditunda lebih lama lagi. Apalagi, Jasa Marga sudah melakukan perbaikan-perbaikan demi terpenuhinya standar pelayanan minimal (SPM).
Dari sisi konsumen kenaikan tarif tol berarti menambah pengeluaran, beban konsumen semakin berat tatkala berbagai pengeluaran dimasa pandemi covid-19 terus bertambah. Kenaikan demi kenaikan tarif, barang dan jasa semakin membebani kondisi ekonomi konsumen, sementara pemasukan tidak bertambah. Belum diketahui pasti sampai kapan keadaan ini akan berakhir.
Berkenaan kenaikan tarif tol muncul sejumlah pertanyaan, seberapa pentingkah kenaikan tarif tol di masa pandemi covid-19 ini? Apakah tidak dimungkinkan penundaan kenaikan,berapa besaran kenaikan tarif tol? Situasi apa yang mengharuskan Kementerian PUPR menaikkan tarif? Apakah tidak dapat dilakukan efisiensi dibagian lain untuk menunda kenaikan? Apakah telah dilakukan audit manajemen maupun keuangan? Apakah sudah dilakukan upaya antisipasi dan segudang pertanyaan-pertanyaan lain?.
Pertanyaan penting lain, adakah konsumen sebagai pengguna jasa jalan tol telah dilibatkan dalam menentukan besaran tarif, dan apakah kenaikan tarif berbanding lurus pelayan konsumen?.
Minimnya informasi kenaikan tarif tol menunjukkan konsumen selaku pengguna belum dianggap sebagai bagian penting dalam pengelolaan jalan tol, pengelola tidak mengundang partisipasi konsumen untuk didengar keluhan, masukan, kritikan dan sarannya. Konsumen masih dipossisikan hanya sebagai objek, yang dianggap tidak perlu didengar “celotehnya” tidak paham apa-apa sehinga harus rela menerima keputusan yang dikeluarkan pengelola jalan tol. Hitam putihnya kebijakan jalan tol mutlak hak pengelola, karenanya konsumen hanya penonton.
Idealnya antara pengelola dan konsumen harus terjalin komunikasi yang baik, diantara keduanya tidak boleh ada keinginan untuk mengurangi peran masing-masing. Harus dibuang anggapan mengajak konsumen dalam pengambilan keputusan hanya akan mempersulit penyelenggaraan jalan tol.
Namun pelibatan konsumen justru akan menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab rasa memiliki. Dalam kaitan kenaikan tarif boleh jadi tidak akan mengalami penolakan, jika sejak awal konsumen memang sudah berpartisipasi mengetahui kondisi yang sedang dihadapi oleh pengelola. Selama ini dalam kontek kenaikan tarif konsumen hanya disodorkan besaran kenaikan, tidak jarang dilakukan penolakan bahkan pembangkangan.
Pemerintah atau pengelola jalan tol harusnya berpikir ulang untuk menaikkan tarif tol di bulan Agustus ini, agar tidak terjadi penolakan. Ada baiknya tahap awal yang harus dilakukan mengajak konsumen mendiskusikan kondisi ril yang dialami pengelola, libatkan konsumen dalam pengambilan keputusan, bukalah ruang-ruang bagi konsumen untuk menyampaikan kritik, masukan dan saran.
Melibatkan konsumen harus dilihat sebagai modal sosial agar mendapatkan dukungan luas dari konsumen, berikan ruang pada publik untuk memberikan masukan, kritik dan saran.
Menjaring unek-unek konsumen melalui acara temu konsumen, bulan pengaduan konsumen akan menambah data pengelola jalan tol dalam menentukan kebijakan tarif atau strategi pelaksanaan tarif.
Data yang disampaikan konsumen sesungguhnya sebagai sandaran pengambilan kebijakan, jika pengelola menggunakan data masukan konsumen tentu kebijakan yang diputuskan relatif akan dapat diterima.
Hampir dapat dipastikan lebih mudah menjelaskan kepada konsumen kebijakan yang lahir berdasar pada data yang disampaikan konsumen. Selama ini yang timbul adalah kenaikan tarif dihitung secara sepihak oleh pengelola sementara konsumen tidak dilibatkan.
Penyerapan aspirasi konsumen jika dikelola secara baik, akan menimbulkan hubungan yang harmonis antara konsumen dan pengelola, tentu dalam kaitan menaikkan tarif tidak akan mendapatkan penolakan yang berarti. Umumnya keterlibatan konsumen dalam pengambilan keputusan akan mengurangi penolakan, Keterlibatan sejak ada awal dalam budaya timur adalah suatu penghargaan, sehingga jika ada keputusan yang lahir ada tanggungjawab untuk melaksanakannya.
Namun sebaliknya jika tidak dilibatkan muncul sikap tidak ada kewajiban mematuhinya bahkan sampai pada penolakan, seperti lirik lagu karena konsumen ingin dimengerti. (*)
Ibrahim Nainggolan, Ketua LAPK dan Dosen FH UMSU